Krisis,
Fakta, atau Fatamorgana?
Metta
Dharmasaputra ; Penulis buku Saksi Kunci, Co-Founder Katadata
|
TEMPO.CO,
16 Juni 2014
Washington,
DC, 18 September 2008. Nancy Pelosi, Ketua Kongres Amerika Serikat,
mengumpulkan para sejawatnya dari Partai Demokrat. Kondisi keuangan AS sedang
remuk diamuk badai krisis, setelah Lehman Brothers dibiarkan bangkrut.
Menjelang
sore, diteleponnya Menteri Keuangan AS Henry Paulson, yang dimintanya datang
keesokan harinya untuk memberikan paparan. Tapi jawabannya mengagetkan.
"Esok pagi sudah sangat terlambat." Tak kalah mengejutkan adalah
komentar Gubernur Fed Ben Bernanke, yang diundang dalam pertemuan lanjutan
pada malam harinya. "Jika kita tak bertindak cepat, tidak akan ada lagi
perekonomian pada hari Senin," katanya.
Dua
bulan setelah itu, di Jakarta, 21 November 2008, berlangsung sebuah rapat
penting dan mendadak di kantor Kementerian Keuangan. Rapat konsultasi Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) semalam suntuk digelar: Bank Century
sekarat.
Dana
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang dikucurkan Bank Indonesia tak
mampu menopang kelangsungan hidup Century. Penarikan dana oleh nasabah terus
berlangsung. Akibatnya, seperti dituturkan Gubernur BI Boediono, Century
ditetapkan sebagai bank gagal karena rasio kecukupan modalnya (CAR) sudah
minus. Uang tunai di brankasnya pun tinggal Rp 20 juta.
Ditengarai
berdampak sistemik, nasib bank ini harus segera ditentukan sebelum bank dan
pasar modal mulai beroperasi pada Jumat pagi. Keputusan sulit dibuat oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang juga Ketua KSSK, bersama
Gubernur BI Boediono: Century diselamatkan. Keputusan yang setahun kemudian
menuai kontroversi, bahkan berujung ke meja pengadilan.
Dua
keputusan penting-satu di Jakarta, satu lagi Washington, D.C.-diambil dalam
situasi darurat, meski informasi yang dimiliki relatif terbatas dan jauh dari
sempurna.
Dalam buku terbarunya, Stress Test, Timothy Geithner, mantan
Menteri Keuangan AS yang menggantikan Paulson-kala itu menjabat Presiden Bank
Sentral New York-menegaskan, membiarkan Lehman Brothers bangkrut adalah
kesalahan besar. Kebangkrutan itu ternyata menimbulkan badai besar dan ongkos
pemulihan ekonominya pun menjadi sangat mahal.
Belajar
dari krisis ekonomi Asia pada 1997/1998, Boediono--saat itu menjabat Direktur
BI, dan Indonesia tengah menghadapi krisis likuiditas perbankan serta tidak
adanya penjaminan penuh dana nasabah (blanket
guarantee)-memilih menyelamatkannya. Aset bank bobrok ini memang cuma
sekitar 0,7 persen dari perbankan nasional. Tapi, perlu dicatat, aset 16 bank
yang ditutup pada 1997 pun hanya 2,3 persen alias 0,14 persen setiap bank.
Pengalaman
ini mengajarkan, penutupan bank sekecil apa pun dalam situasi krisis ibarat
memantik api di jerami yang kering. Apalagi banyak fakta menunjukkan bahwa
kondisi ekonomi Indonesia saat itu tidak dalam kondisi sehat-walafiat.
Likuiditas di pasar uang antar-bank pada November 2008-saat Century diselamatkan-sangat
kering, seperti pada 1997.
Besarnya
tekanan terhadap perbankan nasional ini terekam dalam grafik Banking Pressure Index (BPI) Danareksa Research Institute. Titik
dalam grafik BPI pada November 2008 sudah di atas ambang batas aman. Bahkan
sudah lebih tinggi daripada masa-masa awal krisis moneter Indonesia pada
Maret 1997.
Itu
sebabnya, BI pada 29 Oktober 2008 sudah membunyikan "alarm" siaga satu Crisis Management Protocol, yang
memantau ketat kondisi moneter dari jam ke jam. Dalam situasi rawan seperti
inilah beragam peraturan diubah dan dilahirkan untuk meredam krisis.
Satu lagi yang diributkan,
perubahan Peraturan BI tentang persyaratan pemberian FPJP, yang akhirnya
dinikmati Century, dan ini dibumbui berbagai rumor penggelontoran dana bailout Century secara tunai, senilai
triliunan rupiah, pada Sabtu dan Minggu-seperti juga dilansir wakil presiden
saat itu, Jusuf Kalla. Padahal faktanya, dana itu pertama kali dikucurkan via
transfer pada Senin pagi, 24 November 2008, pukul 07.42.
Kesalahan persepsi lainnya:
setelah Century ditutup, habis perkara, tak ada ongkos yang harus
dikeluarkan. Padahal biaya penutupan ditaksir mencapai Rp 6,4 triliun-untuk
penggantian dana nasabah yang dijamin-yang berarti tak jauh berbeda dengan
nilai bailout Rp 6,7 triliun. Biaya penutupan bahkan pada akhirnya bisa lebih
mahal, jika bank ini bisa dijual dengan harga bagus.
Menurut
guru besar hukum pidana UGM, Profesor Eddy Hiariej (Katadata, 23/5), bukti adanya
situasi krisis sebetulnya sudah terjawab dengan dilansirnya tiga peraturan
pemerintah pengganti UU (perpu) pada Oktober 2008. Sebab, seperti dinyatakan
dalam Pasal 22 UUD 1945, lahirnya perpu terkait dengan hal-ihwal kegentingan
yang memaksa. Dua dari tiga perpu itu pun sudah disahkan oleh DPR menjadi UU.
Ketika
terjadi keadaan darurat, Profesor Eddy menggarisbawahi, berlakulah asas necessitas non hebet legem-dalam
keadaan darurat hukum tak berlaku. Dengan kata lain, kebijakan bailout
Century untuk penyelamatan ekonomi tak bisa dipidanakan, kalaupun ada berbagai
kekurangsempurnaan di sana-sini.
Pendapat
Profesor Eddy ini diperkuat oleh tiga guru besar hukum lainnya, yakni
Profesor Hikmahanto Juwana (UI), serta kesaksian Profesor Komariah Sapardjaja
(Unpad) dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi Profesor Mohamad Laica Marzuki
dalam persidangan.
"Permakluman"
ini pulalah yang disampaikan oleh Ketua KPK Antasari Azhar dan Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution dalam rapat yang digelar oleh Presiden
untuk menghadapi krisis global pada 9 Oktober 2008. Bahkan Anwar Nasution
memuji.
Persoalannya,
kebijakan tanggap darurat inilah yang kini justru sedang diadili dalam
perkara Century. Namun, berbeda dengan Geithner, Boediono menyatakan tak
pernah menyesali keputusannya. Sebab, di matanya, krisis saat itu bukanlah
fatamorgana, melainkan sebuah fakta. Dan terbukti, dengan bailout Century,
perekonomian Indonesia pun selamat dari krisis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar