Koalisi
Politik Setengah Hati
Andreas Yoga Prasetyo ; Litbang Kompas
KOMPAS,
30 Juli 2012
Koalisi partai politik
dinilai oleh publik mampu mendongkrak perolehan suara dalam pemilihan kepala
daerah. Sebagian publik bahkan menjadikan pola koalisi sebagai referensi untuk
menentukan pilihannya. Namun, koalisi antarparpol tidak menjamin terciptanya
stabilitas politik dan pemenuhan kepentingan masyarakat.
Penilaian itu terangkum
dalam jajak pendapat Kompas, 25-27 Juli 2012, yang menggali opini publik
terkait fenomena koalisi partai politik dalam pilkada. Potensi efektivitas
koalisi yang dilakukan partai-partai politik terlihat dari besarnya apresiasi
publik yang melihat peta koalisi parpol pendukung kandidat sebagai pertimbangan
untuk menentukan pilihan.
Lebih dari separuh responden (56,1 persen) menyatakan
masih mempertimbangkan latar belakang koalisi partai pendukung calon kepala
daerah sebelum menentukan pilihan.
Manfaat lain yang dilihat
publik dari kerja sama antarpartai adalah peluang meningkatnya perolehan suara
bagi calon kepala daerah yang diusung. Dalam konteks ini, koalisi parpol
dinilai publik dapat mengamankan kemenangan calon kepala daerah di ajang
pilkada. Tingginya raihan suara hasil koalisi terlihat dalam sejumlah pilkada
seperti di Kabupaten Purbalingga (2005), Kota Tanjung Pinang (2007), Kabupaten
Tulungagung (2008), Banyuasin (2008), Ogan Komering Ulu Timur (2010), dan
Kabupaten Karimun (2011). Rata-rata perolehan suara di enam pilkada itu
mencapai lebih dari 80 persen.
Fenomena ini dapat dimaknai
sebagai simbolisasi hadirnya ikatan parpol di benak publik. Pilihan masyarakat
untuk mendukung pasangan kandidat kepala daerah di pilkada semata-mata bukan
ditentukan oleh figur kandidat, tetapi juga dipengaruhi oleh preferensi pilihan
partai politiknya.
Besarnya potensi koalisi ini
ditangkap sebagian besar partai politik dan diterjemahkan menjadi strategi
kerja sama di pilkada. Hal ini terlihat dari tingginya frekuensi kerja sama
antarparpol untuk mengusung kandidat kepala daerah. Sepanjang 2005-2006 terdapat
133 dari lebih 207 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada. Koalisi parpol
semakin marak pada 2010, sedikitnya terdapat 140 kerja sama antarpartai dari
174 lebih pilkada kabupaten/kota.
Transaksional
Munculnya koalisi parpol,
menurut Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, tak
lepas dari pluralisme masyarakat Indonesia secara politik sehingga sulit
ditemukan kelompok dominan secara politik. Faktor lainnya adalah sistem pemilu Indonesia
yang menganut sistem proporsional.
Sistem ini cenderung
menghasilkan banyak partai dan tidak satu partai pun yang mampu meraih
kemenangan mayoritas. Karena tidak ada partai yang dominan, pada akhirnya
cenderung digunakan demokrasi model konsensus, salah satunya melalui koalisi.
Namun dalam perjalanannya,
dinamika politik nasional juga mencatat bangunan koalisi itu selama ini belum
efektif. Hal itu terjadi pada Koalisi Kebangsaan yang dijalin Partai Golkar dan
PDI-P pada pemilu 2004. Koalisi berakhir seiring pilihan Partai Golkar
bergabung di barisan pemerintahan. Polemik juga terdengar di koalisi dalam
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua atau Sekretariat
Gabungan (Setgab). Gesekan dan perbedaan sikap terus muncul ketika Setgab
dihadapkan pada sejumlah kasus, seperti skandal Bank Century dan pembentukan
pansus mafia pajak.
Riuhnya polemik dan konflik
terkait koalisi turut memengaruhi persepsi masyarakat terhadap figur koalisi
itu sendiri. Jika ditelusuri lebih mendalam, buruknya citra koalisi di benak
publik tidak terlepas dari pemahaman masyarakat terhadap makna koalisi. Istilah
koalisi menurut lebih separuh responden (57,5 persen) berkonotasi hal-hal yang
transaksional, yakni tawar-menawar kekuasaan, bahkan transaksi uang antarparpol.
Orientasi transaksional ini
tidak bisa menjamin koalisi parpol dilakukan untuk menciptakan stabilitas
politik dan dipenuhinya kepentingan masyarakat pascapilkada. Hasil survei ini
mengungkapkan penilaian publik tentang hal tersebut.
Satu dari tiga responden
survei menyatakan, agenda koalisi tak menjamin terciptanya stabilitas politik.
Bahkan, sebanyak 66,9 persen responden menyatakan, koalisi tak memberi banyak
ruang bagi terserapnya aspirasi masyarakat. Lebih lanjut, tiga perempat bagian
responden (79,3 persen) melihat pola koalisi masih bergerak dalam tataran
memenuhi kepentingan elite, khususnya menggapai kursi kekuasaan.
Koalisi Rapuh
Orientasi transaksional
sangat jelas tergambar dalam sejumlah koalisi yang bercorak pragmatis, seperti
dalam praktik koalisi parpol yang lintas ideologi. Mayoritas responden (67,3
persen) menilai, pola koalisi parpol yang berbeda visi dan ideologi lebih
didasari keinginan meraih kekuasaan semata. Pola koalisi itu dikhawatirkan
kontra produktif terhadap pengelolaan daerah dan mengancam stabilisasi politik
daerah.
Kasus pecah kongsi sejumlah
pasangan kepala daerah merupakan contoh konkret. Mengutip data Kementerian
Dalam Negeri, dari 753 pasangan kepala daerah terpilih sejak 2005 hingga akhir
2011, sebanyak 732 pasangan pecah kongsi. Selain itu, ideologisasi politik yang
cenderung melemah juga mendorong fenomena ”loncat pagar” kader parpol.
Bukan Sesaat
Sebagian besar responden
(80,8 persen) berharap koalisi parpol di pilkada tidak hanya berlangsung sesaat
ketika berlangsung pilkada, tetapi terjaga hingga berakhirnya masa jabatan
kepala daerah yang telah dipilih.
Tujuan akhir dari proses
koalisi bukan hanya berhenti pada pemenangan suara dan stabilisasi
pemerintahan, tetapi juga tercapainya kesejahteraan bagi seluruh warga bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar