Doremifasol
Sudjojono
Agus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni
|
TEMPO.CO,
23 April 2014
Pada 6
April 2014, ketika bangsa Indonesia bersiap-siap memasuki bilik pemilu legislatif,
di Hong Kong terjadi keriuhan prestasi. Lukisan seniman Indonesia, S.
Sudjojono (1913-1986), terbeli di biro lelang Sotheby's dengan hammer price
HK$ 58,36 juta, atau sekitar Rp 85,7 miliar. Atau terbayar sekitar Rp 100
miliar ketika ditambah premium 21 persen. Lukisan berukuran sekitar 2 meter
itu berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro, ciptaan 1979.
Pencapaian ini mengalahkan harga lukisan Lee Man Fong, Bali Life, yang
terbeli seharga HK$ 35,9 juta pada lelang Christie's Hong Kong, November
2013.
Pencapaian
mengejutkan itu lantas membawa masyarakat seni Asia menengok Indonesia dengan
sejumlah pertanyaan. Bagaimana mungkin di negeri yang mengkonsentrasikan
seluruh dayanya kepada pengembangan ekonomi, seraya agak melupakan pembangunan
infrastruktur kesenian, mampu melahirkan seniman berkualitas tinggi?
Bagaimana mungkin di negeri yang gemar memperdaya kesenian dan seniman
sebagai alat politik, mampu menelurkan karya begitu reputatif?
Bagi
saya, reputasi mutu (dan harga) lukisan Sudjojono berkait erat dengan cara
berpikir pelukisnya, yang kemudian bermuara pada metodologi penciptaannya.
Sudjojono selalu mengatakan bahwa seorang pelukis sejati sebaiknya berangkat
dari realis. Karena dengan basis realis itu, pelukis terpaksa belajar semua
unsur kesenilukisan dari dasar. "Pelukis
itu seperti pemain piano. Sebelum masuk ke nada dan irama, sebelum memainkan
aransemen, harus tahu doremifasollasi dulu."
Sudjojono
mengatakan bahwa do itu penguasaan seluk-beluk bentuk. Re itu pencerapan karakter
makhluk hidup dan benda-benda. Mi itu pengetahuan atas situasi obyek dalam
satu momen. Fa itu penghayatan atas suasana yang melingkupi obyek. Sol itu
pengelolaan warna. La itu kemampuan menghadirkan semua unsur dalam rangkuman
yang mampu bicara. Si itu kemampuan meringkus isi kanvas dalam harmoni.
Apabila semua unsur dasar itu sudah bunyi, lukisan pun jadi.
Ihwal
penguasaan doremifasol itu memang tampak pada lukisan-lukisannya. Dalam
melukis makhluk hidup, ia sangat menguasai aspek anatomi secara rinci. Dalam
melukis benda, ia memahami karakter dan sifat-sifatnya. Semua itu lantas
dirangkum dalam sebuah kejadian bersuasana, yang ujungnya menawarkan cerita.
Sudjojono
ternyata memetik pelajaran ini dari para politikus sejati. Ia memberi contoh
betapa Churchill lebih dulu menghayati akar kehidupan dan dasar hati-pikiran
rakyatnya sebelum memimpin bangsa Inggris.
Bung
Karno, Bung Hatta, Syahrir, sampai Tan Malaka juga melakukan hal yang sama.
Mereka mempelajari sisik-melik bangsanya dengan sangat teliti. Mereka mengeja
cermat lapisan-lapisan aspirasi bangsanya. Apa yang mereka pelajari itu
lantas dikomposisi satu per satu, sampai akhirnya jadi lukisan besar
berwarna-warna yang bernama Indonesia.
Keseriusan
meniti pernik politik bagai yang direfleksikan seni lukis Sudjojono, kini
nyaris tidak ada dalam jagat politik Indonesia. Sekarang siapa pun merasa
bisa jadi politikus. Siapa pun merasa mampu jadi wakil atau pemimpin rakyat,
meski tak pernah belajar serius doremifasolnya rakyat. Itu yang menyebabkan
politik Indonesia cenderung murah harganya. Dan sulit untuk laku apabila
dilelang di negeri mana pun! ●
|
Suka
membaca buku harus kita budayakan. Dalam konteks kekinian, warga Jepang
adalah contoh betapa membaca telah menjadi budaya. Warga di negeri itu sejak
usia dini (kira-kira umur dua hingga tiga tahun) telah diperkenalkan dengan
buku. Sedemikian bagus budaya membaca di Jepang, sampai ada anekdot, "Orang Jepang itu tidur sambil
membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur."
Gemar
baca buku harus kita tradisikan. Hal ini terutama karena sampai kini
rata-rata warga Indonesia termasuk yang memiliki minat baca yang sangat
rendah. UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia
baru mencapai angka 0,001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya
ada satu orang yang memiliki minat baca (www.poskotanews.com 27/09/2013).
Kita
prihatin bahwa keadaan ini tidak kunjung membaik. Mari sandingkan data di
atas dengan tiga tahun sebelumnya. "Human Development Report
2008/2009" yang dikeluarkan UNDP menyatakan minat membaca masyarakat di
Indonesia berada pada peringkat 96 dari negara di seluruh dunia. Ini sejajar
dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Lalu, pada pertengahan 2009, Organisasi
Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD) mengatakan bahwa budaya baca
masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia
Timur.
Terkait
dengan data di atas, jika panitia 'Socrates
Award' kagum dengan adanya 800 perpustakaan di Surabaya, semoga kita bisa
mengambil 'pesan' bahwa ratusan perpustakaan itu diharapkan akan mampu
menaikkan minat baca masyarakat. Artinya apa? Kita harus meniru Surabaya
untuk menyediakan TMB sebanyak-banyaknya.
Kita
tahu, nilai lebih TBM, antara lain, lokasinya yang dekat dengan pusat-pusat
kegiatan masyarakat (seperti di balai RW, stasiun KA, pusat perbelanjaan,
rumah sakit). Harapannya, masyarakat tergoda untuk menghabiskan waktunya
dengan membaca karena posisi bahan bacaan ada di sejangkauan tangan mereka.
Alhasil,
kepada pemerintah kota mana pun di Indonesia, mari seriusi pembangunan dan
pengembangan TBM seserius saat membangun taman-taman bunga. Ayo kita jemput peradaban
mulia, antara lain dengan cara banyak membaca buku. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar