Senin, 10 Februari 2014

Dari Oprah hingga Sarah

                        Dari Oprah hingga Sarah     

Garin Nugroho  ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  09 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
”Bicara itu murah”. Demikian olok-olok para pakar komunikasi. Tak heran acara bincang-bincang menjadi primadona acara di televisi-televisi Indonesia, terlebih ketika kebebasan bicara menjadi euforia terbesar hidup berbangsa.

Dengan kata lain, keberanian bicara menjadi primadona utama komunikasi berbangsa. Hal ini didukung kenyataan bahwa masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat baca dan tulis, melainkan kini masuk dalam alfabet televisi. Jangan heran, sebagian besar cara berpikir, bertindak, dan bereaksi bangsa ini terhadap tokoh politik dan berbagai peristiwa dibentuk oleh televisi. Inilah era masyarakat televisi.

Oleh karena itu, menjadi menarik menyimak bincang-bincang di televisi Indonesia. Mengingat, bincang-bincang menjadi representasi baik-buruk dan kekacauan wajah demokratisasi Indonesia. Bincang-bincang membawa jawaban atas pertanyaan: apakah kebebasan bicara sudah disertai pengetahuan, keterampilan, dan etika yang menjadi prasyarat dialog yang beradab?

Televisi adalah media yang kekuatan komunikasinya dibawa oleh karakterisasi seseorang, baik itu pembawa berita, pemandu bincang-bincang, bintang sinetron, maupun pemandu program musik atau bola. Berbeda dengan berita utama dari surat kabar yang nama dan sosok seseorang yang menulis tidaklah terlalu penting.

Sosok yang paling fenomenal, yang telah dicatat majalah Forbes sebagai wanita paling berpengaruh di dunia adalah Oprah Winfrey. Pemandu bincang-bincang ini telah memandu lebih dari 4.500 episode, ditonton lebih dari 150 negara dengan penonton lebih dari 40 juta setiap minggu. Dalam perayaan ke-25 tahun program bincang-bincangnya, begitu banyak tokoh selebritas dunia hadir. Bintang film Tom Hanks memberi sambutan yang mampu merepresentasikan kultur bincang-bincang yang dibangun Oprah: ”Kamu dikelilingi oleh cinta... kamu dikelilingi oleh manusia dari 150 negara yang mampu mengatakan: kalian semua punya kekuatan. Kamu membuka dan memperkuat kehidupan di luar batas batas kebangsaan.”

Dengan begitu, Oprah tidak hanya menghibur dan memberi informasi, tetapi juga membagi kisah kehidupan, mentransformasi luka kehidupan dengan kebajikan, mendorong keberanian menjalani hidup, melakukan transformasi lebih berkualitas sekaligus berbagi dan membuka kehidupan.

Oleh karena itu, layaknya arti kata moderator, Oprah menjalankan dirinya sebagai medium moderasi untuk tamu-tamunya. Oprah tidaklah memamerkan keintelektualan dirinya, melakukan pameran kemampuan debat, ataupun intimidasi dan penyerangan kata. Oprah menjadikan tamu-tamunya mampu berkisah dan berbagi kisah yang membuka kehidupan.

Oleh karena itu, sungguh menyedihkan, melihat bincang-bincang Indonesia yang lebih sebagai pameran bicara dan intelektual pemandu acara daripada tamunya serta menjadikan tamu bincang-bincang tidak mampu bicara serta disudutkan untuk dibodohkan. Lebih celaka lagi, pembodohan para tamu yang lemah disebar ke Twitter, sementara tamu-tamu yang memang memiliki kekuasaan seperti presiden cenderung tidak mendapat intimidasi.

Catatan terhadap Oprah menunjukkan suatu hal penting, yakni bahwa sebuah bincang-bincang yang berhasil senantiasa memiliki kultur sendiri, gabungan antara konsep dan personalitas pemandu.

Sekiranya saya harus memilih bincang-bincang favorit, maka saya memilih bincang-bincang yang bertajuk dan dipandu Sarah Sechan. Ia tidak cenderung pameran kecerdasan dan perdebatan untuk membodohkan tamunya, tetapi kecerdasan menjadi bagian karakternya untuk menghidupkan tamu dan dialognya dengan penonton secara segar dan bersahaja.

Pada akhirnya, memang, bicara itu murah, maka program bincang-bincang akan selalu menjadi alternatif program murah yang memungkinkan populer. Namun, televisi akan menjadi murahan, sekiranya, kebebasan bicara tidak disertai keterampilan, pengetahuan serta etika dan personalitas pembawa acara. Yang muncul hanya tontonan bincang yang ramai dan sensasional karena memang masalahnya sensasional. Namun, sesungguhnya ia tidak membuka kehidupan apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar