Rakyat
Butuh Presiden Baru
Anton
Kurnia ; Mantan Aktivis Mahasiswa ITB
|
TEMPO.CO,
23 Mei 2014
Mei
1998. Saya masih ingat, Kamis pagi 13 Mei, sekitar pukul sembilan, saya berangkat
dari rumah kakek saya di kawasan Maleer yang padat menuju kampus ITB, hendak
menghadiri aksi Kamisan di boulevard Ganesha. Sudah beberapa hari saya tak ke
luar rumah, sehingga agak tertinggal kabar terakhir dari kawan-kawan. Saat
itu ponsel masih barang mewah dan jaringan Internet tak semassal saat ini.
Di depan
kampus ITB, massa sudah berkumpul. Membeludak. Saya segera bergabung. Polisi
berjaga. Tapi tak seperti hari-hari lain, kini mereka tampak melonggarkan
penjagaan. Tak ada senjata laras panjang. Tak ada tentara. Sebelumnya,
sepasukan tentara bersenjata selalu berjaga di belakang barikade polisi.
Sesekali mereka memerangkap massa demonstran saat terjadi dorong-dorongan
dengan cara membuka sedikit barikade, lalu cepat-cepat menutupnya, sehingga
beberapa demonstran terjebak terkepung di antara polisi dan tentara, lalu
dengan mudah dihajar pentungan atau disepak sepatu lars sampai babak-belur.
Setelah
beberapa orasi mengutuk penembakan mahasiswa di Jakarta dan menuntut Soeharto
segera mundur, kami mulai bergerak. Biasanya, paling hebat kami hanya bisa
merangsek hingga mulut Jalan Ganesha, di pertigaan Dago depan Borromeus. Itu
pun setelah aksi jibaku saling dorong dengan petugas yang kerap memakan
korban tak sedikit. Lebih sering kami tertahan di depan kampus. Lalu dipukul
mundur dengan beringas oleh tentara. Tapi hari itu kami leluasa bergerak
sambil bernyanyi dan meneriakkan yel-yel penuh semangat. Polisi-polisi yang
tampak tak berwibawa hanya melihat dan membiarkan. Memberi jalan.
Kami
terus maju menuju Gedung Sate, yang merupakan simbol kekuasaan, tempat
gubernur dan para anggota DPRD Jawa Barat berkantor. Saat itu kami
benar-benar marah mendengar kabar penembakan di Jakarta. Massa makin meluap
dalam iring-iringan para demonstran. Banyak yang bergabung di tengah jalan.
Saya ada di saf depan sehingga bisa mengamati keadaan dengan leluasa. Polisi
membiarkan kami maju dengan bebas. Berbaris dengan tertib melewati
jalan-jalan utama. Kami bernyanyi, berteriak, berseru. Tapi tak ada
kerusuhan, apalagi huru-hara.
Akhirnya
kami berhasil menduduki Gedung Sate tanpa perlawanan dari aparat keamanan.
Kami lalu membentuk pagar betis. Membentangkan spanduk panjang dari kain
putih bertulisan huruf-huruf merah: "RAKYAT BUTUH PRESIDEN BARU".
Beberapa orang berorasi: "Reformasi sekarang juga!"
Setelahnya,
massa beralih ke Lapangan Gasibu di depan Gedung Sate, bergantian berorasi
menuntut rezim segera bubar. Seorang kawan yang baru datang dari Jakarta
bergabung, memberi kabar soal penembakan di Trisakti. Dia melihat sendiri
jenazah para martir yang berlubang oleh peluru tajam. Tapi kabar soal
kerusuhan tetap simpang-siur.
Kami
marah, kami sedih, tapi kami juga mulai gembira. Tanda-tanda kejatuhan
Soeharto telah makin dekat. Kami bersiap berpesta di dalam duka. Selepas
zuhur, kami mundur dengan optimisme di hati masing-ma-sing bahwa rezim yang
korup dan haus darah ini akan segera hancur.
Kita
tahu, sejarah kelak mencatat delapan hari kemudian Soeharto mundur setelah 32
tahun berkuasa dengan tangan besi di republik ini. Reformasi pun bergulir
walau keburu layu sebelum mekar. Kini sudah dua windu berlalu. Bagi para
demonstran, bergerak sampai ke mulut Jalan Ganesha sama sekali bukan prestasi. Dengan mudah para demonstran menembus
barikade polisi, berorasi di lobi gedung-gedung pemerintah. Rakyat masih
butuh preisden baru, dan rakyat hanya bisa terus menunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar