Presiden
Baru Jangan Abaikan Energi Terbarukan
Rosari
Saleh ; Guru
Besar Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 19 Juni 2014
Di
tengah hiruk-pikuk berita Pemilihan Umum Presiden 2014, ada beberapa berita
menarik dari sektor energi Indonesia.
Yang
pertama adalah per 1 Juli nanti akan ada enam golongan pelanggan listrik yang
mengalami kenaikan bertahap hingga November 2014 per dua bulan di kisaran
5-11%. Dalam kerangka kenaikan ini pemerintah masih menyubsidi listrik
sebesar Rp103,82 triliun. Yang kedua adalah pengumuman besaran subsidi BBM
dalam APBNP 2014 sebesar Rp246,49 triliun dari sebelumnya Rp284,986 triliun
yang meskipun turun tetap saja nilainya lebih besar dari di APBN 2014 yang
hanya Rp210,7 triliun.
Kenaikan
tarif listrik ini walaupun tidak menyentuh kelas pelanggan paling rendah
namun memberikan sinyalemen bahwa masalah ini akan terus terjadi sepanjang
tidak ada perubahan berarti baik dari segi harga di konsumen atau biaya
pembangkitan di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Subsidi ini akan terus
terjadi karena biaya pembangkitan listrik tinggi sementara harga jualnya
rendah. Merujuk pada laporan tahunan PLN tahun 2012, ratarata harga penjualan
listrik per KWH adalah Rp728,32 sementara biaya pembangkitannya Rp1.217,28
(PLN, 2012).
Sementara
itu, masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih terus menjadi hal
memusingkan pemerintah. Anggaran yang terbatas harus terus tergerus karena
nilai subsidi BBM terus naik dari tahun ke tahun lantaran program
diversifikasi energi masih belum cukup signifikan. Masalah energi adalah
masalah menahun di Indonesia. Masalah ini harus diperhatikan dengan serius
agar tidak justru mengganggu pertumbuhan bangsa ini.
Terlebih
harga bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas bumi, dan batu bara
cenderung menunjukkan tren yang meningkat. Tampaknya sudah menjadi keharusan
bagi pemerintah untuk menguatkan kembali semangatnya untuk melakukan diversifikasi
energi menuju pemanfaatan energi terbarukan. Perpres No 5 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional yang memberikan perhatian terhadap energi
terbarukan tidak dapat lagi diabaikan implementasinya dan harus didorong agar
terus maju.
Terlebih
industri perkembangan energi terbarukan di negara-negara maju telah
menunjukkan posisinya sebagai sunrise industry. Keunggulan energi terbarukan
tidak lagi hanya di keramahannya terhadap lingkungan, tapi juga efisiensi
biayanya. Potensi inilah yang membuat beberapa perusahaan minyak ternama di
dunia seperti Total, Chevron, Shell, British Petroleum, dan bahkan Saudi
Aramco menginvestasikan uangnya di industri energi terbarukan.
Pencapaian Indonesia
Belakangan
ini ada beberapa milestones dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan di
Indonesia. Yang paling besar adalah pada bulan April 2013 energy sales contract (ESC) dan joint operating contract (JOC) untuk
Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sudah ditandatangani. Tiga
pembangkit tenaga panas bumi dengan kapasitas masing-masing 110 MW
direncanakan akan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017 dengan harga pembelian
listrik PLN dari PLTP Sarulla disepakati sebesar USD6,79 sen.
Harga ini jauh lebih murah dibandingkan
biaya pembangkitan di Sumatera Utara dengan BBM yang mencapai USD35-40 sen.
Jakarta Post mencatat pengoperasian PLTP Sarulla per tahunnya akan mengurangi
subsidi listrik hingga Rp4 triliun. Yang kedua, Juni tahun lalu Menteri ESDM
Jero Wacik menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2013
tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (persero)
dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik.
Dalam
peraturan tersebut disebutkan bahwa PLN akan melakukan lelang kuota kapasitas
PLTS Fotovoltaik, dan kepada pemenang lelang seluruh hasil produksi
listriknya akan dibeli seharga USD25-30 sen per KWH. Dalam aturan itu
disebutkan kontrak pembelian berlaku selama 20 tahun dan bisa diperpanjang.
Lelang ini sudah selesai dan sudah ada pemenangnya yang akan segera membangun
fasilitas PLTS.
Pencapaian
di dalam negeri dan perkembangan di luar negeri seharusnya mengubah paradigma
energi kita bahwa berbicara energi terbarukan itu tidak hanya bicara mengenai
kelestarian lingkungan, tapi juga bicara mengenai potensi efisiensi ekonomi.
Sumber energi terbarukan tidak pelak lagi, merupakan jawaban yang feasible
untuk tantangan masalah energi Indonesia. Energi terbarukan sudah saatnya
dipandang sebagai sebuah ranah industri yang baru dan menjanjikan secara
ekonomi.
Komitmen untuk Insentif
Energi
terbarukan sudah menjadi tren global dan Indonesia tentu tidak boleh
ketinggalan. Fokus ke pemanfaatan sumber energi terbarukan akan menjadi jawaban
bagi pencapaian otonomi energi bangsa ini. Terlebih Indonesia adalah salah
satu negara di dunia yang memiliki hampir semua sumber energi terbarukan yang
cukup seperti sinar matahari, angin, geotermal, arus laut, serta bioetanol.
Namun
sekalipun sangat menarik dari sisi ekonomi, untuk membuatnya tumbuh dengan
cepat tentu harus ada insentif yang diberikan pemerintah. Banyak pengalaman
di negara-negara lain yang bisa dicontoh Indonesia untuk memajukan industri
energi terbarukan. Misalnya salah satu insentif yang cukup menarik di Amerika
Serikat adalah adanya Production Tax
Credit (PTC) yang besarnya antara USD11-23 untuk tiap MWH yang dihasilkan
oleh perusahaan pembangkit listrik energi terbarukan.
Besaran
potongan pajak itu bervariasi bergantung pada jenis sektor energi terbarukan
yang diproduksi dan berlaku selama 10 tahun. Selain itu, ada beberapa
insentif lain yang diberikan oleh pemerintah AS seperti Investment Tax Credit serta Modified
Accelerated Cost Recovery System (MACRS) yang membuat sektor ini cukup
menarik bagi investor (Sustainable
Energy in America Factbook , Bloomberg New Energy Finance, 2014).
Indonesia
juga bisa belajar dari pengalaman sukses Jerman yang menerapkan German Renewable Energy Act (Er-neuerbare- Energien-Gesetz/EEG) pada
tahun 2000. Regulasi tersebut mengatur sistem feed-in tariff yang kompetitif. Perkembangan itu mendorong rumah
tangga untuk membangun solar home
system (SHS) yang menempatkan mereka pada posisi sebagai produsen energi
yang bisa mendapatkan keuntungan yang menarik.
Perusahaan
energi swasta pun menganggap aturan tersebut sebagai potensi bisnis yang
menguntungkan. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang
energi terbarukan tumbuh dengan pesat. Kathrin Suhlsen dan Matthijs
Hisschemoller dalam publikasinya di Jurnal Energy Policy dengan judul “Lobbying
the Lobbying the Energiewende Energiewende. Assessing the Effectiveness of Strategies to Promote the Renewable
Energy Business in Germany“ (2014) mengatakan bahwa sistem feed-in tariff
ala Jerman mencapai tingkat penerimaan yang sedemikian besar sehingga sudah
diadopsi oleh sekitar dua pertiga anggota Uni Eropa. Aturan tersebut menjamin
tiap KWH listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan akan
mendapatkan feed-in tariff dan
operator jaringan listrik (seperti PLN di Indonesia) harus memasukkannya
kedalam grid dengan jaminan
pembelian selama 20 tahun.
Jerman
sendiri menargetkan pada 2020, 35% sumber energinya berasal dari energi
terbarukan serta 80% pada 2050. Konsep ini diperkuat pada 2011 yang
menargetkan akan menghilangkan PLTN paling lambat 2022. Suhlsen dan
Hisschemoller juga menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan di bidang energi
melihat potensi yang besar di sektor energi terbarukan dan mendorong
pemerintah Jerman untuk memberikan perhatian besar serta insentif pada sektor
ini.
Pengalaman beberapa negara maju
menunjukkan potensi besar energi terbarukan. Daripada terus-menerus berkutat
dengan angka subsidi listrik dan BBM yang terus melonjak dengan harapan turun
yang kecil, tak ada salahnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar
untuk insentif serta subsidi di bidang energi terbarukan yang nantinya dengan
sendirinya bisa memangkas subsidi listrik dan BBM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar