Rabu, 04 Juni 2014

Catatan Sembilan Tahun Asas Cabotage

Catatan Sembilan Tahun Asas Cabotage

Carmelia Hartoto  ;   CEO Andhika Lines, Ketua Umum INSA,
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik
KORAN SINDO,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Dalam diskursus kemaritiman, istilah asas cabotage (kegiatan angkutan laut dalam negeri wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia) sesungguhnya sudah tidak asing lagi.

Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Kanada, Brasil, Australia, sejumlah negara di Eropa, bahkan Afrika, sudah menerapkan asas cabotage jauh sebelum Indonesia. Dengan demikian, sebagai sebuah bangsa dan negara maritim (archipelago), Indonesia bukanlah negara pertama yang menganut prinsip cabotage atas angkutan lautnya. Namun, pelaksanaan asas cabotage di Indonesia memiliki catatan yang sangat menarik karena diberlakukan di tengah derasnya arus liberalisasi perdagangan global. Meski demikian, dalam sembilan tahun asas cabotage , negara dan masyarakat Indonesia sudah menerima dampak positifnya, baik dari sisi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan.

Asas Kedaulatan

Asas cabotage di Indonesia diterapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inpres ini kemudian diperkuat dengan UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 17/2008 menegaskan, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Di dalam penjelasannya, undangundang itu menegaskan, penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignty) dan mendukung perwujudan wawasan Nusantara sekaligus memberikan kesempatan berusaha bagi perusahaan nasional.

Dalam konteks kehidupan bernegara, pelaksanaan asas cabotage bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas merupakan implementasi dari kedaulatannya. Inilah yang menjadi alasan mengapa banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menganut asas cabotage. Sebab, negara sangat diuntungkan ketika sektor pelayaran dipegang oleh bangsanya sendiri. Kapal-kapal yang melayani angkutan dalam negerinya juga dimiliki oleh warga negaranya sendiri sehingga ketika negara dalam kondisi darurat kapal-kapal tersebut siap dikerahkan untuk mempertahankan kedaulatan. Kondisi ini akan berbeda jika kapal-kapal yang melayani kegiatan angkutan domestik dimiliki oleh perusahaan luar negeri karena pada saat negara dalam kondisi darurat, mereka dengan mudah dapat kembali ke negara masing-masing. Mereka akan mudah menyatakan situasi di negeri ini sudah tidak menguntungkan lagi.

Dampak Ekonomi

Dalam konteks perekonomian, pelaksanaan asas cabotage memiliki dampak yang sangat besar. Tidak hanya sektor kemaritiman, sektor ekonomi lain seperti perbankan, keuangan, asuransi, tenaga kerja, logistik, perdagangan dan usaha bongkar muat turut merasakan dampak positif kebijakan ini. Sulit membayangkan bagaimana kondisi sektor transportasi laut di Indonesia tanpa asas cabotage . Indonesian National Shipowners Association (INSA) mencatat, 10 tahun lalu populasi kapal asing di perairan Indonesia lebih dominan dibandingkan kapal berbendera Merah Putih. Kapal-kapal berbendera selain Merah Putih menguasai 44,5% volume muatan laut dalam negeri, bahkan mengendalikan 95% volume muatan laut luar negeri (ekspor dan impor).

Kondisi itu menyebabkan Indonesia kehilangan potensi ekonomi dari ongkos angkut hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun. Kondisi itu cukup menjadi keprihatinan kita bersama sebagai bangsa. Penguasaan asing atas kegiatan transportasi laut dalam negeri telah menimbulkan kerugian yang berlipat ganda bagi masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, tarif pengiriman barang pada angkutan laut domestik sebelum asas cabotage jauh lebih mahal dibandingkan sekarang. Data INSA mengungkapkan, pada 2005, tarif pengiriman peti kemas pada rute Jakarta- Belawan mencapai Rp7 juta- 8 juta per TEUs, sedangkan sekarang turun menjadi Rp4 juta hingga Rp4,5 juta per TEUs. Kondisi yang sama juga terjadi pada rute-rute lain seperti pengiriman peti kemas ke Jayapura, Sulawesi, dan sebagainya.

Penurunan ongkos angkutan laut itu bukan karena didorong oleh penurunan tarif di pelabuhan maupun peningkatan produktivitas pelabuhan, tetapi karena meningkatnya volume perdagangan sehingga memicu terjadinya evolusi penggunaan kapal ke yang lebih besar. Selain itu, pelaku usaha pelayaran juga melakukan subsidi silang dari kegiatan lainnya seperti ship management , keagenan hingga crew mining . Bisa dikatakan, dinamika ekonomi berbasis kemaritiman mengalami perubahan, bahkan pelayaran telah tumbuh menjadi backbone pertumbuhan perekonomian dari sektor maritim sehingga kapal berbendera Merah Putih kini telah mengendalikan kegiatan angkutan laut domestik dan mulai merangsek ke angkutan ekspor dan impor.

Di sisi lain, masyarakat sudah bisa menikmati akses konektivitas nasional, tarif angkutan yang semakin kompetitif, infrastruktur transportasi laut yang terus berkembang, aktivitas perdagangan yang meningkat hingga lapangan pekerjaan yang terus bertumbuh. Hanya saja, kemajuan industri pelayaran saat ini belum diimbangi percepatan peningkatan infrastruktur logistik seperti pelabuhan, akses jalan dari dan ke pelabuhan hingga konektivitas logistik di darat. Akibatnya, meskipun tarif angkutan laut sudah sangat kompetitif, biaya logistik secara keseluruhan masih tinggi.

Penguatan Kebijakan

Terlepas dari dialektika yang ada dan success story asas cabotage , pelaksanaan prinsip ini di Indonesia sesungguhnya masih belum optimal. Sebab akselerasi pelayaran dapat dimaksimalkan jika ada kemauan politik yang lebih besar untuk memberdayakan industri pelayaran dan perkapalan. Sebagai gambaran, banyak kebijakan fiskal yang tidak lazim diterapkan pada sektor pelayaran di dunia, tetapi hingga kini masih dibebankan kepada pelayaran dan perkapalan nasional seperti pengenaan PPN atas kegiatan bongkar muat barang/kontainer dan PPN atas pembelian BBM kapal.

Di sektor moneter, beban bunga pinjaman dari perbankan atau lembaga pembiayaan di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain, bahkan tidak sedikit perusahaan pelayaran yang mendapatkan bunga pinjaman pembiayaan untuk pembelian kapal hingga 13%. Karena itu, diperlukan kerangka kebijakan yang lebih kuat dan setara sebagaimana negara-negara penganut asas cabotage di belahan dunia lain, baik mencakup kebijakan fiskal dan perpajakan, moneter dan keuangan, maupun kebijakan teknis serta infrastruktur penunjang lainnya.

Penulis optimistis, kebijakan yang kuat dan setara akan mendorong akselerasi pelayaran sehingga konektivitas antarpulau di Indonesia semakin efektif dan mampu mendorong investasi industri di luar Pulau Jawa. Ke depan, sektor ini harus memiliki daya saing yang kuat di dalam negeri maupun luar negeri sebagai representasi atas kedaulatan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar