Kamis, 01 Mei 2014

Antisipasi Kecurangan Rekapitulasi Suara

Antisipasi Kecurangan Rekapitulasi Suara

Suyatno  ;   Analis Politik Pemerintahan pada FISIP Universitas Terbuka
MEDIA INDONESIA, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
BAYANGAN pelanggaran masif mewarnai molornya proses rekapitulasi suara Pileg 2014 sungguh mengkhawatirkan. Antisipasi terhadap kecurangan rekapitulasi hasil pileg mendesak untuk dilakukan kini dan mendatang. Muncul sinyalemen adanya kecurangan berbentuk politik uang dan manipulasi suara akan merusak suara rakyat sebagai suara yang murni dari rakyat.

Di berbagai daerah muncul ketidaksesuaian jumlah suara. Seperti di Banten DPKTb berjumlah 10.239 orang, sedangkan pengguna hak pilih mencapai 11.003 orang. Di Lampung perbedaan hingga 881.376 suara dengan DPT DPD dan DPR. Upaya terobosan KPU berupa tayangan form C1, dokumen rekapitulasi hasil pileg berjalan lambat. Di laman KPU mencatat data baru mencapai 59,56% atau 325.090 tempat pemungutan suara (TPS) dari 545.803 TPS (Media Indonesia, 29/4). Karena itu, sejumlah hal patut menjadi catat an, terutama bagi penyelenggara pemilu di negeri ini. Persoalan sebenarnya terletak pada tuntutan akan pengamatan, persiapan, dan pelaksanaan yang komprehensif terkait dengan segala seluk-beluk pemilu.

Posisi kecurangan

Potensi kecurangan manipulasi suara hasil pemilu legislatif menimbulkan pendapat dan pemahaman yang beragam dalam masyarakat. Ada yang berpandangan politik memang runyam. Siapa pun yang menang dalam pemilu di negara ini pasti akan direcoki. Para elite hanya cenderung berorientasi kepada kekuasaan sehingga bila gagal meraih kekuasaan, apa pun akan dilakukan, termasuk manipulasi suara hasil pemilu.

Bisa jadi, kelompok ini kemudian tidak tertarik pada dunia politik karena peran serta mereka dalam pemilu dan aspirasi mereka cenderung hanya dipermainkan elite politik. Mereka sudah merasa memberikan suara dalam pemilu. Bagi mereka, itu sudah cukup, sudah selesai. Kalau itu menjadi persoalan, tentu yang akan mempersoalkan ialah mereka yang merasa dirugikan karena kekuasaan mereka terancam. Namun, ada lagi yang berpendapat bahwa tidak ada asap kalau tidak ada api dalam kasus ini. Jika tidak ada indikasi kecurangan atau pelanggaran atau kekeliruan atau apalah namanya, kecil kemungkinan muncul kekarut-marutan seperti ini. Sebuah proses rekapitulasi tentu tidak akan dilakukan secara serampangan.

Kelompok itu menganggap sudah lama kecurangan dalam pemilu sebenarnya berlangsung. Itu masih diteruskan meskipun katanya kita sudah masuk era reformasi, era cara-cara demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi pilihan utama. Jalan yang bertentangan dengan itu semua harus segera ditinggalkan.

Penyebabnya hasil rekapitulasi mungkin memang memperlihatkan indikasi ketidaksesuaian hasil penghitungan yang dilakukan tim calon atau partai bersama para saksi dengan hasil akhir penghitungan suara oleh KPU. Itu yang akan dikawal secara legal. Penyebab lain jarak perolehan antarkontestan relatif dekat. Bahkan bila sinyalemen suara yang dimanipulasi atau diubah, seorang calon bahkan berubah menjadi menduduki posisi jadi.

Solusi dan demokrasi

Penyebab terjadinya kekisruhan hasil pemilu itu ialah ketidaksamaan antara jumlah suara yang diperoleh serta dicatat pada ting kat paling bawah TPS dan yang diperoleh di tingkat atasnya hingga pusat. Kondisi itu sebenarnya bisa diatasi dengan memotong rentang penyampaian perolehan suara. Panjangnya tingkatan yang harus dilalui untuk menyampaikan hasil suara ke tingkat nasional membuka peluang terjadinya manipulasi suara itu.

Kecil kemungkinan terjadinya manipulasi di tingkat TPS. Setidaknya bila ada selisih dan kecurangan, segera dapat dideteksi dan dita ngani. Di samping itu, pada tingkat itu biasanya saksi dari peserta pemilu masih relatif lengkap. Yang men jadi saksi kebanyakan juga orang yang menjadi `pendukung setia' dari salah satu peserta pemilu. Ada perasaan tidak rela bila yang didu kungnya dikerjai pihak lain.

Di samping itu pelaksana di ting kat itu kebanyakan rakyat kecil yang memiliki tingkat dedikasi dan kejujuran yang tinggi. Mereka akan bekerja sungguh-sungguh. Kecil kemungkinan mereka melakukan rekayasa terhadap hasil pemilu. Kalau kita ke desa-desa, akan menjumpai jiwa kegotongroyongan untuk memperlancar pelaksanaan pemilu sangat kental.

Kenyataan itu Kenyataan itu patut menjadi pertimbangan pada pelaksanaan pemilu yang akan datang, untuk memperpendek rentang pelaporan hasil per olehan suara. Misalnya dengan meningkatkan teknologi komunikasi dari TPS atau tingkat PPS (desa) langsung dilaporkan ke tingkat nasional oleh petugas yang dianggap mampu di saksikan seluruh saksi dari peserta pemilu.

Cara itu ditempuh melalui berita acara pembacaan hasil rekapitulasi suara melalui telepon atau alat komunikasi sejenis (video conference). Demikian pula di KPU pusat harus ada saksi dari seluruh peserta pemilu dalam menerima laporan dari TPS disiarkan secara terbuka. Laporan yang melalui tingkatan PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi digunakan sebagai back-up dan laporan tertulis serta sebagai cross check. Namun, patokan utamanya ialah laporan dari tingkat TPS atau PPS.

Bagi demokrasi, problematik rekapitulasi hasil pemilu itu bisa memberi preseden baik dari sisi penyelenggaraan pemilu yang baik. Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagai prasyarat demokrasi di Indonesia. 
Penyelenggaraannya membutuhkan kecermatan agar terhindar dari pelanggaran-pelanggaran. Akan tetapi, tanpa niat baik, justru preseden buruk yang akan muncul.

Orientasi pada kekuasaan dan kepentingan sesaat dan sempit dengan memanipulasi hasil pemilu akan merusak demokrasi secara luas. Negara dituntut untuk terbuka dalam memutuskan kebijakan demi kehidupan bersama serta mampu mencegah terjadinya ketidakjelasan dalam proses demokrasi. Dituntut bisa mendengarkan aspirasi dari segenap masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar