SEORANG penguasa sering lupa,
akhir cerita (ending) bukan
sekadar tutup buku, melainkan juga pintu masuk bagi segala penilaian,
bahkan tuntutan atas kekuasaan yang telah dijalankan. Ia bisa mendapatkan
upah moral, tetapi bisa juga dapat rapor hitam.
moral berupa apresiasi
publik yang selalu tercatat dalam ruang ingatan publik dan buku sejarah
bangsa. Adapun rapor hitam berupa kutukan yang selalu bergema sepanjang
sejarah.
Tak ada pesta yang tak usai.
Begitu pula dengan kekuasaan. Berkuasa selama dua periode, pemerintahan SBY
kini memasuki masa senja. Apakah rezim SBY mampu menyongsong matahari esok
dan kembali berkuasa? Wallahualam. Pemilu 2014 pasti berlangsung sengit
karena tidak ada capres petahana (incumbent).
SBY praktis ”masuk kotak” karena
tak mungkin maju lagi menjadi kandidat presiden. Namun, bisa saja ia
menampilkan jagonya dalam pilpres mendatang. Itu pun dengan syarat, Partai
Demokrat mencapai dukungan suara signifikan. Jika tidak? Bisa repot. ”Nasib
politik” SBY dan aktor-aktor Partai Demokrat pun sangat ditentukan pemenang
Pemilu 2014 dan presiden terpilih serta dinamika politik yang terjadi.
Mau tak mau, SBY mulai
memikirkan akhir kekuasaannya. SBY perlu mengingat presiden-presiden RI
yang bernasib tragis. Misalnya, Soekarno dicap ”diktator” dan dilengserkan
lawan politiknya yang didukung Amerika Serikat, melalui tragedi 1965.
Meskipun begitu, pada akhirnya, rakyat tetap menghormati Soekarno sebagai
pemimpin besar, bapak pendiri bangsa, dan peletak dasar negara. Terbukti,
segala desoekarnoisasi yang dilakukan Orde Baru tidak mempan menghanguskan
jasa besar Soekarno.
Soeharto? Nasibnya sangat
tragis. Dia ”dinistakan” sebagai ”penindas” rakyat, ”pelanggar HAM”, dan
”tokoh sentral KKN”. Entah murni atau rekayasa, belakangan nama Soeharto
kembali naik. Beredar banyak foto dia dengan teks yang bernada olok-olok
atas rezim yang kini berkuasa. ”Isih penak zamanku to?” (Masih enak pada
zamanku to?), bunyi teks itu.
Legenda
Dalam teori drama, novel, cerita
pendek, dan film, akhir cerita merupakan bagian yang sangat diperhitungkan.
Para kreator karya seni selalu berupaya menciptakan akhir yang kuat, baik
dalam pesan maupun simbol. Akhir yang kuat dan indah akan membuat penikmat
karya seni selalu terkesan dan mendapatkan inspirasi. Di sini, imajinasi
menjadi media penebusan bagi dunia yang mengalami fragmentasi dan
detotalisasi nilai.
Bagaimana dengan penguasa?
Penguasa menghadapi tiga hal fundamental dalam menciptakan akhir cerita.
Pertama, nilai-nilai ideal yang diharapkan terpahat atau tertancap secara
otentik dalam kinerjanya. Nilai-nilai yang mengandung pesan dan tindakan
mulia itu akan jadi pantulan kolektif dan cermin besar bagi publik.
Nilai-nilai ideal pemimpin sekaligus penguasa akan mengendap dalam kognisi
dan afeksi publik hingga sang pemimpin mampu hadir sebagai legenda.
Kedua, idealisme pemimpin
sekaligus penguasa. Idealisme mendorongnya menjadi tokoh sejarah. Apa
artinya memimpin negara, misalnya, kalau kelak hanya dikenal sebagai ”orang
yang pernah jadi presiden”? Sangat menyedihkan. Namun, ketokohan
membutuhkan syarat, antara lain integritas, komitmen, kapabilitas, reputasi
(berupa karya-karya besar dan penting), serta kemampuan memberikan
inspirasi kepada publik.
Ketiga, kesadaran untuk
memberikan ide, paradigma, dan kreativitas tentang negara-bangsa yang
semakin baik (beradab, adil, makmur, sejahtera, demokratis, dan multikultural).
Terlepas dari beragam
prestasinya di bidang demokratisasi politik serta kebebasan pers dan
kebebasan ekspresi, kepemimpinan SBY menyisakan sejumlah persoalan.
Pertama, soal HAM (pembunuhan Munir, penculikan/penghilangan paksa aktivis
prodemokrasi, dan lainnya). Kedua, soal korupsi yang menggurita dan
dilakukan para penyelenggara negara dan aktor-aktor parpol serta
kroni-kroninya (kasus Bank Century dan lain-lain).
Ketiga, soal keadilan terkait
dengan praktik-praktik para penegak hukum yang masih diskriminatif,
terutama terhadap orang kecil. Keempat, soal kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah agama, yang masih ada tindakan diskriminatif terhadap
kelompok minoritas. Kelima, soal hak-hak publik untuk mendapatkan lapangan
pekerjaan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan lainnya. Keenam,
keadilan ekonomi yang membelah masyarakat secara ekstrem: golongan
elite-kaya dan golongan rakyat miskin raya.
Rezim SBY, yang merestui pasar
bebas dan praktik-praktik ekonomi liberal, telah menjadikan persaingan
usaha antara yang kecil dan yang besar berjalan tak seimbang dengan
kemenangan di tangan yang besar. Rezim SBY juga ”sukses” menaikkan
harga-harga kebutuhan pokok menjadi tidak terjangkau rakyat. Pesta hampir
usai. Apakah SBY dan rezimnya mampu menciptakan akhir cerita manis, dengan
menebus kekecewaan publik atas seluruh kinerjanya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar