Kamis, 15 November 2012

Membahagiakan Nelayan


Membahagiakan Nelayan
M Riza Damanik ;  Sekretaris Jenderal KIARA, Ketua Kelompok Kerja Indonesia untuk Asia-Europe People Forum (AEPF)
SINAR HARAPAN, 14 November 2012



"Mereka orang New York menjuluki kotanya sebagai the city never sleep. Meski kota kami Vientiane (Ibu Kota Laos) selalu tidur lebih cepat, tapi kami bangga menyebutnya the city never cry (kota yang tidak pernah menangis)". 

Pidato penutup Deputi Menteri Luar Negeri Laos Alounkeo Kittikhoun tersebut sontak mendapat sambutan yang sangat meriah dari seribu peserta Forum Rakyat Asia Eropa IX di Vientien Laos, Jumat (19/10). Oleh panitia, pidato itu diboboti dengan penayangan sebuah film berjudul What Is Happiness (apa itu kebahagiaan). Film berdurasi empat menit yang menayangkan beragam makna kebahagiaan bagi rakyat Laos. 

Seorang ibu rumah tangga yang memberi testimoni dalam film tersebut menyebut kebahagiaan adalah ketika dia dapat membiayai anak-anaknya sekolah. Seorang petani merasa bahagia ketika dia bangun pagi dapat makan dan minum di pekarangan rumah bersama istri dan anak-anaknya. Setelahnya, ia pergi ke sawah untuk bertani. 

Semua peristiwa di atas mengingatkan saya pada nasib keluarga nelayan Indonesia. Pernahkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau Menteri Sharif Cicip Sutardjo menanyakan apa makna kebahagiaan kepada nelayan Indonesia? Lalu, mengapa banyak program pemerintah, semisal proyek konservasi laut, yang sedari awal bertujuan untuk meningkatkan kualitas keragaman hayati laut dan penghidupan rakyat, tidak justru membahagiakan keluarga nelayan kita?

Sejak 2006 silam pemerintah Indonesia berkomitmen mengalokasikan 20 juta hektare kawasan konservasi laut di tahun 2020. Untuk mencapainya, digagaslah berbagai inisiatif di tingkat lokal, seperti kawasan konservasi laut daerah, hingga inisiatif regional yang disebut Coral Triangel Initiative (Prakarsa Segitiga Karang) atau kerap disingkat CTI.

Setidaknya, hingga pertengahan 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan 15,5 juta hektare kawasan konservasi laut atau sudah mencapai 77,5 persen dari target 2020. Jika hanya soal kuantitas, Indonesia boleh bangga menjadi satu-satunya negara dengan kawasan konservasi laut terbesar di dunia. 

Sayangnya, konservasi dalam arti sesungguhnya bukanlah ditujukan untuk mengakumulasi ruang. Tapi, dalam rangka memastikan hak rakyat (nelayan) terhadap ruang (baca: sumber daya alam) dapat terpenuhi secara adil dan berkelanjutan. Dari sini, praktik konservasi di laut Indonesia bermasalah.

Laporan yang saya terima dari Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi RI menyebutkan, dalam kurun dua dekade terakhir, sedikitnya 13 nelayan tercatat tewas ditembak petugas konservasi saat memasuki Kawasan Konservasi Laut Komodo, Nusa Tenggara Timur. Demikian halnya yang baru terjadi di Berau, Kalimantan Timur. Setelah ditetapkan menjadi kawasan konservasi, akses nelayan terhadap wilayah penangkapan ikannya kian sempit. Di lain sisi, industri pariwisata kian "menjamur" dan mendapat kemewahan memanfaatkan segenap sumber daya ruang. 

Sebelum menelan korban jiwa dan memperluas konflik, model konservasi yang dijalankan di Indonesia terlebih dahulu mengabaikan persetujuan keluarga nelayan dan masyarakat adat. Hal ini yang terjadi di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur dan sekitar 12 juta hektare kawasan konservasi laut lainnya.

Bahagia
Di berbagai pertemuan baik pada tingkat nasional, regional bahkan internasional telah digagas untuk memantapkan agenda konservasi dunia. Terakhir, Konferensi Tingkat Tinggi Keragaman Hayati XI digelar di Hyderabad India, 8-19 Oktober. Konferensi dihadiri sekitar 14.000 peserta dan 173 para pihak (negara dan organisasi). Satu hal yang luput dalam pembahasan adalah bagaimana konservasi bisa membahagiakan nelayan.

Mari kita tengok praktik konservasi yang berlangsung di Kepulauan Maluku. Mereka memilih sasi' bukan untuk kepentingan ekonomi semata. Bahkan, bukan pula untuk sekadar memfasilitasi ekspansi industri pariwisata. Tapi, atas dasar kayakinan bahwa membatasi waktu menangkap ikan adalah bentuk tanggung jawab manusia; agar sebaliknya, laut (baca: ikan) pun dapat memelihara kelangsungan hidup para nelayan dan rakyat luas.

Demikian halnya nelayan di Kendal, Jawa Tengah. Mereka menanam mangrove bukan untuk mengejar penghargaan atau piagam konservasi; seperti Presiden SBY mendapatkan penghargaan Valuing Nature Awards dari tiga LSM Amerika Serikat baru-baru ini. Tapi, atas kesadaran bahwa untuk mendapatkan hasil ikan lebih baik diperlukan ekosistem mangrove yang baik pula. Praktik serupa berlangsung luas di tanah dan laut Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Aceh. 

Sekali lagi, bagi mereka nelayan dan masyarakat pesisir kepulauan Indonesia, konservasi bukan soal kuantitas, 20 juta hektare 2020. Tapi, lebih persoalan kualitas, yakni menentukan baik buruknya masa depan anak-anak mereka. Jaminan atas keberlanjutan budaya dan pengetahuan kolektif mereka. Ini persoalan merebut kebahagiaan. 

Karena itu, konservasi menjadi tindakan kebudayaan yang bertumbuh pada etika, tata nilai, etos, moralitas dan spritualitas sebagai pilar utamanya.

Olehnya, pemerintah perlu merombak pendekatan programatik dalam pengelolaan konservasi. Mengikutkan pendapat dan pengetahuan nelayan dalam ikhtiar konservasi adalah sebuah keharusan. Kewajiban ini tidak dapat pula ditukargulingkan dengan keuntungan lain.

Konstitusi kita telah menyebutkan setidaknya empat hak konstitusi masyarakat adat dan tradisional yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: hak untuk melintasi perairan, hak untuk mengelola sumber daya laut sesuai dengan kearifan tradisionalnya yang masih eksis, hak untuk mendapatkan manfaat atas kekayaan sumber daya laut tersebut, termasuk hak mendapatkan perairan yang bersih dan sehat.

Jika keempat hak tersebut bisa terpenuhi maka bukan saja peta (luasan) konservasi yang dihasilkan. Lebih dari itu, pemerintah telah membahagiakan nelayan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar