Pekerjaan
Rumah
Daniel Mohammad Rosyid ;
Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
|
JAWA
POS, 02 Mei 2014
APA yang
terlintas dalam pikiran Anda saat membaca judul artikel ini? Ada dua
kemungkinan lintasan pikiran. Bagi yang lama bersekolah, pekerjaan rumah,
biasa disingkat PR atau homework,
adalah tugas dari guru di sekolah untuk dikerjakan di rumah, baik secara
individu maupun berkelompok. Bagi yang tidak terlalu lama bersekolah,
pekerjaan rumah langsung diartikan sebagai pekerjaan-pekerjaan yang lazim
dilakukan ibu kita di rumah seperti memasak, mencuci pakaian, dan merapikan
tempat tidur.
Demikianlah
pada suatu pagi hari libur istri saya minta anak kami yang sedang membaca
sesuatu untuk mengambil tempat sampah dan mengumpulkan tumpukan dedaunan di
halaman belakang untuk di buang ke tempat sampah di depan rumah. Dia
menjawab, ''Aku sedang mengerjakan PR, Ma.'' Lalu, dia kembali melakukan
hampir semua hal untuk menyelesaikan PR dari dosennya, kecuali yang diminta
istri saya itu. Saya dan istri saya mulai berdiskusi tentang PR tersebut.
Saya
pikir, kata PR itu betul-betul mantra ajaib. Melalui PR tersebut sekolah
mulai menanamkan gagasan kepada anak saya bahwa pekerjaan membuang sampah di
rumah itu tidak berkaitan dengan belajar. Begitulah anak saya mulai
meremehkan pekerjaan-pekerjaan ''rumahan'' itu. Pekerjaan rumahan adalah
pekerjaan murahan. Lalu, anak saya juga berpikir bahwa belajar hanya terjadi
di sekolah atau kampus, sedangkan rumahnya sendiri bukan tempat belajar yang
penting.
Walau
berat hati, saya terpaksa mengatakan bahwa sekolah adalah predator keluarga
di rumah. Guru dan sekolah, antara lain melalui PR, berusaha keras untuk
memberikan pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Banyak orang
tua yang kemudian percaya pada pesan dan kesan itu. Apalagi sekarang muncul
istilah ''pendidikan karakter'' dan
''full-day school''. Peran mendidik
dalam keluarga secara perlahan tapi pasti diambil alih sekolah. Banyak
keluarga yang mulai ''menitipkan''
anak-anak mereka ke sekolah, tentu untuk harga yang cocok.
Jika
akhir-akhir ini muncul kembali berbagai kekerasan yang terjadi di sekolah,
bahkan di sebuah TK sekolah bertaraf internasional, lalu guru menyuruh
murid-muridnya untuk mencubiti temannya yang datang terlambat di sebuah SD di
Bandung, bahkan kekerasan yang mengakibatkan kematian seorang siswa STIP,
saatnya tiba bagi kita untuk menilai ulang sistem persekolahan kita.
Kekerasan
adalah sesuatu yang melekat pada sistem persekolahan saat murid harus
menyesuaikan diri dengan kurikulum yang dipaksakan kepadanya. Anak-anak yang
unik dan beragam dipaksa memenuhi standar yang dirumuskan sesuai dengan kebutuhan
''pasar'' yang anak tidak kenal. Bullying oleh senior dan intimidasi oleh
guru memperburuk kekerasan tersebut.
Intimidasi
itu dilakukan melalui beragam tes standar semacam ujian nasional (unas).
Tryout bertubi-tubi membuat sekolah menjadi tempat yang paling tidak
menyenangkan. Lembaga bimbingan belajar laris manis menjelang unas, sedangkan
klub renang, les menari, dan kelas piano serta pramuka sepi peminat. Bahkan,
neurosains menemukan bahwa kelas tertutup adalah tempat terburuk bagi anak
untuk belajar.
Wajah
kusut masyarakat kita saat ini merupakan wajah masyarakat yang terlalu banyak
bersekolah, tapi begitu sedikit pendidikannya. Begitu banyak guru, tapi
sedikit keteladanan. Begitu banyak masjid, tapi begitu sedikit akhlak
mulianya. Begitu panjang antrean haji, tapi begitu sedikit kemabruran. Begitu
jauh antara kata dan perbuatan.
Hemat
saya, semua paradoks itu dimulai saat keluarga mulai kehilangan kepercayaan
diri untuk mendidik anak-anaknya sendiri. Mendidik orang lain adalah cara
terbaik untuk mendidik diri sendiri. Keteladanan hilang sejak dari rumah.
Keterbelakangan fungsi-fungsi pendidikan di dalam keluarga itu juga
menjelaskan kenaikan kasus home-breakings di Indonesia selama beberapa tahun
terakhir ini. Kecepatan kehancuran keluarga ini ditandai dengan tingkat
perceraian yang mencapai 35 kasus per jam, penyalahgunaan narkoba, kebrutalan
geng motor, sampai pelacuran remaja.
Pendidikan
karakter dan budi pekerti hanya mungkin berkembang di rumah dan di luar
sekolah. Sekolah hanya lingkungan buatan yang sering dimanipulasi. Bahkan,
anak belajar ketidakjujuran di sekolah. Di banyak sekolah, sing jujur malah
ajur. Karakter hanya tumbuh subur dalam kehidupan nyata yang penuh tantangan,
kegetiran dan kepedihan. Menyerahkan pendidikan seluruhnya kepada sekolah
merupakan bentuk sikap orang tua yang tidak bertanggung jawab.
Kurikulum
hanya resep makan siang seragam di warung dekat rumah yang disebut sekolah.
Anak yang sarapan dan makan malam bergizi yang disiapkan ibu di rumah tidak
terlalu membutuhkan makan siang seragam di sekolah. Hanya anak yang tidak
sarapan yang mengharapkan makan siang di sekolah.
Keluarga
harus merebut kembali tugas-tugas mendidik karakter anak-anak dengan
membiasakan mereka melakukan sendiri pekerjaan-pekerjaan di rumah. BKKBN
perlu menyediakan tunjangan bagi ibu hamil dan menyusui serta merawat balita
di rumah. Itu jauh lebih efektif daripada PAUD. Kehadiran PRT bisa berdampak
buruk bagi pembentukan karakter anak. Pekerjaan-pekerjaan di rumah adalah
bagian penting dalam pembentukan karakter anak-anak kita dan dalam rangka home-makings. Barat menggantungkan
keberlanjutannya pada sistem persekolahannya. Kita menggantungkannya pada
keluarga di rumah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar