Jumat, 25 April 2014

Jokowi dan Memorie van Overgave

Jokowi dan Memorie van Overgave  

JJ Rizal  ;   Sejarawan
TEMPO.CO, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pada 25 November 1632, Souw Beng Kong dan para pengusaha serta pemimpin orang Cina di Batavia mempersembahkan medali kepada Gubernur Jenderal Jaques Specx. Saat itu Specx baru mengakhiri masa jabatannya. Meskipun singkat memimpin Batavia, Specx, yang memerintah pada 1629-1632, dianggap telah memberikan banyak keuntungan. Ia sodorkan proyek pembangunan kanal, tembok benteng, pemungutan pajak, pemasokan kebutuhan kota dan bahan perdagangan, kepada orang Cina sebagai kontraktornya.

Selang 382 tahun kemudian, pada 13 Maret 2014, di tempat yang sama yang kini disebut Kota Tua Jakarta, peristiwa itu diulang oleh Lin Che Wei, salah seorang pengusaha dan ahli ekonomi yang tergabung dalam konsorsium revitalisasi Kota Tua Jakarta. Mereka memberi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, medali emas. Menurut berita, Lin Che Wei menyatakan pemberian medali itu spesial karena mengait kebiasaan gubernur yang telah menyelesaikan tugasnya ketika zaman Belanda.

Tentu spesial. Sebab, Jokowi belum melepas tugas gubernur. Terlebih karena semasa kuasa Belanda, setelah Specx, tiada lagi gubernur jenderal yang mendapat medali seusai menjabat. Tapi sedikit yang tahu Specx sudah mendapat surat recall dari Heeren XVII alias para penguasa Kompeni pada 17 Maret 1632. Specx ketahuan tak beres kerja ketika menjabat di Firando, Jepang. Apalagi, selama menjabat di Batavia, hanya tiga kali Specx bikin laporan kerja. Alhasil, tiada bahan pasti yang dapat dijadikan rujukan kinerja Specx selain puja-puji elite Cina.

Tulisan ini tak hendak membandingkan Jokowi dengan Specx. Tujuannya menyorot tradisi yang menyejarah dan baik dari masa Belanda yang hilang. Tradisi yang lebih penting daripada menyerahkan medali, yaitu adat bahwa setiap pejabat Kompeni kudu bikin laporan kerja. Ketika Kompeni bubar pada akhir abad ke-19, tradisi itu dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda. Sohor bilamana seorang residen--kini setingkat gubernur--akan melepas jabatan, maka ia mesti bikin Memorie van Overgave atau naskah serah-terima berisikan laporan pertanggungjawaban kerjanya yang menyeluruh.

Memorie van Overgave ini diadatkan agar ada referensi bagi pejabat yang menggantikan. Dari beberapa Memorie van Overgave yang dibuat Residen Batavia periode awal abad ke-20, terlihat bagaimana masing-masing residen memfokuskan program kerjanya. Sebut saja Residen P. De Roo de la Faille (Agustus 1916-Februari 1919) yang berbasis laporan residen sebelumnya, Rijfsnijder, mengkreasikan tindakan baru yang membuatnya dikenang sebagai residen cemerlang. Berkat laporan De la Faille, pejuang rakyat, M.H. Thamrin, punya basis argumen di gemeente Batavia dan Volkraad.

Setelah proklamasi 1945, adat bikin Memorie van Overgave lenyap. Ali Sadikin menghidupkannya kembali ketika akan turun pada 1977. Pejabat penggantinya diharapkan tahu apa-apa yang sudah dan apa yang harus dikerjakan. Selain itu, sering dilupakan, tujuannya juga "untuk menjawab hal-hal yang biasa dipertanyakan" rakyat Jakarta dan para pengkritiknya. Selama 10 tahun Bang Ali memimpin Jakarta, pers bikin banyak liputan. Itu mencerminkan kerjanya, tapi bukan yang sebenarnya. "Mencuplik kadar sensasionil kerja saya dapat memperoleh gambaran sepihak tentang kenyataan sesungguhnya dari jejak yang saya tinggalkan," katanya dalam pengantar Memorie van Overgave dirinya yang kemudian diedarkan luas sebagai buku Gita Jaya.

Sampai di sini, Bang Ali menolak citra keliru dan berlebihan pers. Ia ingin bicara langsung dan tak sepotong-sepotong kepada para pelanjut, para pengkritik, serta rakyat Jakarta. Ia ingin meyakinkan via Gita Jaya bahwa ia merakyat bukan hanya karena getol-istilah Rendra-"turun memeriksa keadaan", tapi karena mampu bikin kebijakan strategis yang rinci untuk kepentingan lebih luas dan jangka panjang Jakarta, serta menggerakkan publik bersama birokrasinya untuk mewujudkannya dengan kerja. Sebab itu, ketika ditanya apa yang membuatnya berhasil, Bang Ali menjawab: "Saya bekerja, sayang gubernur yang lain tidak."

Masa Jokowi jauh lebih pendek ketimbang Bang Ali. Tapi keteladanan tidak ditentukan oleh durasi memimpin. Ukurannya kerja. Sebagai gubernur, Jokowi memang kerap bilang, "Saya bekerja siang-malam."

Mari kembali kepada urusan ukuran pokok dan sumber keteladanan seorang pemimpin: kerjanya. Bagaimana cara mendapat garansi Jokowi membuat Memorie van Overgave, agar ide dan hasil kerjanya tak hanya terdokumentasi, tapi juga jadi bukti kerja nyatanya.

Lebih jauh dengan Memorie van Overgave itu, masyarakat pun dapat melihat konsep Jokowi tentang "Jakarta Baru" dan arah pasti untuk mengawal mewujudkannya kelak jika ia terpilih. Setelah itu, semoga dapatlah Jokowi mengikuti jejak Bang Ali mengutip sosok yang mereka kagumi, Sukarno, "dit heeft Ali Sadikin gedaan" (ini yang telah dikerjakan Ali Sadikin) dan kini "dit heeft Jokowi gedaan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar