|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Regenerasi menjadi salah satu tema yang sering disampaikan
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas sebelum meninggal pada 8
Juni lalu. Taufiq bahkan berharap istrinya, Megawati Soekarnoputri, Presiden
ke-5 RI, tak lagi bertarung di Pemilu 2014. Bagi Taufiq, Pemilu 2014 sebaiknya
milik generasi yang lebih muda.
Karena disampaikan oleh politisi, pernyataan Taufiq itu
sering dilihat dengan berbagai perspektif politik, misalnya untuk mendorong
sosok tertentu. Namun, Ketua Partai Amanat Nasional Bima Arya Sugiarto
mengatakan, ”Setelah beberapa kali bertemu Pak Taufiq, saya melihat ada
ketulusan di pernyataannya. Ada kegelisahan pada dirinya melihat regenerasi
politik saat ini.”
Kegelisahan serupa mungkin juga dirasakan banyak kalangan di
negeri ini. Kegelisahan yang akan muncul, misalnya, ketika melihat pimpinan
tertinggi tiga partai terbesar di Indonesia yang semua sudah berumur di atas 60
tahun. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tahun ini berumur 64
tahun. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie berusia 67 tahun, sedangkan
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri berumur 66 tahun.
Pertanyaan sederhana, bagaimana nasib Indonesia jika usia
telah membatasi para pemimpin senior tersebut, sementara generasi yang baru
belum punya cukup pengalaman?
Partai yang cenderung oligarki dan tidak menerapkan jenjang
karier yang jelas banyak dituding sebagai salah satu sebab sulitnya pemimpin
baru muncul, terutama di kancah politik. Kalaupun ada sosok baru, mereka
umumnya dari lingkaran elite saat ini.
Keberhasilan Anas Urbaningrum memenangi pemilihan Ketua Umum
Partai Demokrat pada tahun 2010 sempat memberi harapan munculnya gerbong baru
kepemimpinan nasional. Saat itu Anas baru berumur 41 tahun. Namun, harapan itu
seperti harus layu tiga tahun kemudian ketika Anas ditetapkan sebagai tersangka
kasus korupsi.
Di saat hampir bersamaan sejumlah politisi muda bernasib
seperti Anas. Mereka, misalnya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M
Nazaruddin (35), mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Angelina
Sondakh (36), serta Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng (50).
Sejumlah kasus itu sempat memunculkan pandangan bahwa anak
muda belum siap dipercaya untuk memegang jabatan utama. Mereka amat mudah silau
dengan materi. ”Kekuasaan memang berjalan beriringan dengan materi. Dalam
sistem politik saat ini, modal untuk meraih kekuasaan sering kali juga tidak
murah. Akhirnya, semua kembali ke pilihan hidup,” kata Wakil Ketua Komisi II
DPR Arif Wibowo saat ditanya tentang kasus hukum yang menimpa sebagian
rekannya.
”Namun, belajar dari sejarah, saya yakin masih banyak
politisi atau tokoh muda yang teguh memegang nilai dan komitmen. Sejarah akan
memunculkan mereka,” kata Arif (45) yang salah seorang politisi produk
reformasi. Saat reformasi 1998, dia menjadi anggota presidium nasional sebuah
organisasi mahasiswa.
Keyakinan Arif tidak berlebihan. Jika ditelusuri, masih
banyak tokoh baru yang memberikan harapan. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
(Jokowi), yang tahun ini berumur 52 tahun, merupakan contoh. Tanpa reformasi,
Jokowi mungkin akan kesulitan beralih dari pengusaha mebel menjadi politisi.
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan (44) juga
banyak menebarkan virus optimisme dan inspirasi bagi masyarakat, antara lain
lewat program Indonesia Mengajar. Deretan sosok muda pemberi harapan akan lebih
banyak lagi ditemukan jika kita menyusuri berbagai wilayah di Indonesia dan
menggali berbagai profesi.
Regenerasi politik sebenarnya juga berjalan meski belum
secepat yang diharapkan. Sejumlah jabatan penting di negeri ini juga sudah
diisi oleh mereka yang berumur di bawah 50 tahun. Dari empat wakil ketua DPR,
pada tahun ini semuanya maksimal berumur 50 tahun. Tahun ini Pramono Anung
berusia 50 tahun, Priyo Budi Santoso berumur 47 tahun, Taufik Kurniawan berusia
46 tahun, dan Sohibul Iman berusia 48 tahun.
Dari 11 komisi di DPR, beberapa di antaranya juga dipimpin
politisi berumur di bawah 50 tahun. Tahun ini Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq
berumur 47 tahun. Ketua Komisi III Gede Pasek Suardika berusia 44 tahun dan
Ketua Komisi IV Romahurmuziy berumur 39 tahun. Di jajaran eksekutif, Wakil
Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, yang dikenal getol memberantas korupsi,
juga berumur 41 tahun.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada, Ari Dwipayana, melihat para politisi dan sosok muda tersebut
umumnya lebih terbuka dan punya kemampuan lebih dalam mempertautkan diri dengan
orang lain. Kondisi itu antara lain dipicu oleh kemampuan mereka menggunakan
teknologi komunikasi.
Latar belakang mereka juga beragam, antara lain penggiat
gerakan masyarakat sipil, pengusaha, akademisi, dan mantan aktivis kepemudaan.
”Beragamnya latar belakang membuat orientasi mereka jadi bermacam-macam. Ada
yang masuk politik atau kekuasaan untuk mengejar posisi strategis di lembaga
negara, ingin mengubah kebijakan, atau memburu rente ekonomi,” kata Ari.
Meski demikian, lanjut Ari, optimisme tetap pantas ditaburkan
ketika melihat sosok-sosok baru itu. Meski ada beberapa dari mereka yang harus
”jatuh” karena sejumlah kasus, tetap masih ada yang berusaha menjalankan
tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Yudi Latif dari Reform Institute juga berpendapat, masih
banyak orang baik di kelompok baru politik saat ini. Permasalahannya adalah
sifat baik itu masih cenderung bersifat personal. ”Ketika mereka berkumpul
bersama, sifat baik itu sering tidak tampak. Justru wajah negatif seperti
persekongkolan jahat yang terlihat,” tutur Yudi.
”Ini karena orang-orang muda yang baik itu belum mampu
melahirkan generasi baru. Tidak ada platform bersama yang kuat di antara
mereka,” tambah Yudi.
Duduk bersama untuk membicarakan langkah ke depan menjadi
jalan untuk melahirkan platform tersebut bagi munculnya generasi baru ini.
Jalan lain adalah dengan adanya sosok baru yang kuat yang dapat menghubungkan
sejumlah elemen di masyarakat dan menggairahkan berbagai institusi.
”Munculnya sosok baru seperti Jokowi yang banyak dibicarakan
karena langkahnya membuktikan bahwa harapan tentang generasi baru itu masih
ada,” kata Yudi.
Jadi, optimisme tetap pantas dan harus selalu disemaikan... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar