Bantuan Moril
Samuel Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi”
di Kompas
|
KOMPAS,
09 Februari 2014
Beberapa hari lalu,
saya bertemu dengan seorang teman yang bisa dikatakan tak terlalu dekat dan
sungguh jarang kami saling bertemu. Selesai bercerita panjang lebar, kami
berpisah. Pada malam hari, di hari yang sama, ia mengirimkan pesan berbunyi
begini. ”Malam, Mas. Kalau kamu berdoa
malam, aku akan doakan kamu juga. Kamu tenang saja, ya. Kita harus yakin.
Punya keyakinan terhadap Tuhan itu sungguh membantu.”
Malas melangkah
Saya terharu menerima
pesan seperti itu. Yang mengharukan itu bukan isi pesannya, melainkan niat
membantunya itu. Apalagi dari orang yang tidak terlalu dekat. Ia menyisihkan
sedikit waktunya untuk mendoakan saya.
Setelah terharu,
nurani saya yang seperti silet mulai bernyanyi.
”Elo bisa kayak gitu, enggak? Pernah
enggak elo doain orang lain, apalagi yang enggak
terlalu deket ma elo?” Tentunya saya diam. Diam karena malu dan karena
saya tahu kalau saya tak pernah melakukan hal itu.
Boro-boro mau
mendoakan orang lain. Isi doa untuk urusan saya pribadi saja sudah banyak,
mungkin panjangnya seperti ular tangga. Yaa..., tidak membayangkan kalau saya
masih perlu mendoakan orang lain. Apalagi yang baru saya kenal.
Lha wong yang
sudah lama saya kenal saja tak pernah saya doakan. Kalaupun saya doakan itu
biasanya atas permintaan, dan bukan datang karena kesadaran sendiri. Kalaupun
itu datang dari kesadaran sendiri, biasanya kebanyakan karena saya sedang
butuh sesuatu dengan orang itu, atau sedang mengincar sebuah proyek
bernilai jut-jut atau mil-mil.
Nah, kalau untuk
urusan mengincar dan ada perlunya, aktivitas doanya bisa tak berhenti. Satu
hari saja bisa tujuh kali, dan itu belum termasuk kalau sedang di dalam
taksi, sedang dalam antrean pemeriksaan dokter.
Semuanya itu masih
didukung dengan rengekan-rengekan lebay dan kemudian menggunakan
suara yang memohon-mohon dengan sangat. Kalau perlu air mata harus keluar,
akan saya keluarkan. Saya ini punya bakat bermain sandiwara.
Karena kemampuan itu,
dulu saya ingin menjadi pemain sandiwara, tetapi gagal total. Ternyata saya
pandai bermain sandiwara kehidupan, tak mampu bermain sandiwara-sandiwaraan.
Kalau perlu mesti ke
rumah ibadah beberapa kali, untuk bisa terkabulnya permohonan itu, akan saya
lakukan. Bala bantuan pun akan saya datangi. Meminta bantuan doa dari
beberapa teman, pendeta, dan terakhir ibu saya. Karena doa ibu itu buat saya
yang paling tokcer. Meski sekali waktu teman saya mengingatkan kalau ibu saya
bukanlah ibu kandung.
Saya hanya berpikir
sederhana kalau dia berstatus ibu. Mau kandung atau mau tidak kandung, itu
tidak penting meski sesungguhnya saya juga tak tahu apakah doa yang
dipanjatkan ibu kandung dengan yang tidak kandung akan berbeda hasilnya.
Langkah kecil
Nurani saya bernyanyi
lagi. Saya pikir ia hanya sekali bernyanyi dan setelah itu diam. ”Dari
pada elo berkeluh kesah dan nyindir di sosial media soal segala
macam, mending elo coba deh mulai
sekarang doain yang elo keluhkesahin itu,
yang elo sindir tanpa henti tiap hari, tiap detik.
Nyindir mulu mah bukan usaha ekstra. Ngedoain itu usaha
ekstra. Doa tu gak banyak tenaga yang dibutuhkan. Sederhana, tapi
mujarab.”
Di hari yang sama
setelah bertemu teman di atas, saya menghadiri rapat dengan salah satu bank.
Dalam rapat itu tersebutlah sebuah nama seorang wanita, yang kehidupannya
setiap hari hanya dipenuhi untuk membantu sesama manusia. Seorang manusia
yang mampu menepiskan kepentingan pribadinya di atas segala-galanya.
Pulang dari rapat itu
dan setelah dicaci-maki dengan suara nurani super bawel, saya jadi bertanya
bagaimana caranya mengurangi sedikit saja kadar keegoisan dalam diri saya.
Bagaimana, ya, caranya untuk bisa sedikit saja meluangkan waktu untuk
memikirkan orang lain tanpa ada alasan di baliknya?
Kalau saya katakan
sedikit itu bukan karena saya tak mau banyak berubah, tak mau banyak memberi,
tetapi saya tahu diri saya sendiri. Yang sedikit saja belum tentu berhasil.
Jadi, daripada sok bercita-cita terlalu lebay,saya mau mencoba langkah
kecil saja untuk memulai yang sedikit itu.
Eh..., baru saja saya
menulis keinginan itu, telepon berdering dari seorang teman yang butuh pertolongan.
Singkat cerita, ya, menangis dan terakhir ia meminta saya untuk mendoakannya.
Setelah percakapan di telepon itu berakhir, saya berbicara dengan diri
sendiri, gila ya, baru aja mau mulai yang sedikit, eh.. langsung mendapatkan
latihannya.
Pagi itu, sebelum saya
menyetor naskah ini, saya berdoa untuk teman dekat saya itu. Katanya
kesuksesan besar itu dimulai dari langkah yang kecil. Langkah kecil untuk
menyisihkan waktu untuk membantu, langkah kecil untuk membantu orang lain,
langkah kecil untuk membantu orang lain yang tak hanya dekat, tetapi yang
mungkin tak saya kenal. Dan langkah kecil untuk menggunakan doa sebagai
senjata ampuh membantu, selain membantu secara fisik.
Sehingga pada suatu
hari, kalau saya bisa sejahtera sebagai manusia, itu karena sebuah langkah
awal yang kecil untuk memiliki waktu membantu orang lain, dan menggunakan doa
sebagai sarana utamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar