Bisakah Kacang Koro
Pedang Menggantikan Kedelai? Dody Hidayat : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 10
September 2023
INOVASI itu berawal dari
segenggam bibit kacang koro pedang yang diperoleh Agus Somamihardja dari ibu
petani di Situbondo, Jawa Timur, sekitar lima tahun lalu. Agus semringah
karena bibit yang ditanam di kebun rumahnya itu tumbuh subur dan menghasilkan
biji seukuran kuku jari tangan orang dewasa. Kini dari 15 biji telah
berkembang berhektare-hektare tanaman bernama ilmiah Canavalia ensiformis
itu. “Tiap panen sebagian dijadikan bibit dan disebar terus ke petani-petani
mandiri,” kata Agus, yang mendirikan Eduwisata Kacang Koro Pedang di
kediamannya di Bogor Barat, Jawa Barat. Agus kian jatuh hati pada
koro pedang ketika ia menjadi anggota Komisi Teknis Pangan dan Pertanian pada
Dewan Riset Nasional periode 2019-2022 mendapati ketahanan pangan Indonesia,
di antaranya kacang kedelai, dalam kondisi babak-belur. Saban tahun Indonesia
harus mengimpor 2,5-3 juta ton kedelai putih untuk produksi tempe. “Saya
berpikir, mengapa tidak digantikan saja dengan koro pedang,” tutur Agus, yang
ditemui di rumahnya, Ahad, 20 Agustus lalu. “Sejak itu, saya berfokus
mengembangkan koro pedang sebagai substitusi kedelai impor.” Agus kemudian mencoba
mengolah sendiri hasil panennya menjadi tempe koro pedang. Ukuran koro pedang
yang lebih besar dari kedelai mengharuskan dia mencacah dulu kacang tersebut.
“Ukuran kedelai itu seperdelapan dari koro pedang,” ucap Agus. Soal rasa
memang tempe koro pedang berbeda dengan tempe kedelai. “Tapi kan itu soal
kebiasaan. Lama-lama terbiasa juga,” katanya. Menurut Agus, tempe koro pedang
empuk dan berpasir seperti ubi, tidak renyah layaknya kedelai. “Orang Cina,
Jepang, dan Korea suka karena mereka biasa makan ubi.” Menurut Agus, koro pedang
berpotensi menggantikan kedelai sebagai bahan baku tempe karena kandungan
nutrisinya nyaris serupa. Koro pedang juga bebas gluten dan nilai proteinnya
berkisar 23-27 persen, sementara kedelai 40 persen. Dia menambahkan, selama
ini harga koro pedang yang dijual ke produsen abon di Tangerang, Banten;
Solo, Jawa Tengah; serta Banyuwangi, Situbondo, dan Probolinggo di Jawa Timur
sama dengan kedelai, yakni Rp 12 ribu per kilogram. “Untuk perajin tempe
harganya mesti lebih murah. Paling tinggi 70 persen dari harga kedelai,” ujar
pendiri dan ketua Koperasi Paramasera itu. Agus mengklaim salah satu
koperasi produsen tahu-tempe Indonesia di Jawa Barat sudah meminta pasokan
koro pedang sebanyak 10 ton per bulan. Permintaan itu tak bisa ia penuhi
karena produksi petani binaannya masih minim. Koro pedang, menurut Agus,
ditanam petani mandiri yang memiliki lahan kecil. Wilayah persebarannya di
Jawa Barat di antaranya di Sumedang, Garut, Ciamis, Cianjur, dan Bogor.
Adapun di Lampung, seperti di Tulang Bawang, Lampung Timur, dan Lampung
Utara, para petani pepaya menanamnya secara tumpang sari. Dengan sistem
tumpang sari dengan kelapa sawit, misalnya, Agus optimistis dalam dua-tiga tahun
permintaan 10 ton per bulan itu mudah dipenuhi. Anton Sudibyo, petani tebu
dari Blora, Jawa Tengah, berancang-ancang membuka lahan koro pedang seluas
seribu hektare. Sebanyak 300 hektare berada di Blora dan sisanya tersebar di
daerah Jawa Tengah lain. Menurut Bendahara I Pengurus Pusat Paguyuban
Pembudidaya Koro Pedang Indonesia (P2KPI) ini, lahan seluas itu merupakan
jawaban atas tantangan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten
Masduki kepadanya. Penanaman koro pedang skala besar itu, kata Anton, ada
yang monokultur dan sebagai tanaman sela atau tumpang sari. Dalam proyek swadaya
masyarakat ini, Anton menjalin kerja sama dengan Universitas Wahid Hasyim,
Semarang, dan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Semarang. “MAJT punya lahan
ratusan hektare karena itu wakaf sejak Ki Ageng Pandanaran dulu. Nah,
sebagian akan kami tanami koro pedang,” tuturnya melalui sambungan telepon,
Selasa, 5 September lalu. Dari lahan milik MAJT itu, seluas 10 hektare akan
dijadikan pembibitan koro pedang. “Dana yang dibutuhkan lebih-kurang Rp 380
juta. MAJT yang memiliki pembibitan itu.” Sejak enam bulan yang
lalu, kata Anton, ia dan Sukadi Wibisono, Ketua I P2KPI dan mantan Ketua
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Jawa Tengah, menanam koro pedang di
lahan seluas 1.200 meter persegi di Blora sebagai pembibitan. Ada 1.400-1.600
pohon koro pedang di lahan tersebut dan sejauh ini sudah dipanen sebanyak 7-8
kuintal. Menurut Anton, di lahan pembibitan miliknya itu dilakukan riset
non-akademis dan hasilnya luar biasa. “Dulu bibit yang kami dapatkan daya
tumbuhnya cuma 40-50 persen, sekarang bibit yang kami tanam itu 90 persen
tumbuh.” Anton menekankan, bila
dilakukan pemuliaan, tanaman koro pedang dapat lebih produktif. Ia
membuktikan bahwa tanaman koro pedang yang ditanam secara tumpang sari dengan
pohon jati di lahan marginal dapat menghasilkan polong yang berisi 14-19
biji. Pemuliaan koro pedang, menurut Anton, juga sedang dilakukan Universitas
Wahid Hasyim sebagai mitra akademik P2KPI. Agus Somamihardja juga mengaku menjalin
kerja sama dengan koleganya untuk pemuliaan tanaman. “Yang saya dengar,
teknik rekayasa genetika menggunakan radiasi nuklir bisa membuat tanaman itu
berbunga serentak,” ucap Agus. Menurut Agus, tanaman koro
pedang yang berbunga serentak sangat disukai industri dan cocok untuk
perkebunan monokultur. Selain itu, tanaman koro pedang yang termasuk suku
kacang-kacangan (leguminosae) bisa menjadi tanaman penutup lahan (cover crop)
di perkebunan kelapa sawit. “Selama ini, yang biasa ditanam adalah kacang-kacangan
yang tidak menghasilkan produk bernilai jual. Kalau diganti dengan koro
pedang akan produktif,” ujarnya. “Tanaman leguminosae ini juga mampu mengikat
nitrogen langsung dari udara. Jadi tidak perlu memakai pupuk urea, NPK yang
tinggi.” Agus memaparkan, koro
pedang bisa ditanam di semua jenis tanah. Bahkan koro pedang juga digunakan
sebagai tanaman pionir di lahan bekas tambang emas ilegal di Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat. Agus menjalin kerja sama dengan organisasi
nonpemerintah, Tropenbos Indonesia, yang menjalankan program pengelolaan
hutan desa berbasis masyarakat. Menurut Kusnadi, fasilitator hutan desa
program Tropenbos di Ketapang, program pendampingan masyarakat yang mereka
lakukan di antaranya pengembangan hortikultura dan bagaimana bercocok tanam
yang baik. Salah satunya dengan menanam koro pedang. Kusnadi menjelaskan,
program pendampingan itu digelar di empat desa di Kabupaten Ketapang, yakni
Desa Sungai Pelang, Desa Sungai Besar, dan Desa Pematang Gadung di Kecamatan
Matan Hilir Selatan serta Desa Pangkalan Teluk, Kecamatan Nanga Tayap. “Koro
pedang ini baru kami tanam di dua desa, Sungai Besar dan Pematang Gadung.
Tapi keempat desa itu yang menjadi target penanaman,” tutur Kusnadi saat
ditemui di Depok, Jawa Barat, Selasa, 22 Agustus lalu. Selain untuk pertanian
rakyat, koro pedang, kata dia, digunakan buat mereklamasi lahan bekas tambang
emas. “Kebetulan lokasi tambang emas berdekatan dengan hutan desa, bahkan ada
wilayah hutan desa yang terkena penambangan.” Menurut Kusnadi, penanaman
koro pedang di dua desa di lahan seluas sekitar seribu meter persegi itu
dilakukan pada Juni lalu. Ada dua jenis lahan yang ditanami, yakni lahan
mineral dan gambut. “Ini semacam percontohan untuk menarik minat masyarakat
agar mau menanam koro pedang. Selain itu, ini untuk merestorasi lahan bekas
tambang, guna mengembalikan unsur haranya. Kalau nanti berhasil, penanamannya
akan diperluas,” ucap Kusnadi. “Pertumbuhannya bagus. Sekarang tanaman koro
pedangnya sudah mulai berbunga,” ujarnya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ilmu-dan-teknologi/169676/kacang-koro-pedang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar