Masyarakat
Sipil Tergoda Politik
(
Wawancara )
Adi Suryadi Culla ; Pengajar Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas
Hasanuddin (Unhas) Makassar
KOMPAS,
04 Agustus 2012
Selain negara dan pasar,
peran masyarakat sipil sama pentingnya. Peran masyarakat sipil bukan semata
pengontrol, namun menjadi mitra dalam pengelolaan kehidupan bernegara.
Kehadiran masyarakat sipil yang kuat merupakan salah satu variabel pengukuran
kualitas kehidupan berdemokrasi.
Begitulah pandangan yang
disampaikan pengajar Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Adi Suryadi Culla. Perbincangan lebih jauh dilakukan di ruang
kerjanya di Kampus Unhas di Tamalanrea, Makassar, beberapa waktu lalu.
Bagaimana Anda melihat
perkembangan organisasi masyarakat sipil pascareformasi?
Organisasi masyarakat sipil
kehilangan isu kalau kita membandingkan dengan kehadiran mereka di era
otoritarian. Di era Orde Baru, organisasi masyarakat sipil, meskipun ada yang
”pelat merah”, tingkat kemandiriannya jauh lebih besar karena adanya
identifikasi diri yang berbeda sebagai wilayah di luar negara. Beberapa yang
kritis, muncul mengidentifikasi diri sebagai kekuatan di luar state. Masyarakat
sipil di era Orde Baru sebenarnya bermain dengan cantik. Dalam konteks sistem politik,
mereka sebenarnya tak punya ruang demokrasi untuk mengontrol negara karena ada
represi dari negara waktu itu. Akan tetapi, mereka menjalin hubungan dengan
elite-elite negara.
Organisasi masyarakat sipil
originalnya lahir dibentuk dari negara. Walhi, LBH tidak bisa dilepaskan dari
peran (Gubernur DKI Jakarta waktu itu) Ali Sadikin. Di situlah kekuatan mereka,
state tidak homogen, ada
elemen-elemen prodemokrasi yang juga banyak membela dan berkontribusi. Itu yang
membuat mereka bisa mengartikulasikan peran dengan baik. Apalagi waktu itu juga
dibutuhkan oleh rezim untuk bantuan internasional yang mensyaratkan adanya
masyarakat sipil.
Saat ini bagaimana?
Membandingkan dengan
sekarang, agak sulit untuk membedakan elemen-elemen yang pro dan yang
antidemokrasi. Itu yang menyulitkan organisasi masyarakat sipil sehingga mereka
sulit mengidentifikasi diri dalam membangun gerakan. Banyak juga mereka ini
yang masuk ke dunia politik. Namun, godaan politik membuat mereka tidak bisa
menjalankan fungsinya dengan baik.
Bagaimana dengan organisasi
masyarakat sipil saat ini yang mencoba lebih masuk ke formulasi kebijakan
publik?
Secara genetik, berbeda
antara masuk ke parpol dan masuk ke instrumen masyarakat sipil. Kekuasaan
organisasi masyarakat sipil lebih bersifat moral. Sementara yang masuk ke
politik, masuk ke kepentingan parsial, berdasarkan kepentingan politik.
Kelihatannya teman-teman yang masuk ke parpol, gagal menjalankan komitmennya
sewaktu di masyarakat sipil.
Sebenarnya ada konsensus di
masyarakat sipil untuk berbagi tugas. Tapi kelihatannya hasilnya berbeda.
Mereka yang masuk parpol bisa terperangkap dalam kepentingan kekuasaan, dan
tidak mampu melakukan perubahan. Kekuasaan itu tetap korup, perilaku elitenya
tetap tak berubah. Yang dihadapi adalah perilaku elite yang relatif susah untuk
mengintrospeksi diri dan melakukan perubahan. Kesulitannya di situ. Asistensi
yang diberikan hanya menjadi instrumen teknis yang tidak masuk ke substansi.
Lantas, apa yang bisa
dilakukan?
Yang dibutuhkan adalah
ketegasan, komitmen. Akhirnya semua kembali kepada tokoh bersangkutan. Aktivis
organisasi masyarakat sipil sebenarnya diharapkan, tapi kelihatannya mereka
tidak berhasil untuk memengaruhi elemen partai. Perlu ada semacam instrumen
yang bisa menjembatani antara masyarakat sipil, state, dan parpol yang
dilembagakan. Elemen quasi-state, seperti KPK atau Komnas HAM, sepertinya bisa
menjembatani. Elemen masyarakat sipil cocok untuk masuk ke situ. Di situ titik
strategisnya. Ini yang seharusnya berperan. Kalau bisa diisi, dikuasai untuk
menghubungkan kebutuhan rakyat dengan sistem.
Bagaimana kalau kemudian itu
dianggap jenjang karier berikutnya bagi elemen masyarakat sipil?
Itu berarti melanggar
komitmen mereka kalau itu kemudian dianggap sebagai model jenjang karier. Cara
itu hanya instrumen gerakan perubahan, ruang tersedia yang paling memungkinkan
untuk menyentuh kekuasaan. Kalau hanya mengandalkan ruang organisasi masyarakat
sipil, susah sekali. Apalagi realitasnya bantuan internasional sudah berkurang.
Soal dana asing bagi organisasi
masyarakat sipil di Indonesia?
Kalau itu diberikan tanpa
semacam intervensi kepentingan, sebenarnya tidak ada masalah. Organisasi
masyarakat sipil di Indonesia berkembang juga karena dana internasional,
berbeda halnya dengan Eropa. Kasus Indonesia, yang berperan adalah dana asing
dan negara sendiri. Mungkin itu pula yang membuat organisasi masyarakat sipil
di Indonesia rapuh sekalipun di era otoritarian cukup kuat. Ketika era
otoritarian runtuh, runtuh pula mereka (masyarakat sipil) punya fondasi. Yang
diharapkan dari organisasi masyarakat sipil adalah fundraising dan membuat usaha sendiri. Beberapa organisasi di
sejumlah daerah membuat usaha kreatif, bekerja sama dengan masyarakat
mengembangkan itu, dan pada saat sama mereka membuat gerakan. Harusnya ada
otonomi, self supporting dan self generating, seperti swasembada
untuk menghidupi dirinya sendiri. Mereka tidak hadir semata dalam postur
politik, postur moral mestinya mereka mengembangkan sayap usaha lain untuk
menghidupi dirinya. Itu sudah terjadi di Aceh, juga di Bali, dan Sulawesi
Tenggara.
Bagaimana idealnya
organisasi masyarakat sipil ke depan?
Mereka semua berada dalam
kesepahaman yang sama dalam mewujudkan aturan demokrasi. Tidak bisa lagi
mengonfrontasikan, memisahkan sebagai batang-tubuh yang saling berhadapan
antara state dan society. Kadang saya masih melihat aktivis masyarakat sipil yang
melihat negara sebagai musuh. Itu perilaku dalam sistem otoritarian. Dalam
sistem demokrasi, tidak bisa lagi seperti itu. Masa depan organisasi masyarakat
sipil sangat ditentukan dengan bagaimana mereka menciptakan jejaring dengan
elite yang diidentifikasi memiliki sikap yang prodemokrasi. ● (Aswin Rizal
Harahap dan Sidik
Pramono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar