Minggu, 10 November 2013

Tersadap Karena Lengah

Tersadap Karena Lengah
Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR, Fraksi Partai Golkar
SUARA MERDEKA, 09 November 2013


Tatkala harus berkonsentrasi dalam perang teknologi, Lemsaneg malah disuruh bekerja untuk kepentingan pemilu di Indonesia fokus mengurus kepentingan negara dan keamanan nasional, penyadapan oleh kekuatan mana pun bisa direduksi, bahkan ditangkal. Penyadapan oleh negara yang satu terhadap negara lain tak akan pernah berhenti, karena informasi yang didapatkan itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan pertahanan dan pembangunan ekonomi negara penyadap.

Bila tak ingin disadap lagi, pemerintah harus memperkuat intelijen nasional dan organ negara seperti Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg). Sejumlah pejabat pemerintah dikabarkan terkejut, marah, dan tidak senang dengan penyadapan oleh organ resmi pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Australia. Seandainya benar terkejut dan marah, mereka ibarat anak kemarin sore.

Sebaliknya, kalau mereka sosok kapabel yang paham tentang dinamika era perang tekonologi, kemarahan dan keterkejutan itu cukup dimaknai sebagai basa-basi diplomasi alias kepura-puraan. Terpenting untuk digarisbawahi adalah fakta aksi saling sadap sebenarnya bukan praktik baru. Kegiatan sadap-menyadap makin intens sejak manusia mengadopsi bahasa sandi. Pemahaman itu makin mendetail pada era Perang Dingin.

Ketika peradaban sampai pada kemajuan signifikan teknologi informasi atau IT, menyadap bukan lagi 
pekerjaan sulit. Menjadi lebih mudah karena tak banyak peran manusia dalam pekerjaan itu. Negara yang unggul dalam IT dengan sangat mudah bisa tahu apa yang akan terjadi di tempat lain, termasuk cetak biru sejumlah rencana ekonomi, industri hingga rencana membangun industri persenjataan.

Itu sebabnya, negara yang unggul dalam IT dan kuat intelijennya bisa lebih awal memahami proyek pengembangan pengayaan uranium dan proyek nuklir di Iran, stok senjata kimia di sejumlah negara, hingga rencana aksi kelompok-kelompok teroris.

Indonesia tak akan lolos dari penyadapan sebagai negeri besar dengan posisi paling strategis di kawasan. Negeri dengan kekayaan alam melimpah, plus komunitas konsumen lebih dari 200 juta jiwa. Informasi tentang dinamika masyarakat Indonesia amat diperlukan oleh raksasa industri di negara lain. Dorongan untuk menyadap Indonesia makin kuat karena cerita tentang bom Bali dan rangkaian aksi terorisme di negara ini.

Seandainya semua ahli IT Indonesia dikerahkan mendeteksi, temuannya mungkin bukan hanya penyadapan oleh Australia dan AS. Bukan tak mungkin negeri lain juga melakukannya. Misalnya, karena masyarakat kita mendukung perjuangan rakyat Palestina dan anti-Israel, ada kemungkinan organ resmi pemerintah Israel menyadap kita. Bukankah publik tahu intelijen Israel sangat piawai melakukan penyadapan?

Masih ingat kasus Wikileaks? Pada akhir 2010, media lokal memberitakan bahwa  situs itu memiliki tidak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik pemerintah AS yang mencatat berbagai informasi tentang Indonesia. Dokumen itu serupa laporan diplomatik yang dikirim Kedubes AS di Jakarta dan Konjen AS di Surabaya. Informasi itu menggambarkan dua hal.

Pertama; mengenai sepak terjang organ resmi pemerintah AS menghimpun informasi rahasia dari negeri lain atau sekutunya. Kedua; penjelasan bahwa kegiatan AS dalam  menghimpun informasi rahasia lewat berbagai cara, termasuk penyadapan, tak pernah berkesudahan.

Informasi Esemka

Contoh lain yang  relevan adalah informasi tentang industri otomotif. Begitu anak-anak muda Indonesia dari SMK mempertontonkan mobil Esemka karya mereka, raksasa industri otomotif dari negeri lain buru-buru merancang low cost green car (LCGC) untuk pasar Indonesia.

Kalau LCGC dari negeri lain itu berkembang di negara kita, langkah maju yang digagas generasi muda dari SMK Indonesia bisa tertahan, bahkan tidak berkembang. Apalagi jika tidak ada dukungan politik dari negara.

Karena itu, ketika diberitakan bahwa sejumlah pejabat pemerintah Indonesia terkejut, marah dan tidak senang dengan informasi mengenai penyadapan oleh Australia dan AS, reaksi seperti itu justru mengherankan. Sebagian publik di dalam negeri justru terkejut dengan reaksi demikian.

Kecolongan melalui modus penyadapan oleh AS dan Australia bisa terjadi karena pemerintahan tak pernah fokus menjaga kepentingan negara yang layak dirahasiakan, termasuk komunikasi Presiden dan pejabat tinggi lainnya. AS dan Australia leluasa menyadap Indonesia karena pemerintah, dan semua pihak, sibuk mengurus kepentingan masing-masing.

Pemanfaatan teknologi penyadapan yang dibeli Indonesia tak diprioritaskan untuk melindungi negara dengan segala kerahasiaannya. Pemerintah sibuk menyadap kegiatan atau aktivitas lawan politik. Ketika Lemsaneg harus berkonsentrasi penuh mengamati perkembangan dan segala sesuatu yang terjadi dalam perang teknologi masa kini, organ negara tersebut malah disuruh  bekerja untuk kepentingan pemilu. Inilah bukti pemerintah tidak fokus pada aspek pertahanan nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar