|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Pemilu Presiden 2014 sangat
menentukan masa depan bangsa Indonesia. Dalam momen itu, kita ditantang untuk
tidak sekadar memilih presiden, tetapi menemukan sosok pemimpin yang mampu
mengatasi berbagai masalah sekaligus membawa bangsa ini mencapai cita-cita
kemajuan.
Untuk merumuskan sosok pemimpin
seperti apa yang dibutuhkan, kita perlu memetakan sejumlah persoalan politik,
hukum, sosial, dan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini. Dalam bidang
politik, kita berhasil mengembangkan demokrasi terbuka. Rakyat memilih
presiden, gubernur, hingga bupati/wali kota secara langsung. Begitu pula dengan
anggota legislatif di DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta DPRD.
Namun, keterbukaan demokrasi itu
kini menciptakan liberalisasi politik bak pasar bebas. Kompetisi yang demikian
bebas, bahkan tanpa pembatasan belanja kampanye, menguntungkan elite penguasa
dan pemodal besar untuk jorjoran ”membeli” suara rakyat. Arus pragmatisme kian
deras mendorong partai-partai untuk mengurus kepentingan sendiri sembari
mengabaikan aspirasi rakyat.
Bidang hukum menunjukkan kemajuan,
terutama lewat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjerat banyak
koruptor. Namun, korupsi masih merajalela dalam birokrasi pemerintahan,
legislatif, partai politik, bahkan melibatkan oknum aparat penegak hukum,
seperti kejaksaan dan kepolisian. Hukum masih lemah dan rentan disandera
kekuasaan dan modal.
Kondisi sosial kita semakin
menggairahkan karena masyarakat leluasa berkumpul, berserikat, dan berpendapat.
Hanya saja, kebebasan itu kadang dibajak kelompok-kelompok intoleran untuk
menyerang kelompok minoritas. Nilai-nilai Pancasila yang menekankan penghargaan
atas kebinekaan meluntur sehingga masih saja meletup konflik. Saat dibutuhkan
untuk melindungi warga, negara sering lamban turun tangan, bahkan absen.
Dalam bidang ekonomi, angka-angka
pertumbuhan makro ekonomi ditampilkan secara mengesankan, tetapi kenyataan
kemiskinan dan tingkat pengangguran di lapangan justru memprihatinkan.
Kesenjangan kaya-miskin masih tajam. Otonomi belum berhasil memberdayakan
pembangunan daerah, malah melahirkan banyak penguasa lokal dengan cengkeraman
dinastinya.
Anugerah sumber daya alam kurang
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagian kekayaan itu
malah dikuasai asing. Negara hanya memperoleh sedikit keuntungan, sementara
rakyat lokal terpaksa gigit jari. Masyarakat kebanyakan, terutama kaum miskin
atau di pedalaman, masih belum mendapat pelayanan dasar, seperti kesehatan dan
pendidikan.
Kepemimpinan
kuat
Dari berbagai tantangan itu, kita
bisa menentukan karakter pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini pada Pemilu 2014.
Ini momen penting karena saat itu kita sudah 16 tahun beranjak dari Reformasi
1998, prosedur demokrasi berjalan cukup stabil, dan rakyat menuntut hasil-hasil
lebih substansial dari praktik demokrasi itu, terutama kemakmuran rakyat.
Direktur Reform Institute Yudi
Latif mengungkapkan, Indonesia membutuhkan pemimpin masa depan yang berkomitmen
pada nilai-nilai Pancasila dan menerjemahkannya dalam kerja nyata yang memihak
kepentingan publik. Figur itu mesti mampu menjaga kedaulatan negara,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berkeadilan.
”Pemimpin itu harus berani ambil
keputusan, memihak kebutuhan rakyat, hadir di tengah masyarakat, dan
menggerakkan gotong royong. Dalam bekerja, dia harus fokus, misalnya
mengembangkan ekonomi berbasis kelautan dan pertanian yang menyentuh hajat
rakyat banyak,” kata Yudi, di Jakarta, Rabu (12/6).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) sekaligus Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta,
Mahfud MD, menekankan pentingnya penegakan hukum. Tak mesti seorang sarjana hukum,
tetapi presiden mendatang harus berkomitmen menegakkan hukum dengan
melaksanakan berbagai konstitusi yang sudah cukup lengkap. Termasuk juga
menerapkan aturan hukum sehari-hari dalam birokrasi pemerintahan.
”Kita butuh kepemimpinan yang kuat,
punya visi jelas, punya gagasan tentang pembangunan, dan mampu bertindak serta
menggerakkan rakyat untuk membawa bangsa menuju kemajuan,” kata Mahfud.
Peneliti senior Center for Strategic and International
Studies (CSIS), J Kristiadi, mengingatkan agar kita tidak lagi terkecoh
dengan sosok pemimpin yang bermodal pencitraan saja. Presiden mendatang
mestilah sosok yang punya rekam jejak bagus. Kalaulah tampil dengan citra
menarik, itu diproduksi dari prestasi kerjanya untuk rakyat.
Pengamat komunikasi politik Effendi
Gazali menyoroti sosok yang tampak memikat di mata media, dikenal merakyat,
suka blusukan ke kampung-kampung, dan cerdik berkomunikasi dengan bahasa
bersahaja dan spontan.
Namun, lanjutnya, agar tak
terjerumus pada jalan pintas, kita juga harus menagih gagasan-gagasan besar
dari sosok itu, terutama bagaimana mendorong perubahan bagi Indonesia masa
depan. Jangan lagi kita menyia-nyiakan waktu dengan memanggungkan pemimpin yang
sibuk dengan pencitraan.
Kita dorong para kandidat pemimpin
nasional untuk mengadu gagasan besar bagi kemajuan bangsa. Janganlah kita
berkutat pada isu yang itu-itu saja, seperti soal ekonomi kerakyatan,
pendidikan, kesehatan, keamanan, dan pajak. ”Kita perlu terobosan, misalnya
mengembangkan energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam atau membuat
pemilu serentak yang lebih efisien dan murah,” katanya.
Stok
pemimpin
Setahun menjelang Pemilu 2014,
panggung politik nasional kian diramaikan dengan nama-nama bakal calon presiden
atau calon wakil presiden dari elite partai politik, menteri, pemimpin lembaga
negara, atau independen. Sebagian merupakan stok lama, bahkan beberapa pernah
bertarung pada pemilu sebelumnya. Beberapa lagi petarung baru. Mereka, antara lain, Ketua Umum
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sekaligus mantan Presiden RI,
Megawati Soekarnoputri; mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla; Ketua Dewan
Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto; dan
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto.
Muncul juga Ketua Umum Partai
Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa,
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Menyodok belakangan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Menteri Perdagangan
Gita Wirjawan.
Apakah nama-nama itu menawarkan
karakter kepemimpinan yang diperlukan bangsa ini? Mari kita lebih serius
mencermati mereka dengan mempertimbangkan rekam jejak, integritas, dan gagasan
besarnya untuk memajukan Indonesia pada masa depan. Ingat, kita tak hanya
memerlukan presiden, tetapi sosok pemimpin yang tulen, yang akan membawa bangsa
dan negara ini menjadi adidaya dalam demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar