EFEK kasus pembocoran rahasia
oleh mantan agen Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat, Edward
Snowden, terus bergulir saat ini.
Setelah banyak pemimpin dunia
mengeluh dan mengutuk keras tindakan Amerika Serikat yang telah menyadap
sarana komunikasinya, kini giliran Pemerintah Indonesia yang menyampaikan
protes keras terhadap Pemerintah Australia karena juga telah menyadap
sarana komunikasi beberapa pejabat tinggi Indonesia, termasuk milik
Presiden RI dan Ibu Negara.
Pemerintah Indonesia telah
menyampaikan protes keras terhadap Pemerintah Australia. Duta Besar
Indonesia untuk Australia pun telah ditarik pulang ke Jakarta. Namun, sikap
marah Pemerintah Indonesia itu ditanggapi ”dingin” Perdana Menteri
Australia Tony Abbot. Bahkan, di depan Parlemen Federal Australia, Tony
Abbot menyatakan tidak mau meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia atas
sikap dan tindakan yang dianggap melindungi kepentingan Australia pada masa
lalu dan pada masa depan itu.
Penyalahgunaan
Dokumen Snowden telah membongkar
sepak terjang Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia, yang telah
memata-matai banyak pemimpin dunia yang selama ini justru dianggap sahabat
oleh mereka. Langkah memata-matai dengan cara penyadapan ini dilakukan dengan
cara menyalahgunakan sarana komunikasi yang ada di gedung kedutaan di
setiap ibu kota negara penerima. Misi diplomatik suatu negara memang
dijamin hak kekebalan dan keistimewaannya, termasuk kebebasan berkomunikasi
dalam menjalankan fungsinya. Pasal 27 Ayat (1) Konvensi Vienna 1961 tentang
Hubungan Diplomatik secara tegas mengatur hal itu.
Selengkapnya berbunyi: ”The receiving State shall permit and
protect free communication on the part of the mission for all official
purposes. In communicating with the Government and other missions and
consulates of the sending States, wherever situated, the mission may employ
all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code
and cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter
only with the consent of the receiving State”.
Ketentuan Pasal 27 Ayat (1)
Konvensi Vienna 1961 ini membawa konsekuensi bahwa para pejabat diplomatik
dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh dan dalam kerahasiaan
untuk berkomunikasi dengan pemerintahnya.
Hal-hal yang ditegaskan dalam
Pasal 27 Ayat (1) ini telah memperluas makna kebebasan berkomunikasi misi
diplomatik yang sebelumnya hanya berlaku terbatas pada komunikasi antara
misi diplomatik dengan pemerintah negara pengirim dan dengan konsulat
jenderal atau konsulat-konsulat di bawah kekuasaannya di negara penerima.
Kendati demikian, misi
diplomatik suatu negara hanya boleh menggunakan dan memasang pemancar radio
atas seizin pemerintah negara penerima. Hal ini sejalan
dengan functional necessity theory yang menegaskan, guna
menunjang kelancaran tugas dan fungsi perwakilan diplomatik negara pengirim
di negara penerima, kepada pejabat diplomatik, gedung kedutaan, tempat
kediaman pribadi pejabat diplomatik, surat-menyurat, sarana komunikasi,
arsip, dokumen dan lain-lainnya diberikan hak-hak kekebalan dan
keistimewaan.
Dengan demikian, para diplomat
tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna, kecuali jika diberikan
kepadanya hak kekebalan dan keistimewaan tertentu (Sumaryo Suryokusumo,
1995: 58).
Pelanggaran serius
Tindakan penyadapan yang
dilakukan terhadap pejabat tinggi Indonesia melalui Kedutaan Besar
Australia yang ada di Jakarta merupakan pelanggaran serius ketentuan hukum
diplomatik (Konvensi Vienna 1961) mengingat Australia ataupun Indonesia
sudah menjadi negara pihak konvensi tersebut. Australia semestinya
menyadari bahwa setiap negara pihak wajib menaati kewajiban dalam konvensi.
Tindakan Australia ini dapat dikategorikan sebagai campur tangan urusan
dalam negeri Indonesia dan pengingkaran prinsip kesederajatan (perfect
equality of states) yang sangat dijunjung tinggi dalam hubungan
internasional.
Ian Brownlie menyatakan, ”The
duty of non-intervention is a master principle which draws together many
particular rules on legal competence and responsibility of states. Matters
within the competence of states under general international law are said to
be within the reserved domain, the domestic jurisdiction, of states”
(1985:291).
Sikap Pemerintah Indonesia yang
telah menyampaikan protes keras dan menarik pulang Duta Besar RI di
Canberra merupakan langkah normal dalam hubungan antarnegara. Bahkan
rencana Pemerintah Indonesia meninjau kembali beberapa kerja sama dengan
Australia patut diapresiasi. Sebagai negara berdaulat, Indonesia harus
berani menunjukkan eksistensinya sebagai negara besar. Australia yang
selama ini selalu menyebut Indonesia sebagai salah satu sahabat terbaiknya
terbukti hanya isapan jempol. Apalagi pernyataan PM Tony Abbot yang
terang-terang menganggap remeh skandal penyadapan dan tidak mau meminta
maaf ini layak untuk diberikan pelajaran oleh Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar