Pilpres
dan Piala Dunia
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 03 Juni 2014
DALAM
beberapa hari ke depan, kita akan disuguhi dua pertunjukan besar. Pertama, 4 Juni
sampai 5 Juli, kita akan menyaksikan kampanye capres. Setelah itu, pada 9
Juli, kita bersama-sama menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpin lima
tahun ke depan.
Kedua,
13 Juni sampai 13 Juli, kita juga akan menyaksikan pentas olahraga paling
akbar di planet ini, Piala Dunia 2014. Sebanyak 32 tim terbaik dari 32 negara
bakal bertanding untuk menentukan siapa yang layak disebut sebagai juara
dunia.
Layaknya
event besar, tim-tim yang akan
bertanding tentu sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Akhirnya akan
tampak siapa yang mempersiapkan internalnya baik-baik, siapa yang hanya sibuk
mengomentari apa yang dilakukan orang lain.
Setelah
itu, para aktor politik pun merekrut orang-orang yang pintar berdebat.
Tontonan yang seru di Mata Najwa sudah kita saksikan bersama. Sementara, yang
lebih suka berpikir masuk sebagai anggota think tank, memasok amunisi konsep.
Mereka juga merekrut pakar-pakar komunikasi untuk membentuk opini publik.
Hal
serupa juga ada di tim Piala Dunia. Setelah merekrut orang-orang terbaik,
mereka melakukan serangkaian pertandingan pemanasan.
Melihat
persiapannya, terbayang di benak kita
bahwa tontonan ini bakal seru. Asyik ditonton kecuali saat menyaksikan mereka
yang bermulut besar yang hanya mendompleng karena sedang butuh kompensasi
mental karena ekspektasinya tidak terpenuhi di masa lalu. Jangan lupa selalu
ada losers yang butuh panggung.
Baiklah
soal pilpres, sebagian orang mungkin kurang suka dengan istilah pertandingan.
Tapi, menurut saya, dengan bahasa yang diperhalus sekalipun, kita semua punya
persepsi yang sama bahwa ini adalah ajang pertandingan. Sebab, di sana hanya akan ada satu
pemenang. Mungkin Anda boleh menghibur diri dengan dengan menyebut pihak yang
kalah sebagai pemenang ke-2. Namun, kenyataannya tetap saja, tim yang tidak
menjadi pemenang pertama akan kalah!
Maka,
bagi setiap tim, kemenangan adalah segala-galanya. Jadi, harus ada aturan
agar pertandingan berlangsung fair. Di sepak bola, misalnya, menyentuh bola
dengan tangan (handsball) atau mengecoh wasit dengan sengaja menjatuhkan diri
(diving) dilarang. Yang melakukannya dihukum. Sementara, bermain
keras dengan tackling atau membenturkan badan (body charge) masih dibenarkan.
Negative atau Black Campaign
Begitu
juga ajang pilpres. Melakukan kampanye negatif (negative campaign) katanya masih bisa dibiarkan, tetapi kampanye
hitam (black campaign) dilarang.
Apa bedanya?
Kampanye
negatif dilakukan untuk melemahkan posisi lawan dengan menyerang kelemahan
visi-misi atau program, termasuk sosok dan kompetensi. Intinya menjatuhkan
reputasi lawan di hadapan publik. Sementara, black campaign dilakukan dengan menyebar informasi palsu,
kebohongan, bahkan fitnah. Meski haram
hukumnya, sudah banyak beredar black
campaign yang disampaikan oleh akun-akun bodong.
Apa yang
sebaiknya menjadi titik singgung dari dua ajang tersebut? Dunia olahraga
sangat menjunjung tinggi sportivitas. Dalam pertandingan catur, lawan kita
–orang yang duduk di seberang meja– adalah teman adu otak. Dalam bulu
tangkis, lawan di seberang net adalah teman berolahraga.
Itulah semangat sportivitas dalam dunia olahraga yang perlu kita
pindahkan ke ajang Pilpres 2014. Seperti kata Anies Baswedan, jadikanlah lawan debat sebagai teman
berpikir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar