Sabtu, 03 Mei 2014

Pekerjaan Rumah

Pekerjaan Rumah

Daniel Mohammad Rosyid  ;   Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
JAWA POS, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
APA yang terlintas dalam pikiran Anda saat membaca judul artikel ini? Ada dua kemungkinan lintasan pikiran. Bagi yang lama bersekolah, pekerjaan rumah, biasa disingkat PR atau homework, adalah tugas dari guru di sekolah untuk dikerjakan di rumah, baik secara individu maupun berkelompok. Bagi yang tidak terlalu lama bersekolah, pekerjaan rumah langsung diartikan sebagai pekerjaan-pekerjaan yang lazim dilakukan ibu kita di rumah seperti memasak, mencuci pakaian, dan merapikan tempat tidur.

Demikianlah pada suatu pagi hari libur istri saya minta anak kami yang sedang membaca sesuatu untuk mengambil tempat sampah dan mengumpulkan tumpukan dedaunan di halaman belakang untuk di buang ke tempat sampah di depan rumah. Dia menjawab, ''Aku sedang mengerjakan PR, Ma.'' Lalu, dia kembali melakukan hampir semua hal untuk menyelesaikan PR dari dosennya, kecuali yang diminta istri saya itu. Saya dan istri saya mulai berdiskusi tentang PR tersebut.

Saya pikir, kata PR itu betul-betul mantra ajaib. Melalui PR tersebut sekolah mulai menanamkan gagasan kepada anak saya bahwa pekerjaan membuang sampah di rumah itu tidak berkaitan dengan belajar. Begitulah anak saya mulai meremehkan pekerjaan-pekerjaan ''rumahan'' itu. Pekerjaan rumahan adalah pekerjaan murahan. Lalu, anak saya juga berpikir bahwa belajar hanya terjadi di sekolah atau kampus, sedangkan rumahnya sendiri bukan tempat belajar yang penting.

Walau berat hati, saya terpaksa mengatakan bahwa sekolah adalah predator keluarga di rumah. Guru dan sekolah, antara lain melalui PR, berusaha keras untuk memberikan pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Banyak orang tua yang kemudian percaya pada pesan dan kesan itu. Apalagi sekarang muncul istilah ''pendidikan karakter'' dan ''full-day school''. Peran mendidik dalam keluarga secara perlahan tapi pasti diambil alih sekolah. Banyak keluarga yang mulai ''menitipkan'' anak-anak mereka ke sekolah, tentu untuk harga yang cocok.

Jika akhir-akhir ini muncul kembali berbagai kekerasan yang terjadi di sekolah, bahkan di sebuah TK sekolah bertaraf internasional, lalu guru menyuruh murid-muridnya untuk mencubiti temannya yang datang terlambat di sebuah SD di Bandung, bahkan kekerasan yang mengakibatkan kematian seorang siswa STIP, saatnya tiba bagi kita untuk menilai ulang sistem persekolahan kita.

Kekerasan adalah sesuatu yang melekat pada sistem persekolahan saat murid harus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang dipaksakan kepadanya. Anak-anak yang unik dan beragam dipaksa memenuhi standar yang dirumuskan sesuai dengan kebutuhan ''pasar'' yang anak tidak kenal. Bullying oleh senior dan intimidasi oleh guru memperburuk kekerasan tersebut.

Intimidasi itu dilakukan melalui beragam tes standar semacam ujian nasional (unas). Tryout bertubi-tubi membuat sekolah menjadi tempat yang paling tidak menyenangkan. Lembaga bimbingan belajar laris manis menjelang unas, sedangkan klub renang, les menari, dan kelas piano serta pramuka sepi peminat. Bahkan, neurosains menemukan bahwa kelas tertutup adalah tempat terburuk bagi anak untuk belajar.

Wajah kusut masyarakat kita saat ini merupakan wajah masyarakat yang terlalu banyak bersekolah, tapi begitu sedikit pendidikannya. Begitu banyak guru, tapi sedikit keteladanan. Begitu banyak masjid, tapi begitu sedikit akhlak mulianya. Begitu panjang antrean haji, tapi begitu sedikit kemabruran. Begitu jauh antara kata dan perbuatan.

Hemat saya, semua paradoks itu dimulai saat keluarga mulai kehilangan kepercayaan diri untuk mendidik anak-anaknya sendiri. Mendidik orang lain adalah cara terbaik untuk mendidik diri sendiri. Keteladanan hilang sejak dari rumah. Keterbelakangan fungsi-fungsi pendidikan di dalam keluarga itu juga menjelaskan kenaikan kasus home-breakings di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini. Kecepatan kehancuran keluarga ini ditandai dengan tingkat perceraian yang mencapai 35 kasus per jam, penyalahgunaan narkoba, kebrutalan geng motor, sampai pelacuran remaja.

Pendidikan karakter dan budi pekerti hanya mungkin berkembang di rumah dan di luar sekolah. Sekolah hanya lingkungan buatan yang sering dimanipulasi. Bahkan, anak belajar ketidakjujuran di sekolah. Di banyak sekolah, sing jujur malah ajur. Karakter hanya tumbuh subur dalam kehidupan nyata yang penuh tantangan, kegetiran dan kepedihan. Menyerahkan pendidikan seluruhnya kepada sekolah merupakan bentuk sikap orang tua yang tidak bertanggung jawab.

Kurikulum hanya resep makan siang seragam di warung dekat rumah yang disebut sekolah. Anak yang sarapan dan makan malam bergizi yang disiapkan ibu di rumah tidak terlalu membutuhkan makan siang seragam di sekolah. Hanya anak yang tidak sarapan yang mengharapkan makan siang di sekolah.

Keluarga harus merebut kembali tugas-tugas mendidik karakter anak-anak dengan membiasakan mereka melakukan sendiri pekerjaan-pekerjaan di rumah. BKKBN perlu menyediakan tunjangan bagi ibu hamil dan menyusui serta merawat balita di rumah. Itu jauh lebih efektif daripada PAUD. Kehadiran PRT bisa berdampak buruk bagi pembentukan karakter anak. Pekerjaan-pekerjaan di rumah adalah bagian penting dalam pembentukan karakter anak-anak kita dan dalam rangka home-makings. Barat menggantungkan keberlanjutannya pada sistem persekolahannya. Kita menggantungkannya pada keluarga di rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar