Senin, 10 Februari 2014

Bantuan Moril

                                 Bantuan Moril       

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  09 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang bisa dikatakan tak terlalu dekat dan sungguh jarang kami saling bertemu. Selesai bercerita panjang lebar, kami berpisah. Pada malam hari, di hari yang sama, ia mengirimkan pesan berbunyi begini. ”Malam, Mas. Kalau kamu berdoa malam, aku akan doakan kamu juga. Kamu tenang saja, ya. Kita harus yakin. Punya keyakinan terhadap Tuhan itu sungguh membantu.”

Malas melangkah

Saya terharu menerima pesan seperti itu. Yang mengharukan itu bukan isi pesannya, melainkan niat membantunya itu. Apalagi dari orang yang tidak terlalu dekat. Ia menyisihkan sedikit waktunya untuk mendoakan saya.

Setelah terharu, nurani saya yang seperti silet mulai bernyanyi. ”Elo bisa kayak gitu, enggak? Pernah enggak elo doain orang lain, apalagi yang enggak terlalu deket ma elo?” Tentunya saya diam. Diam karena malu dan karena saya tahu kalau saya tak pernah melakukan hal itu.

Boro-boro mau mendoakan orang lain. Isi doa untuk urusan saya pribadi saja sudah banyak, mungkin panjangnya seperti ular tangga. Yaa..., tidak membayangkan kalau saya masih perlu mendoakan orang lain. Apalagi yang baru saya kenal.

Lha wong yang sudah lama saya kenal saja tak pernah saya doakan. Kalaupun saya doakan itu biasanya atas permintaan, dan bukan datang karena kesadaran sendiri. Kalaupun itu datang dari kesadaran sendiri, biasanya kebanyakan karena saya sedang butuh sesuatu dengan orang itu, atau sedang mengincar sebuah proyek bernilai jut-jut atau mil-mil.

Nah, kalau untuk urusan mengincar dan ada perlunya, aktivitas doanya bisa tak berhenti. Satu hari saja bisa tujuh kali, dan itu belum termasuk kalau sedang di dalam taksi, sedang dalam antrean pemeriksaan dokter.

Semuanya itu masih didukung dengan rengekan-rengekan lebay dan kemudian menggunakan suara yang memohon-mohon dengan sangat. Kalau perlu air mata harus keluar, akan saya keluarkan. Saya ini punya bakat bermain sandiwara.
Karena kemampuan itu, dulu saya ingin menjadi pemain sandiwara, tetapi gagal total. Ternyata saya pandai bermain sandiwara kehidupan, tak mampu bermain sandiwara-sandiwaraan.

Kalau perlu mesti ke rumah ibadah beberapa kali, untuk bisa terkabulnya permohonan itu, akan saya lakukan. Bala bantuan pun akan saya datangi. Meminta bantuan doa dari beberapa teman, pendeta, dan terakhir ibu saya. Karena doa ibu itu buat saya yang paling tokcer. Meski sekali waktu teman saya mengingatkan kalau ibu saya bukanlah ibu kandung.

Saya hanya berpikir sederhana kalau dia berstatus ibu. Mau kandung atau mau tidak kandung, itu tidak penting meski sesungguhnya saya juga tak tahu apakah doa yang dipanjatkan ibu kandung dengan yang tidak kandung akan berbeda hasilnya.

Langkah kecil

Nurani saya bernyanyi lagi. Saya pikir ia hanya sekali bernyanyi dan setelah itu diam. ”Dari pada elo berkeluh kesah dan nyindir di sosial media soal segala macam, mending elo coba deh mulai sekarang doain yang elo keluhkesahin itu, yang elo sindir tanpa henti tiap hari, tiap detik. Nyindir mulu mah bukan usaha ekstra. Ngedoain itu usaha ekstra. Doa tu gak banyak tenaga yang dibutuhkan. Sederhana, tapi mujarab.”

Di hari yang sama setelah bertemu teman di atas, saya menghadiri rapat dengan salah satu bank. Dalam rapat itu tersebutlah sebuah nama seorang wanita, yang kehidupannya setiap hari hanya dipenuhi untuk membantu sesama manusia. Seorang manusia yang mampu menepiskan kepentingan pribadinya di atas segala-galanya.

Pulang dari rapat itu dan setelah dicaci-maki dengan suara nurani super bawel, saya jadi bertanya bagaimana caranya mengurangi sedikit saja kadar keegoisan dalam diri saya. Bagaimana, ya, caranya untuk bisa sedikit saja meluangkan waktu untuk memikirkan orang lain tanpa ada alasan di baliknya?

Kalau saya katakan sedikit itu bukan karena saya tak mau banyak berubah, tak mau banyak memberi, tetapi saya tahu diri saya sendiri. Yang sedikit saja belum tentu berhasil. Jadi, daripada sok bercita-cita terlalu lebay,saya mau mencoba langkah kecil saja untuk memulai yang sedikit itu.

Eh..., baru saja saya menulis keinginan itu, telepon berdering dari seorang teman yang butuh pertolongan. Singkat cerita, ya, menangis dan terakhir ia meminta saya untuk mendoakannya. Setelah percakapan di telepon itu berakhir, saya berbicara dengan diri sendiri, gila ya, baru aja mau mulai yang sedikit, eh.. langsung mendapatkan latihannya.

Pagi itu, sebelum saya menyetor naskah ini, saya berdoa untuk teman dekat saya itu. Katanya kesuksesan besar itu dimulai dari langkah yang kecil. Langkah kecil untuk menyisihkan waktu untuk membantu, langkah kecil untuk membantu orang lain, langkah kecil untuk membantu orang lain yang tak hanya dekat, tetapi yang mungkin tak saya kenal. Dan langkah kecil untuk menggunakan doa sebagai senjata ampuh membantu, selain membantu secara fisik.

Sehingga pada suatu hari, kalau saya bisa sejahtera sebagai manusia, itu karena sebuah langkah awal yang kecil untuk memiliki waktu membantu orang lain, dan menggunakan doa sebagai sarana utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar