Rabu, 20 November 2013

Pesta Hampir Usai

Pesta Hampir Usai
Indra TranggonoPemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS,  20 November 2013
  

SEORANG penguasa sering lupa, akhir cerita (ending) bukan sekadar tutup buku, melainkan juga pintu masuk bagi segala penilaian, bahkan tuntutan atas kekuasaan yang telah dijalankan. Ia bisa mendapatkan upah moral, tetapi bisa juga dapat rapor hitam.

moral berupa apresiasi publik yang selalu tercatat dalam ruang ingatan publik dan buku sejarah bangsa. Adapun rapor hitam berupa kutukan yang selalu bergema sepanjang sejarah.

Tak ada pesta yang tak usai. Begitu pula dengan kekuasaan. Berkuasa selama dua periode, pemerintahan SBY kini memasuki masa senja. Apakah rezim SBY mampu menyongsong matahari esok dan kembali berkuasa? Wallahualam. Pemilu 2014 pasti berlangsung sengit karena tidak ada capres petahana (incumbent).

SBY praktis ”masuk kotak” karena tak mungkin maju lagi menjadi kandidat presiden. Namun, bisa saja ia menampilkan jagonya dalam pilpres mendatang. Itu pun dengan syarat, Partai Demokrat mencapai dukungan suara signifikan. Jika tidak? Bisa repot. ”Nasib politik” SBY dan aktor-aktor Partai Demokrat pun sangat ditentukan pemenang Pemilu 2014 dan presiden terpilih serta dinamika politik yang terjadi.

Mau tak mau, SBY mulai memikirkan akhir kekuasaannya. SBY perlu mengingat presiden-presiden RI yang bernasib tragis. Misalnya, Soekarno dicap ”diktator” dan dilengserkan lawan politiknya yang didukung Amerika Serikat, melalui tragedi 1965. Meskipun begitu, pada akhirnya, rakyat tetap menghormati Soekarno sebagai pemimpin besar, bapak pendiri bangsa, dan peletak dasar negara. Terbukti, segala desoekarnoisasi yang dilakukan Orde Baru tidak mempan menghanguskan jasa besar Soekarno.

Soeharto? Nasibnya sangat tragis. Dia ”dinistakan” sebagai ”penindas” rakyat, ”pelanggar HAM”, dan ”tokoh sentral KKN”. Entah murni atau rekayasa, belakangan nama Soeharto kembali naik. Beredar banyak foto dia dengan teks yang bernada olok-olok atas rezim yang kini berkuasa. ”Isih penak zamanku to?” (Masih enak pada zamanku to?), bunyi teks itu.

Legenda

Dalam teori drama, novel, cerita pendek, dan film, akhir cerita merupakan bagian yang sangat diperhitungkan. Para kreator karya seni selalu berupaya menciptakan akhir yang kuat, baik dalam pesan maupun simbol. Akhir yang kuat dan indah akan membuat penikmat karya seni selalu terkesan dan mendapatkan inspirasi. Di sini, imajinasi menjadi media penebusan bagi dunia yang mengalami fragmentasi dan detotalisasi nilai.

Bagaimana dengan penguasa? Penguasa menghadapi tiga hal fundamental dalam menciptakan akhir cerita. Pertama, nilai-nilai ideal yang diharapkan terpahat atau tertancap secara otentik dalam kinerjanya. Nilai-nilai yang mengandung pesan dan tindakan mulia itu akan jadi pantulan kolektif dan cermin besar bagi publik. Nilai-nilai ideal pemimpin sekaligus penguasa akan mengendap dalam kognisi dan afeksi publik hingga sang pemimpin mampu hadir sebagai legenda.

Kedua, idealisme pemimpin sekaligus penguasa. Idealisme mendorongnya menjadi tokoh sejarah. Apa artinya memimpin negara, misalnya, kalau kelak hanya dikenal sebagai ”orang yang pernah jadi presiden”? Sangat menyedihkan. Namun, ketokohan membutuhkan syarat, antara lain integritas, komitmen, kapabilitas, reputasi (berupa karya-karya besar dan penting), serta kemampuan memberikan inspirasi kepada publik.

Ketiga, kesadaran untuk memberikan ide, paradigma, dan kreativitas tentang negara-bangsa yang semakin baik (beradab, adil, makmur, sejahtera, demokratis, dan multikultural).

Terlepas dari beragam prestasinya di bidang demokratisasi politik serta kebebasan pers dan kebebasan ekspresi, kepemimpinan SBY menyisakan sejumlah persoalan. Pertama, soal HAM (pembunuhan Munir, penculikan/penghilangan paksa aktivis prodemokrasi, dan lainnya). Kedua, soal korupsi yang menggurita dan dilakukan para penyelenggara negara dan aktor-aktor parpol serta kroni-kroninya (kasus Bank Century dan lain-lain).

Ketiga, soal keadilan terkait dengan praktik-praktik para penegak hukum yang masih diskriminatif, terutama terhadap orang kecil. Keempat, soal kebebasan beragama dan menjalankan ibadah agama, yang masih ada tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Kelima, soal hak-hak publik untuk mendapatkan lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan lainnya. Keenam, keadilan ekonomi yang membelah masyarakat secara ekstrem: golongan elite-kaya dan golongan rakyat miskin raya.

Rezim SBY, yang merestui pasar bebas dan praktik-praktik ekonomi liberal, telah menjadikan persaingan usaha antara yang kecil dan yang besar berjalan tak seimbang dengan kemenangan di tangan yang besar. Rezim SBY juga ”sukses” menaikkan harga-harga kebutuhan pokok menjadi tidak terjangkau rakyat. Pesta hampir usai. Apakah SBY dan rezimnya mampu menciptakan akhir cerita manis, dengan menebus kekecewaan publik atas seluruh kinerjanya?                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar