Jumat, 23 Mei 2014

Kekeliruan Penggunaan Kata “Kita” dan “Kami”

Kekeliruan Penggunaan Kata “Kita” dan “Kami”

Holy Adib  ;   Wartawan HALUAN
HALUAN,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Selamat merayakan kesalahan peng­gu­naan kata. Sejak beberapa waktu belakangan entah sejak kapan persisnya kesalahan peng­gunaan kata dilakukan secara berjemaah, terlepas dari sengaja atau tidak. Kesalahan tersebut, terlalu banyak untuk disebut­kan sekaligus dan terlalu panjang untuk dituliskan dalam satu kolom artikel di surat kabar. Oleh karena itu, kali ini saya ingin mengambil satu contoh kasus, yakni kekeliruan penggunaan kata ‘kita’ dan ‘kami’.

Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa, dari orang tak berpendidikan sampai orang yang katanya terpelajar, dari rakyat jelata sampai pejabat, dari anak gaul sampai orang udik untuk tidak menyebut semua kala­ngan seperti tak bisa lagi membedakan kapan kata ‘kami’ dan ‘kita’ seha­rusnya digunakan.

Kesalahan demikian bisa dilihat di mana saja. Di berita, sinetron, program bincang-bincang di televisi. Di berita di surat kabar cetak, online dan di semua jenis media.
Saya tidak tahu sejak kapan persisnya kesalahan tersebut bermula dan kapan akan berakhir. Kesalahan luar biasa itu tampaknya telah menjadi sangat biasa di telinga masya­rakat. Hampir tak terdengar lagi ada orang yang mempermasalahkannya.

Anda yang pernah duduk di Sekolah Dasar (SD) tentu tahu, bahwa kata ‘kami’ dan ‘kita’ merupakan kata ganti orang pertama jamak. ‘Kami’ berarti kata ganti orang pertama jamak yang berbicara dengan orang lain yang tidak termasuk yang diajak ber­bicara. Sedangkan ‘kita’ merupakan kata ganti orang pertama jamak yang berbicara dengan orang lain yang terma­suk yang diajak berbicara.

Walau definisi di atas menegaskan, bahwa makna kata ‘kami’ dan ‘kita’ sangat berbeda, namun ketika menon­ton televisi, kita melihat dan mendengar petinggi sebuah partai menjawab begini, “kita belum menentukan akan berkoalisi dengan partai mana. Kita akan membahas hal itu dalam Rapimnas pekan menda­tang,” ketika seorang wartawan bertanya kepadanya tentang arah koalisi partai tersebut.

Anda pasti saya pastikan sering mendengar jawaban begini ketika seseorang berta­nya kepada sekelompok anak gaul, “Kalian mau ke mana?”, lantas anak-anak gaul tersebut menjawab, “Kita mau ke mal.”

Ironisnya, ketika sebagian besar orang salah berbahasa Indonesia, sebagian besar lainnya mengatakan hal seperti ini kepada seorang lulusan SMA yang ingin kuliah di jurusan Bahasa Indonesia, “Untuk apa kuliah di jurusan Bahasa Indonesia? Bukankah kamu orang Indonesia, lahir di Indonesia, tentu bisa berba­hasa Indonesia.” Apakah orang yang bertanya demikian sudah merasa pintar berbahasa Indonesia?

Tidak hanya menonton di televisi, membaca di koran, dan mendengar di radio, saya juga pernah mengalami lang­sung kekeliruan penggunaan kata seperti yang saya sebutkan di atas. Suatu ketika, saya mewawancarai seorang pejabat kepolisian. Saya bertanya begini, “Pak, bagaimana perkembangan kasus pemer­kosaan tempo hari?” Lalu, pejabat kepolisian itu menjawab, “Kita sedang berusaha mengejar tersangka.” Mendengar jawaban itu, saya bingung dan bertanya-tanya sendiri dalam hati, sejak kapan polisi mengikutsertakan wartawan mengejar seorang pelaku kriminal?

Atau apakah pejabat polisi tersebut bermaksud seperti yang dikatakan Putu Wijaya dalam Rubrik Bahasa di Majalah Tempo pada 2 Januari 2012, bahwa dia menggunakan kata ‘kita’ dalam contoh kasus demikian dengan satu tujuan khusus, yakni menolak kon­fron­tasi satu lawan satu. Ia memaksa lawan bicaranya untuk memperlakukan dia sebagai anggota kelompok sekaligus memaksa kelom­poknya menerima persoalannya bukan persoalan pribadi, melainkan masalah bersama.

Terkait hal itu, saya tak dapat membayangkan jika ada kasus narapidana kabur dari Rumah Tahanan (Rutan), lalu kepala rutan mengatakan, “Tahanan itu kabur karena kelalaian kita.”

Bukan hanya sekali itu saja saya mengalami langsung kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh manusia yang katanya lahir di Indonesia, berbahasa Indonesia dan berbangsa Indonesia. Seringkali, ketika mewawancarai narasumber, hampir selalu saya temu­kan narasumber yang tak bisa membedakan pemakaian kata ‘kami’ dan ‘kita’.

Yang menyakitkan dari kekeliruan besar itu adalah, ketika saya membetulkan kerancuan berbahasa si nara­sumber dalam berita yang saya tulis, setelah dia membaca berita itu, dia tak pernah menyadari kesalahannya, apalagi berterimakasih kepada saya. Ucapan terimakasih yang berada dalam kondisi antara yang saya harapkan dan sebaliknya. Di lain kesempatan, ketika saya mewawancarainya lagi, dia kembali melakukan kesalahan yang sama.

Terkait hal di atas, saya sering membaca berita di media nasional, media yang memiliki banyak redaktur bahasa yang kabarnya kompeten, bahwa seringkali ketika narasumber salah menggunakan kata ‘kami’ dan ‘kita’, redaktur meloloskan kesalahan yang demikian. Akibatnya, sebagian besar masyarakat Indonesia yang lugu dalam istilah Minang­kabau disebut luruih tabuang menganggap hal yang demikian sebuah kebenaran, sehingga mereka mengadopsi hal tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dan menyebar­luaslah kesalahan besar berbahasa.

Sampai saat ini saya masih ragu, apakah merupakan sebuah dosa besar, ketika wartawan atau redaktur, memperbaiki kesalahan berba­hasa seorang narasumber, ketika apa yang diucapkan si narasumber dituliskan dalam berita? Atau apakah memang ada aturan bahwa media harus memuat secara mutlak apa yang dikatakan narasumber sekali pun kalimatnya kacau sekacau-kacaunya? Jika benar begitu, tujuannya apa? Apakah untuk menelanjangi kebodohan narasumber tersebut demi keontetikan berita? Yang dibutuhkan publik sebenarnya apa? Maksud yang disam­paikan narasumber atau orisinalitas berbahasa narasumber?

Dari contoh-contoh kasus di atas, jelas bahwa masyarakat Indonesia harus kembali memba­ca buku pelaja­ran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Sedang­kan untuk guru-guru yang mengajar di SD, harus benar-benar membe­namkan pemahaman di benak murid-murid mereka, kapan kata ‘kami’ dan ‘kita’ digunakan.

Kondisi kesalahan berbahasa Indonesia sudah sangat mem­prihatinkan. Saya berharap masyarakat Indonesia mengu­bah kesalahan itu, seperti seorang presiden yang gemar mengungkapkan rasa prihatin kepada dirinya sendiri, yang kekuasaannya akan berakhir sebentar lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar