Korupsi dan
Republik yang Ganjil
Gendur Sudarsono ; darsono@tempo.co.id
|
TEMPO.CO,
20 November 2013
Republik ini amat istimewa. Ekonomi bisa tumbuh bagus dalam situasi
berbeda: zaman otoriter Orde Baru dan masa reformasi. Hebatnya lagi,
pertumbuhan yang cukup tinggi pada dua era itu ditandai oleh korupsi yang
merajalela--hal yang menyimpang dari kaidah ekonomi.
Di Indonesia, korupsi seolah-olah bukan
musuh pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi 2013 yang kini melambat-diprediksi
hanya sekitar 5,7 persen-diyakini pula tak berkaitan dengan masalah
korupsi. Ini dampak dari ekonomi global yang menekan defisit neraca
transaksi berjalan sekaligus nilai tukar rupiah, sehingga Bank Indonesia perlu
menaikkan suku bunga acuan.
Budaya "wani piro" tak menghambat
pertumbuhan ekonomi. Suap justru memperlicin perizinan. Proyek
infrastruktur dan pengadaan juga berjalan mulus bila ada setoran buat
pejabat dan politikus. Inefisiensi karena praktek kotor ini tidak sampai
menihilkan nilai tambah dan produktivitas-esensi dari pertumbuhan ekonomi.
Jangan-jangan, itulah yang membuat pejabat
dan politikus lupa daratan. Hasil survei Transparency International yang
dirilis pada Juli lalu memperlihatkan bahwa korupsi di negeri ini
meningkat. Kepolisian, parlemen, peradilan, dan partai politik termasuk
dalam deretan lembaga yang korup. Dalam keadaan seperti ini, para politikus
tak berusaha keras untuk mendorong pemberantasan korupsi. Sebagian dari
mereka malah merintanginya.
Kaidah politik yang lazim juga tidak berlaku
di Indonesia. Demokratisasi biasanya meredam korupsi, tapi hal ini tak
terjadi. Banyak faktor yang menyebabkan anomali itu, seperti lemahnya
penegakan hukum, tingkat kecerdasan rakyat, dan partai politik yang korup.
Polisi, jaksa, dan hakim gampang dijinakkan. Masyarakat masih bisa
dibodohi.
Transparansi dan kompetisi-elemen penting
dalam demokrasi-mudah pula disiasati. Partai politik tidak perlu terbuka
soal sumber pendanaan politik. Kompetisi pun dilenyapkan. Dengan gampang,
politikus dari partai yang berbeda bersekongkol untuk korupsi. Proses
demokrasi yang ingar-bingar malah menghasilkan oligarki. Fenomena ini
semakin tampak jelas dalam pemilihan kepala daerah. Partai amat pragmatis
dalam berkoalisi untuk mengusung calon bupati, wali kota, dan gubernur.
Masalahnya, sampai kapan anomali ekonomi dan
politik di Indonesia akan bertahan? Pertumbuhan ekonomi yang berlumuran
korupsi hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial. Kue ekonomi tidak
terdistribusikan secara adil. Distorsi ekonomi akibat korupsi juga akan
membuat tumpulnya daya kreasi dan inovasi sebagian besar masyarakat.
Bayangkan bila korupsi bisa diperangi.
Pertumbuhan ekonomi tentu akan lebih tinggi dan lebih berkualitas daripada
pencapaian sekarang. Ekonomi akan berjalan lebih kompetitif dan efisien.
Kue pertumbuhan bisa dibagi secara lebih adil. Penggunaan anggaran negara
yang lebih efektif juga akan merangsang pertumbuhan ekonomi di seluruh
penjuru negeri.
Kesalahan Orde Baru akan berulang bila
kalangan partai politik tak berbenah. Merekalah pemegang kekuasaan di
negara kita. Tanpa melakukan perbaikan, kalangan partai politik tidak akan
memiliki kekuatan moral buat menjanjikan perbaikan negara kita, terutama
dalam memerangi korupsi. Publik sulit mempercayai slogan antikorupsi dari
partai politik karena tokoh dan kader mereka berperilaku sebaliknya.
Anomali Republik ini bisa berakibat buruk
secara ekonomi dan politik bila Pemilu 2014 tidak mendatangkan perubahan. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar