Selasa, 02 Juli 2013

Pemimpin, Bukan Sekadar Presiden

Pemimpin, Bukan Sekadar Presiden
Ilham Khoiri ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Pemilu Presiden 2014 sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia. Dalam momen itu, kita ditantang untuk tidak sekadar memilih presiden, tetapi menemukan sosok pemimpin yang mampu mengatasi berbagai masalah sekaligus membawa bangsa ini mencapai cita-cita kemajuan.

Untuk merumuskan sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan, kita perlu memetakan sejumlah persoalan politik, hukum, sosial, dan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini. Dalam bidang politik, kita berhasil mengembangkan demokrasi terbuka. Rakyat memilih presiden, gubernur, hingga bupati/wali kota secara langsung. Begitu pula dengan anggota legislatif di DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta DPRD.
Namun, keterbukaan demokrasi itu kini menciptakan liberalisasi politik bak pasar bebas. Kompetisi yang demikian bebas, bahkan tanpa pembatasan belanja kampanye, menguntungkan elite penguasa dan pemodal besar untuk jorjoran ”membeli” suara rakyat. Arus pragmatisme kian deras mendorong partai-partai untuk mengurus kepentingan sendiri sembari mengabaikan aspirasi rakyat.

Bidang hukum menunjukkan kemajuan, terutama lewat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjerat banyak koruptor. Namun, korupsi masih merajalela dalam birokrasi pemerintahan, legislatif, partai politik, bahkan melibatkan oknum aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian. Hukum masih lemah dan rentan disandera kekuasaan dan modal.

Kondisi sosial kita semakin menggairahkan karena masyarakat leluasa berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Hanya saja, kebebasan itu kadang dibajak kelompok-kelompok intoleran untuk menyerang kelompok minoritas. Nilai-nilai Pancasila yang menekankan penghargaan atas kebinekaan meluntur sehingga masih saja meletup konflik. Saat dibutuhkan untuk melindungi warga, negara sering lamban turun tangan, bahkan absen.

Dalam bidang ekonomi, angka-angka pertumbuhan makro ekonomi ditampilkan secara mengesankan, tetapi kenyataan kemiskinan dan tingkat pengangguran di lapangan justru memprihatinkan. Kesenjangan kaya-miskin masih tajam. Otonomi belum berhasil memberdayakan pembangunan daerah, malah melahirkan banyak penguasa lokal dengan cengkeraman dinastinya.

Anugerah sumber daya alam kurang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagian kekayaan itu malah dikuasai asing. Negara hanya memperoleh sedikit keuntungan, sementara rakyat lokal terpaksa gigit jari. Masyarakat kebanyakan, terutama kaum miskin atau di pedalaman, masih belum mendapat pelayanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan.

Kepemimpinan kuat

Dari berbagai tantangan itu, kita bisa menentukan karakter pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini pada Pemilu 2014. Ini momen penting karena saat itu kita sudah 16 tahun beranjak dari Reformasi 1998, prosedur demokrasi berjalan cukup stabil, dan rakyat menuntut hasil-hasil lebih substansial dari praktik demokrasi itu, terutama kemakmuran rakyat.

Direktur Reform Institute Yudi Latif mengungkapkan, Indonesia membutuhkan pemimpin masa depan yang berkomitmen pada nilai-nilai Pancasila dan menerjemahkannya dalam kerja nyata yang memihak kepentingan publik. Figur itu mesti mampu menjaga kedaulatan negara, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berkeadilan.

”Pemimpin itu harus berani ambil keputusan, memihak kebutuhan rakyat, hadir di tengah masyarakat, dan menggerakkan gotong royong. Dalam bekerja, dia harus fokus, misalnya mengembangkan ekonomi berbasis kelautan dan pertanian yang menyentuh hajat rakyat banyak,” kata Yudi, di Jakarta, Rabu (12/6).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahfud MD, menekankan pentingnya penegakan hukum. Tak mesti seorang sarjana hukum, tetapi presiden mendatang harus berkomitmen menegakkan hukum dengan melaksanakan berbagai konstitusi yang sudah cukup lengkap. Termasuk juga menerapkan aturan hukum sehari-hari dalam birokrasi pemerintahan.

”Kita butuh kepemimpinan yang kuat, punya visi jelas, punya gagasan tentang pembangunan, dan mampu bertindak serta menggerakkan rakyat untuk membawa bangsa menuju kemajuan,” kata Mahfud.

Peneliti senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, mengingatkan agar kita tidak lagi terkecoh dengan sosok pemimpin yang bermodal pencitraan saja. Presiden mendatang mestilah sosok yang punya rekam jejak bagus. Kalaulah tampil dengan citra menarik, itu diproduksi dari prestasi kerjanya untuk rakyat.

Pengamat komunikasi politik Effendi Gazali menyoroti sosok yang tampak memikat di mata media, dikenal merakyat, suka blusukan ke kampung-kampung, dan cerdik berkomunikasi dengan bahasa bersahaja dan spontan.

Namun, lanjutnya, agar tak terjerumus pada jalan pintas, kita juga harus menagih gagasan-gagasan besar dari sosok itu, terutama bagaimana mendorong perubahan bagi Indonesia masa depan. Jangan lagi kita menyia-nyiakan waktu dengan memanggungkan pemimpin yang sibuk dengan pencitraan.

Kita dorong para kandidat pemimpin nasional untuk mengadu gagasan besar bagi kemajuan bangsa. Janganlah kita berkutat pada isu yang itu-itu saja, seperti soal ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan pajak. ”Kita perlu terobosan, misalnya mengembangkan energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam atau membuat pemilu serentak yang lebih efisien dan murah,” katanya.

Stok pemimpin

Setahun menjelang Pemilu 2014, panggung politik nasional kian diramaikan dengan nama-nama bakal calon presiden atau calon wakil presiden dari elite partai politik, menteri, pemimpin lembaga negara, atau independen. Sebagian merupakan stok lama, bahkan beberapa pernah bertarung pada pemilu sebelumnya. Beberapa lagi petarung baru. Mereka, antara lain, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sekaligus mantan Presiden RI, Megawati Soekarnoputri; mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla; Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto; dan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto.

Muncul juga Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Menyodok belakangan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.

Apakah nama-nama itu menawarkan karakter kepemimpinan yang diperlukan bangsa ini? Mari kita lebih serius mencermati mereka dengan mempertimbangkan rekam jejak, integritas, dan gagasan besarnya untuk memajukan Indonesia pada masa depan. Ingat, kita tak hanya memerlukan presiden, tetapi sosok pemimpin yang tulen, yang akan membawa bangsa dan negara ini menjadi adidaya dalam demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar