Dukungan
dan Keterpilihan Capres
Gunawan
Witjaksana ; Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom)
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 16 Juni 2014
DALAM
berbagai media, kita menyaksikan makin hari aksi saling dukung terhadap dua
pasangan capres-cawapres makin merebak. Berbagai elemen masyarakat, baik dari
unsur kepemudaan, ulama, purnawirawan jenderal, maupun berbagai elemen lain
seolah-olah saling salip dan saling dimanfaatkan dua pasang kandidat itu,
melalui berbagai media untuk meyakinkan para calon pemilih untuk mencoblos
kelak.
Entah
komponen pendukung tersebut muncul secara spontan atau sengaja digerakkan
dengan berbagai cara seperti sinyalemen berbagai kalangan, yang jelas
tampilnya sejumlah dukungan terhadap masing-masing kandidat tersebut tentu
diharapkan mampu membantu keduanya secara maksimal dalam rangka mendulang
dukungan calon pemilih.
Akankah
berbagai komponen yang saling mendeklarasikan dukungan terhadap masingmasing
kandidat tersebut akan bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam mendulang
suara pendukungnya? Atau sebaliknya hanya ingin tampil unjuk muka belaka?
Akankah dukungan mereka berpengaruh secara signifikan terhadap kemenangan
kandidat yang mereka dukung kelak? Ketika mau membujuk orang atau sejumlah
orang, seseorang atau sekelompok orang perlu mengetahui kebutuhan atau
kepentingan aktual/nyata dari orang atau kelompok orang yang mereka bujuk.
Dalam
bahasa komunikasi persuasif, diperlukan pemahaman tentang ”kondisi psikologis
dan sosiologis” komunikan, guna memengaruhi komunikan yang dibujuk tanpa
terasa.
Apakah
para kandidat dan komponen pendukungnya memahami apa yang saat ini diinginkan
calon pemilih? Dalam bahasa iklan, sudahkah para kandidat dan pendukungnya
mengetahui , memahami, dan mampu memetakan secara cermat consumers insight
calon pemilih? Terkait dengan ini, Melvin Defleur mengatakan bahwa tidak ada
dua orang yang lahir di dunia ini yang memiliki perangai serta kepentingan
dan keinginan yang sama, meski mereka terlahir kembar.
Meski
demikian, secara sosiologis tetap saja akan mampu dipetakan kebutuhan dan
kepentingan aktual sejumlah orang, karena sebagai makhluk sosial tiap orang
akan tetap membutuhkan orang lain. Karena itu, dari sisi komunikasi dikenal
prinsip bahwa kita diharapkan mampu menyenangkan banyak orang, meskipun
mustahil mampu menyenangkan tiap orang.
Prinsip
semacam itulah seyogianya yang dipahami oleh para capres-cawapres beserta tim
suksesnya. Melalui pemahaman terhadap keinginan dan kebutuhan aktual
masyarakat, masing-masing pasangan dapat membujuk mereka dengan memanfaatkan
kebutuhan dan kepentingannya tersebut tanpa terasa tengah dibujuk.
Komunikasi Empatik
Sembari
membujuk calon pemilih untuk mencoblos kelak, alangkah indahnya bila
masing-masing pasangan dengan tim suksesnya melakukan komunikasi emphatik.
Melakukan komunikasi, termasuk kampanye dan iklan tanpa mengusik pesaing.
Kampanye hitam yang kian hari kian merebak harus segera dihentikan karena
berbagai hasil penelitian kampanye hitam justru berefek bumerang seperti
pepatah menepuk air didulang, terpercik muka sendiri.
Model
komunikasi bisnis yang dilakukan perusahaan motor atau produk lainnya yang
beriklan tanpa menjelekkan pihak lain, pantas dicontoh. Sebuah pabrikan motor
membuat tagline ”selalu terdepan”, tanpa membandingkannya dengan merk motor
lainnya. Berupaya mengalahkan pesaingnya mutlak harus dilakukan oleh
masing-masing pasangan, bahkan dengan menggunakan kampanye negatif, antara
lain menunjukkan kelemahan program lawan disertai fakta dan data empiris.
Namun menuduh serta menyerang pribadi pesaingnya harus saling dihindarkan.
Ke depan
kita ingin pilpres-pilwapres yang dilakukan tepat pada bulan Ramadan
seyogianya menjadi momentum saling menghargai, meski tetap dalam kondisi
bersaing secara sehat untuk merebut mandat rakyat. Pepatah Jawa nglurug tanpa
bala, menang tanpa ngasorake, sangat pas dilakukan. Pasalnya, pada prinsipnya
siapa pun yang akan terpilih adalah skenario terbaik Allah Swt bagi NKRI,
setidak-tidaknya untuk 5 tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar