Jumat, 23 Mei 2014

Setumpuk Persoalan Bangsa

Setumpuk Persoalan Bangsa

Erna  ;   Dosen FISIP Universitas 17 Agustus 1945, Cirebon
KORAN JAKARTA,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Banyak harapan dari rakyat Indonesia agar pemimpin terpilih nanti melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara agar lepas dari berbagai kasus korupsi. Namun, sungguh disayangkan, pijakan harapan perubahan masih dititikberatkan pada individu capres dan cawapres. Maka, keduanya diharapkan mampu membenahi sistem pemerintahan yang bobrok.

Bobrok bangsa disebabkan rusaknya individu-individu aparat negara dan sistem sistem politik demokrasi kapitalis. Maka wajar, setelah sekian lama “terperosok dan berkubang” dalam kesengsaraan, ketika ada momentum perubahan melalui pergantian pemimpin nasional untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Masalah bangsa begitu pelik dan rumit, bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan sudah merambah pada berbagai aspek kehidupan sehingga menjadi permasalahan sistemik.

Kondisi ini mendesak diselesaikan, tidak boleh ditunda-tunda lagi. Jika tertunda, akan menjadi bom waktu yang siap meledak dan semakin menghancurkan kondisi Indonesia yang sudah porak-poranda. Problem akut yang menuntut perbaikan segera antara lain karutmarutnya perekonomian.

Kekacauan sistem ekonomi negeri ini tampak jelas pada kasus penjualan aset milik rakyat bukan hanya kepada pihak swasta dalam negeri, tetapi juga asing. Bahkan, dalam hal ini, pemerintah cenderung patuh pada kepentingan asing. Sebagai contoh masih ingat penjualan BUMN pemerintah di bidang telekomunikasi, Indosat. Dalam kasus ini tampak jelas pemerintah tidak memperhatikan integritas bangsa, hanya tunduk pada intervensi asing.

Dalihnya, demi mendapat suntikan dana segar bagi pembangunan. Selanjutnya, warisan keputusan kapitalisme pendidikan pemerintah sebelumnya juga menjadi agenda mendesak dipecahkan. Ini mengakibatkan biaya pendidikan mahal. Jika dibiarkan, pendidikan yang layak dan murah makin jauh. Ini karena lembaga-lembaga sekolah membebankan seluruh biaya pendidikan kepada peserta didik, yang sejatinya menjadi tanggung jawab negara. Program beasiswa murid tidak mampu lebih terkesan “populis” dan tidak mengenai sasaran. Padahal, pendidikan yang berorientasi pada pembentukan pribadi unggul dengan biaya semurahmurahnya hak bagi seluruh rakyat, bukan hanya hak orang miskin.

Sekularisasi pendidikan makin subur karena tidak disatukannya dasar proses belajar nasional dengan aspek kerohanian. Akibatnya, peserta didik secara sistemik diarahkan berpola pikir sekularistik, bergaya hedonis, dan berorientasi keduniawian semata. Jangan heran bila muncul pemimpin bermental korup dan kekerasan sekolah. Pemerintah mendatang perlu membenahi pendidikan agar mencetak generasi beraspek etos kerja kuat dan juga tangguh secara moral. Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum seolah-olah hanya menjadi hantu di siang hari, penuh khayalan, tidak akan pernah terjadi. Banyak kasus korupsi cenderung tidak tersentuh.

Contoh, banyak proses penyidikan penyelewengan jabatan dihentikan. Ke depan, pemerintah tidak boleh pandang bulu alias tebang pilih dalam memberantas korupsi. Siapa pun dan apa pun jabatannya, jika menyalahgunakan wewenang harus ditindak. Hukum harus tegak bagi siapa pun. Perlakuan Sama Korupsi sistemik pegawai pemerintah juga menjadi permasalahan sesegera mungkin dipecahkan. Pelayanan publik yang cepat dan memuaskan memerlukan uang pelicin. Kondisi ini diperparah lagi dengan pelayanan yang cenderung sulit dan berbelit-belit. Selain itu, terdapat ketidaksinergisan kementeriankementerian dalam mengeluarkan kebijakan dan peraturan.

Pemerintah baru harus mampu menghapus uang pelicin. Semua harus dilayani. Siapa datang pertama dilayani lebih dulu. Semua harus dibiasakan antre. Pejabat yang menerima upeti atau uang pelicin harus disingkirkan. Hanya dengan begitu, seluruh administrasi pemerintahan berjalan tertib. Tingkat pengangguran masih tinggi sebagai akibat tidak banyak pembukaan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Tenaga kerja Indonesia di Luar negeri cenderung dieksploitasi, baik oleh pemerintah (adanya pungutanpungutan liar selama proses imigrasi), agen penyalurkan, pemerintah tempat TKI bekerja, majikan, dan perusahaan tempat TKI mengadu peruntungan.

Pembawa devisi memang sering mengalami kekerasan dan penindasan. Mereka sangat tidak terlindungi. Para pekerja Indonesia ini seharusnya sangat dilindungi agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh siapa pun. Permasalahan yang melilit bangsa ini bukanlah karena tidak tersedianya sosok pemimpin yang kredibel dan berwibawa semata. Namun lebih dari itu, semua disebabkan sistem demokrasi kapitalis.

Menengok pada segudang permasalahan tersebut, maka presiden terpilih nanti harus membenahi sistem agar berbagai problem tadi teratasi. Sebab, permasalahan bangsa tidak hanya terletak pada kekurangan figur teladan bagi bawahan dan masyarakat, tapi juga berbagai sistem yang tidak berjalan baik. Presiden harus mampu menemukan pribadi-pribadi baik dan kapabel yang dapat mendukung kerja pemerintah.

Penyelenggaraan negara tidak boleh diserahkan kepada individu-individu yang berkiblat pada kepentingan asing. Dengan sejumlah perubahan kelak diharapkan muncul pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bekerja keras. Dengan pemerintahan bersih, kredibel, profesional, serta sistem yang berjalan baik, rakyat boleh berharap persoalan-persoalan bangsa yang menumpuk tadi perlahan-lahan dapat dipecahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar