Kamis, 21 November 2013

Suku Bunga

Suku Bunga
Anton Hendranata  Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk
KOMPAS,  21 November 2013
  

SEPANJANG 2013, masalah defisit neraca transaksi berjalan Indonesia tak henti-hentinya menjadi kambing hitam atas bergejolaknya pasar finansial dan pasar valas Indonesia.

Oleh karena itu, defisit neraca transaksi berjalan (NTB) menjadi fokus utama yang angkanya harus ditekan sesegera mungkin sehingga rasio NTB terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa turun ke level aman di bawah minus 3 persen. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tampaknya sepakat memperbaiki angka defisit NTB, angka pertumbuhan ekonomi harus diperlambat, dengan harapan impor akan turun tajam. Hal ini disebabkan harapan menaikkan ekspor sangat kecil akibat harga komoditas ekspor primer yang belum menjanjikan dan masih lemahnya permintaan global.

Harus diakui, defisit neraca perdagangan Indonesia merupakan masalah lama dan bersifat struktural sehingga jangan mimpi bisa beres segera. Oleh karena itu, wajar kalau BI mencari jalan instan untuk mengatasi defisit ini, walaupun ada biaya dan risiko yang harus ditanggung dalam perekonomian, daripada tidak bertindak sama sekali.

BI kelihatannya bertindak lebih dulu ke depan (a head of the curve) untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi, dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 1,75 persen tahun ini dari 5,75 persen (13/5/2013) menjadi 7,50 persen (13/11/2013). Selain itu, dari kebijakan makroprudensial, BI juga memberikan sinyal pengetatan moneter, seperti kenaikan uang muka kredit kendaraan bermotor serta penurunan pembiayaan maksimal (rasio loan to value/LTV) tipe-tipe tertentu kredit kepemilikan rumah dan apartemen untuk memperkuat pengelolaan kredit dan manajemen risiko perbankan.

Adapun untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan, diambil kebijakan Giro Wajib Minimum Rasio Kredit terhadap Dana Pihak Ketiga (GWM-LDR) dan GWM sekunder. Alhasil, begitu dominannya kenaikan suku bunga akhir-akhir ini sehingga kelihatannya hal ini menjadi andalan utama BI sebagai instrumen moneter. Tidak heran, muncul perdebatan seru dari para analis, ekonom, serta pelaku usaha dan dunia perbankan. Bisakah kebijakan ini efektif menurunkan rasio defisit NTB/PDB ke level aman sehingga mampu menstabilkan rupiah? 
Atau sebaliknya justru akan membawa perekonomian ke jurang resesi seperti 1998?

Mari kita simak formula rasio NTB terhadap PDB (NTB/PDB x 100 persen). Formula ini dipengaruhi berapa nilai nominal NTB dan PDB dalam dollar AS. Ini artinya, kedua komponen harus diamati secara simultan. Salah besar jika hanya memperhatikan salah satu komponen secara parsial, untuk membawa perekonomian Indonesia menjadi sehat.

Efektifkah?

Apakah menaikkan suku bunga, yang akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan harapan impor turun, akan menjamin rasio defisit NTB terhadap PDB akan turun? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, harus dilihat dampak kenaikan suku bunga tersebut terhadap defisit NTB dan terhadap PDB.
Rasio defisit NTB terhadap PDB akan turun kalau penurunan defisit NTB lebih besar dari penurunan pertumbuhan ekonomi. Kalau ini yang terjadi, kenaikan suku bunga efektif menurunkan rasio defisit NTB/PDB dan ini diharapkan mampu menolong rupiah.

Yang dikhawatirkan adalah jika ternyata penurunan pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar daripada penurunan defisit NTB sehingga sudah pasti penurunan rasio defisit NTB/PDB gagal total. Ini artinya, sama saja membawa perekonomian secara perlahan ke jurang resesi. Kalau ini terjadi, pasar saham dan obligasi akan hancur, investor asing akan berbondong ke luar dari pasar finansial Indonesia dan sudah bisa dibayangkan, rupiah akan mengalami depresiasi tajam dan pengangguran akan naik signifikan.

Harus disadari bahwa kenaikan suku bunga yang bersifat umum bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi semua sektor perekonomian. Padahal, tidak semua sektor perekonomian harus diperlambat karena tidak semua sektor menggunakan bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi impor yang tinggi. Oleh karena itu, harus ditelusuri, sektor-sektor mana yang ketergantungan impornya tinggi. Untuk itulah, diperlukan kebijakan fiskal dan moneter yang pas/mengena ke sektor yang memang membuat defisit NTB Indonesia memburuk.

Saya bukan aliran anti kenaikan suku bunga. Penyesuaian kenaikan suku bunga adalah hal yang wajar dalam menghadapi gejolak eksternal. Namun, jika dosisnya agak berlebihan, jangan-jangan pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih lambat dan memperburuk tingkat pengangguran.

Semoga saja, kenaikan suku bunga yang signifikan akhir-akhir ini mampu membuat rupiah bergerak rasional dan diterima dengan baik oleh pelaku pasar serta perlambatan ekonominya masih bisa ditoleransi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar