SEPANJANG 2013, masalah
defisit neraca transaksi berjalan Indonesia tak henti-hentinya menjadi
kambing hitam atas bergejolaknya pasar finansial dan pasar valas Indonesia.
Oleh karena itu,
defisit neraca transaksi berjalan (NTB) menjadi fokus utama yang angkanya
harus ditekan sesegera mungkin sehingga rasio NTB terhadap produk domestik
bruto (PDB) bisa turun ke level aman di bawah minus 3 persen. Pemerintah
dan Bank Indonesia (BI) tampaknya sepakat memperbaiki angka defisit NTB,
angka pertumbuhan ekonomi harus diperlambat, dengan harapan impor akan
turun tajam. Hal ini disebabkan harapan menaikkan ekspor sangat kecil
akibat harga komoditas ekspor primer yang belum menjanjikan dan masih
lemahnya permintaan global.
Harus diakui,
defisit neraca perdagangan Indonesia merupakan masalah lama dan bersifat
struktural sehingga jangan mimpi bisa beres segera. Oleh karena itu, wajar
kalau BI mencari jalan instan untuk mengatasi defisit ini, walaupun ada
biaya dan risiko yang harus ditanggung dalam perekonomian, daripada tidak
bertindak sama sekali.
BI kelihatannya
bertindak lebih dulu ke depan (a head of the curve) untuk memperlambat
pertumbuhan ekonomi, dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 1,75
persen tahun ini dari 5,75 persen (13/5/2013) menjadi 7,50 persen
(13/11/2013). Selain itu, dari kebijakan makroprudensial, BI juga
memberikan sinyal pengetatan moneter, seperti kenaikan uang muka kredit
kendaraan bermotor serta penurunan pembiayaan maksimal (rasio loan to
value/LTV) tipe-tipe tertentu kredit kepemilikan rumah dan apartemen untuk
memperkuat pengelolaan kredit dan manajemen risiko perbankan.
Adapun untuk
memperkuat manajemen likuiditas perbankan, diambil kebijakan Giro Wajib
Minimum Rasio Kredit terhadap Dana Pihak Ketiga (GWM-LDR) dan GWM sekunder.
Alhasil, begitu dominannya kenaikan suku bunga akhir-akhir ini sehingga
kelihatannya hal ini menjadi andalan utama BI sebagai instrumen moneter.
Tidak heran, muncul perdebatan seru dari para analis, ekonom, serta pelaku
usaha dan dunia perbankan. Bisakah kebijakan ini efektif menurunkan rasio
defisit NTB/PDB ke level aman sehingga mampu menstabilkan rupiah?
Atau
sebaliknya justru akan membawa perekonomian ke jurang resesi seperti 1998?
Mari kita simak
formula rasio NTB terhadap PDB (NTB/PDB x 100 persen). Formula ini
dipengaruhi berapa nilai nominal NTB dan PDB dalam dollar AS. Ini artinya,
kedua komponen harus diamati secara simultan. Salah besar jika hanya
memperhatikan salah satu komponen secara parsial, untuk membawa
perekonomian Indonesia menjadi sehat.
Efektifkah?
Apakah menaikkan
suku bunga, yang akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan harapan
impor turun, akan menjamin rasio defisit NTB terhadap PDB akan turun?
Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, harus dilihat dampak kenaikan suku
bunga tersebut terhadap defisit NTB dan terhadap PDB.
Rasio defisit NTB
terhadap PDB akan turun kalau penurunan defisit NTB lebih besar dari
penurunan pertumbuhan ekonomi. Kalau ini yang terjadi, kenaikan suku bunga
efektif menurunkan rasio defisit NTB/PDB dan ini diharapkan mampu menolong
rupiah.
Yang dikhawatirkan
adalah jika ternyata penurunan pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar
daripada penurunan defisit NTB sehingga sudah pasti penurunan rasio defisit
NTB/PDB gagal total. Ini artinya, sama saja membawa perekonomian secara
perlahan ke jurang resesi. Kalau ini terjadi, pasar saham dan obligasi akan
hancur, investor asing akan berbondong ke luar dari pasar finansial
Indonesia dan sudah bisa dibayangkan, rupiah akan mengalami depresiasi
tajam dan pengangguran akan naik signifikan.
Harus disadari bahwa
kenaikan suku bunga yang bersifat umum bisa memperlambat pertumbuhan
ekonomi semua sektor perekonomian. Padahal, tidak semua sektor perekonomian
harus diperlambat karena tidak semua sektor menggunakan bahan baku, barang
modal, dan barang konsumsi impor yang tinggi. Oleh karena itu, harus
ditelusuri, sektor-sektor mana yang ketergantungan impornya tinggi. Untuk
itulah, diperlukan kebijakan fiskal dan moneter yang pas/mengena ke sektor
yang memang membuat defisit NTB Indonesia memburuk.
Saya bukan aliran
anti kenaikan suku bunga. Penyesuaian kenaikan suku bunga adalah hal yang
wajar dalam menghadapi gejolak eksternal. Namun, jika dosisnya agak
berlebihan, jangan-jangan pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih lambat dan
memperburuk tingkat pengangguran.
Semoga saja,
kenaikan suku bunga yang signifikan akhir-akhir ini mampu membuat rupiah
bergerak rasional dan diterima dengan baik oleh pelaku pasar serta
perlambatan ekonominya masih bisa ditoleransi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar