Sabtu, 03 Mei 2014

Perampas Suara Rakyat

Perampas Suara Rakyat

Ikhsan Darmawan  ;   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 02 Mei 2014
                                               
                                                                                         
                                                             
Di tengah pemberitaan hangat yang beredar mengangkat soal caleg yang (diperkirakan) menang dan kalah serta siapa saja mereka, ada berita yang tak kalah menarik. Berita itu adalah soal ketidaknetralan penyelenggara pemilu.

Yang lebih memprihatinkan, keberpihakan itu begitu ”barbar”. Contohnya salah seorang oknum komisioner KPU Kutai Timur diberitakan mengubah data perolehan suara. Setelah menemukan sejumlah bukti, termasuk uang tunai Rp40 juta yang diduga pemberian dari sejumlah caleg kepadanya, dia akhirnya dijadikan tersangka. Ha, inisial komisioner itu, dijerat Pasal 309 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan ancaman hukuman empat tahun penjara.

Ancaman hukumannya dapat ditambah sepertiga dari empat tahun karena dia adalah anggota komisioner. Sebelumnya, di Kecamatan Ciampea, Bogor, terdapat kasus surat suara yang telah tercoblos. Bawaslu Jawa Barat akhirnya melimpahkan kasus dugaan kecurangan di Desa Benteng itu kepada Kapolda Jawa Barat karena sudah masuk tindak pelanggaran pidana pemilu.

Dalam hal ini, ketua panitia pemilihan diduga terlibat dalam kasus tersebut. Dua kasus di atas hanya sedikit penggalan kisah curangnya penyelenggara pemilu. Berdasarkan temuan Bawaslu, didapati pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu dan direkomendasikan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk ditindaklanjuti. Pelanggaran oleh penyelenggara ini mencapai 42 kasus (KORAN SINDO, 17/4/2014).

Tentu ini bukan perkara sepele dan main-main. Kalau kita ingin pemilu negara kita demokratis, haram hukumnya ada hal seperti ini. Jika merujuk pada kriteria pemilu demokratis menurut Austin Ranney (1987), ada dua kriteria yang ditabrak. Pertama, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara.

Kedua, komite pemilu yang independen, representatif, dan netral/nonpartisan. Apalagi jika kita berpikir bahwa anggaran negara dari uang rakyat yang diambil untuk penyelenggaraan pemilu juga tidak sedikit, yaitu 17 triliun, jelas hal ini mencederai demokrasi dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dirampasnya suara rakyat oleh penyelenggara pemilu jelas berdampak paling buruk terhadap ketidakpercayaan terhadap pemilu itu sendiri.

Padahal, kepercayaan terhadap proses dan hasil pemilu juga merupakan poin-poin penting lain untuk mengukur demokratis tidaknya sebuah pemilu selain electoral laws (aturan pemilu). Belum lagi pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu kita sebenarnya sudah dikuatkan oleh sejumlah pilar formal, yaitu UU Penyelenggara Pemilu No 5 Tahun 2011, lembaga-lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu di tingkat pusat dan daerah), serta DKPP.

Apa yang salah dan sebaiknya bagaimana memperbaikinya? Pertama, pemilu kita masih sangat mengandalkan cara-cara manual. Teknologi dan cara elektronik dipakai baru di dua kegiatan: pendataan pemilih (termasuk mekanisme search engine untuk calon pemilih memverifikasi apakah mereka terdaftar atau tidak) dan pengiriman hasil pemindaian form C1 kepada KPU pusat.

Di aktivitasaktivitas lain seperti memilih (votes casting) dan menghitung hasil perolehan secara elektronik, KPU tidak menjamahnya. Padahal electronic voting dapat menjadi salah satu solusi atas persoalan kecurangan panitia penyelenggara di samping mempercepat perhitungan dan mengefisienkan anggaran. Negara tetangga kita, Filipina, mulai ”berani” menggeluti e-voting dalam pemilu mereka.

Evoting dipakai di negara kepulauan itu pada pemilu presiden mereka tahun 2010 lalu. Bahwa ada pertanyaan di soal keamanan, kepercayaan, dan apakah hasil dengan e-voting benar-benar aman dari kecurangan juga menjadi polemik sendiri di dalam negara Filipina. Tapi, prinsip dasar penggunaan teknologi dalam pemilu adalah memulai mencoba untuk kemudian dievaluasi terus-menerus agar dapat diperbaiki dan disempurnakan dalam jangka panjang.

Mengapa kita belum berani mencoba padahal Filipina sudah memulainya? Salah satunya karena belum ada keputusan dan keinginan politik dari dua pembuat kebijakan penting, yaitu pemerintah dan DPR. Padahal, kajian soal teknologi (mesin, keamanan, dan lain-lain) sudah lama dilakukan BPPT dan kajian sosial politik telah coba dilakukan kalangan kampus seperti UI.

Kedua, pengawasan pemilu yang bertahap, tidak mudah, dan cenderung melelahkan. Aturan pemilu kita menyebutkan bahwa hasil pemilu di tingkat TPS dibawa ke tingkat di atasnya (PPS ke PPK ke KPU kabupaten/kota ke KPU provinsi lalu ke KPU pusat). Proses itu memakan waktu berhari-hari, tenaga yang maksimal, serta biaya yang tidak sedikit. Tidak jarang karena obstacles itu akhirnya pengawasan makin longgar ketika makin ke tingkat di atasnya.

Berkaitan dengan poin pertama di atas, jika dilakukan dengan cara elektronik, pengawasan akan makin pendek alurnya dan seluruh effort lebih mungkin untuk dikonsentrasikan. Ketiga, penyelenggara pemilu bukan pejabat negara. Kecuali komisioner KPU dan anggota Bawaslu di tingkat pusat, panitia pemilu di tingkat di bawahnya bukanlah pejabat negara. Implikasinya mereka tidak perlu melaporkan harta kekayaannya kepada negara.

Padahal, memeriksa harta kekayaan penyelenggara pemilu sebelum dan sesudah pemilu amat penting untuk meminimalisasi kemungkinan adanya bribery alias suap kepada mereka. Ilustrasi pertama di awal tulisan ini menunjukkan bahwa ketidaknetralan penyelenggara bertalian erat dengan uang (baca: harta kekayaan). Kalau hanya menunggu laporan temuan saja dari pihak yang kebetulan mengetahui praktik haram kongkalikong penyelenggara dan caleg, kita sangat mengandalkan unsur ”kebetulan” tadi.

Sementara dengan wajib melaporkan harta kekayaan para penyelenggara, peluang menemukan pelanggaran akan jauh lebih besar. Kempat, penegakan hukum yang ”belum cukup” menjerakan. Kelihatannya ini masalah klise, tetapi tentu saja kalau faktor ini tidak diperkuat, terutama soal sanksi dan pemublikasian penyelenggara pemilu yang terhukum, boleh jadi kurang membuat penyelenggara curang gentar. Kita bisa belajar soal ini dari bagaimana pelanggar hukuman pidana seperti korupsi yang diperlakukan dengan disorot media massa habis-habisan.

Kesimpulannya, ada empat cara untuk bisa mengatasi masalah penyelenggara pemilu yang tidak independen, yaitu penggunaan teknologi dalam pemilu, pengawasan yang lebih ketat, kewajiban pelaporan harta kekayaan penyelenggara pemilu, dan penegakan hukum yang mumpuni.

Dengan dijalankannya keempat cara di atas, penulis optimistis kita akan memilih pemilu yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar