Kamis, 21 November 2013

Penyadapan dan Pasang Surut RI-Australia

Penyadapan dan Pasang Surut RI-Australia
Gregorius Sri Nurhartanto  Pengajar Hukum Diplomatik,
Konsuler Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
KOMPAS,  21 November 2013



EFEK kasus pembocoran rahasia oleh mantan agen Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat, Edward Snowden, terus bergulir saat ini.

Setelah banyak pemimpin dunia mengeluh dan mengutuk keras tindakan Amerika Serikat yang telah menyadap sarana komunikasinya, kini giliran Pemerintah Indonesia yang menyampaikan protes keras terhadap Pemerintah Australia karena juga telah menyadap sarana komunikasi beberapa pejabat tinggi Indonesia, termasuk milik Presiden RI dan Ibu Negara.

Pemerintah Indonesia telah menyampaikan protes keras terhadap Pemerintah Australia. Duta Besar Indonesia untuk Australia pun telah ditarik pulang ke Jakarta. Namun, sikap marah Pemerintah Indonesia itu ditanggapi ”dingin” Perdana Menteri Australia Tony Abbot. Bahkan, di depan Parlemen Federal Australia, Tony Abbot menyatakan tidak mau meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia atas sikap dan tindakan yang dianggap melindungi kepentingan Australia pada masa lalu dan pada masa depan itu.

Penyalahgunaan

Dokumen Snowden telah membongkar sepak terjang Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia, yang telah memata-matai banyak pemimpin dunia yang selama ini justru dianggap sahabat oleh mereka. Langkah memata-matai dengan cara penyadapan ini dilakukan dengan cara menyalahgunakan sarana komunikasi yang ada di gedung kedutaan di setiap ibu kota negara penerima. Misi diplomatik suatu negara memang dijamin hak kekebalan dan keistimewaannya, termasuk kebebasan berkomunikasi dalam menjalankan fungsinya. Pasal 27 Ayat (1) Konvensi Vienna 1961 tentang Hubungan Diplomatik secara tegas mengatur hal itu.

Selengkapnya berbunyi: ”The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes. In communicating with the Government and other missions and consulates of the sending States, wherever situated, the mission may employ all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code and cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State”.

Ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Konvensi Vienna 1961 ini membawa konsekuensi bahwa para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh dan dalam kerahasiaan untuk berkomunikasi dengan pemerintahnya.

Hal-hal yang ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) ini telah memperluas makna kebebasan berkomunikasi misi diplomatik yang sebelumnya hanya berlaku terbatas pada komunikasi antara misi diplomatik dengan pemerintah negara pengirim dan dengan konsulat jenderal atau konsulat-konsulat di bawah kekuasaannya di negara penerima.

Kendati demikian, misi diplomatik suatu negara hanya boleh menggunakan dan memasang pemancar radio atas seizin pemerintah negara penerima. Hal ini sejalan dengan functional necessity theory yang menegaskan, guna menunjang kelancaran tugas dan fungsi perwakilan diplomatik negara pengirim di negara penerima, kepada pejabat diplomatik, gedung kedutaan, tempat kediaman pribadi pejabat diplomatik, surat-menyurat, sarana komunikasi, arsip, dokumen dan lain-lainnya diberikan hak-hak kekebalan dan keistimewaan.

Dengan demikian, para diplomat tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna, kecuali jika diberikan kepadanya hak kekebalan dan keistimewaan tertentu (Sumaryo Suryokusumo, 1995: 58).

Pelanggaran serius

Tindakan penyadapan yang dilakukan terhadap pejabat tinggi Indonesia melalui Kedutaan Besar Australia yang ada di Jakarta merupakan pelanggaran serius ketentuan hukum diplomatik (Konvensi Vienna 1961) mengingat Australia ataupun Indonesia sudah menjadi negara pihak konvensi tersebut. Australia semestinya menyadari bahwa setiap negara pihak wajib menaati kewajiban dalam konvensi. Tindakan Australia ini dapat dikategorikan sebagai campur tangan urusan dalam negeri Indonesia dan pengingkaran prinsip kesederajatan (perfect equality of states) yang sangat dijunjung tinggi dalam hubungan internasional.

Ian Brownlie menyatakan, ”The duty of non-intervention is a master principle which draws together many particular rules on legal competence and responsibility of states. Matters within the competence of states under general international law are said to be within the reserved domain, the domestic jurisdiction, of states” (1985:291).

Sikap Pemerintah Indonesia yang telah menyampaikan protes keras dan menarik pulang Duta Besar RI di Canberra merupakan langkah normal dalam hubungan antarnegara. Bahkan rencana Pemerintah Indonesia meninjau kembali beberapa kerja sama dengan Australia patut diapresiasi. Sebagai negara berdaulat, Indonesia harus berani menunjukkan eksistensinya sebagai negara besar. Australia yang selama ini selalu menyebut Indonesia sebagai salah satu sahabat terbaiknya terbukti hanya isapan jempol. Apalagi pernyataan PM Tony Abbot yang terang-terang menganggap remeh skandal penyadapan dan tidak mau meminta maaf ini layak untuk diberikan pelajaran oleh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar