Trauma Silas Papare Shinta Maharani : Kontributor Tempo di Yogyakarta |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
MENGENAKAN setelan jas
berwarna abu-abu dan dasi hitam, Silas Papare duduk membelakangi hutan yang
ditumbuhi pepohonan lebat. Sepatu pantofel hitam membungkus kakinya. Wajah
Silas terlihat serius ketika juru potret mengabadikan kunjungannya ke
Beijing, Cina, pada 30 September 1956. Putra ketujuh Silas, Musa
Antonius Papare, menunjukkan foto hitam-putih itu saat Tempo datang ke
rumahnya di Kelurahan Fandoi, Kecamatan Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor,
Papua, Kamis, 3 Agustus lalu. “Papa bertemu dengan Mao Tse-tung,” kata Musa
Papare. Silas saat itu menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
mewakili Papua. Musa bertemu dengan Mao, pemimpin revolusi Cina, saat ikut
dalam rombongan Presiden Sukarno. Kunjungan ke Beijing merupakan kelanjutan
dari diplomasi Indonesia dan Cina setelah kedua negara saling membuka kantor
kedutaan pada 1950. Kala itu Sukarno ingin
memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional. Setahun sebelum pembukaan
kedutaan besar, Indonesia mengikuti Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada
23 Agustus-2 November 1949. Meski tak tercatat sebagai anggota delegasi,
Silas ikut dalam rombongan yang pergi ke Belanda. Persoalan Papua Barat juga
dibahas dalam konferensi itu. Pemerintah Sukarno
berupaya keras agar Papua tak lepas dari Indonesia. Ia menggandeng tokoh
Papua seperti Silas ke berbagai acara internasional. Keduanya memang memiliki
kedekatan. Saat istri Silas, Regina Aibui Rumbewas, melahirkan Musa Antonius
Papare, Sukarno ikut memberikan nama lain, yaitu Irianto Balindo Kilat. Menurut Musa, yang
mendapat cerita dari orang tuanya, Sukarno menitipkan nama itu lewat Raden
Soediro Hardjodisastro, Wali Kota Jakarta periode 1953-1960. “Arti nama itu
supaya Irian segera kembali ke Indonesia,” ucap Musa, yang lahir pada 17
Agustus 1956. Pada hari kelahiran Musa,
Silas yang menjadi anggota parlemen ikut membentuk Provinsi Irian Barat di
Jakarta. Provinsi baru itu memiliki ibu kota sementara di Soa Siu, Tidore,
kini berada di Maluku Utara. Provinsi itu menggantikan Biro Irian, lembaga
perwakilan masyarakat yang dibentuk pada 1953. Arsip wawancara tim
Universitas Cenderawasih dengan istri Silas, Regina Aibui Rumbewas, pada 1990
menyebutkan bahwa pembentukan provinsi baru itu bertujuan menggabungkan Irian
Barat ke dalam wilayah Indonesia. “Mengimbangi politik pemerintah Belanda di
Irian Barat,” kata Regina. Saat menjadi anggota DPR
dan MPR, Silas pernah menunjukkan bendera bintang kejora kepada Sukarno. Musa
menuturkan, ayahnya pernah bercerita bahwa bendera itu merupakan aspirasi
politik dan bagian dari kultur rakyat Papua. “Sukarno tidak marah ketika
mendengar cerita Papa,” ujar Musa. Silas tak lagi menjadi
anggota DPR dan MPR pada Oktober 1960. Tapi ia tetap memperjuangkan
penggabungan Papua dengan Indonesia. Pada Juli-Agustus 1962, ia menjadi
anggota delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York di Markas Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat. Perjanjian itu mewajibkan
Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary
Executive Authority atau UNTEA paling lambat 1 Mei 1963. Persetujuan itu juga
mengatur pelaksanaan referendum guna menentukan pilihan rakyat Papua untuk
ikut Belanda atau Indonesia. Referendum ini cikal bakal Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) 1969. Namun, belakangan, Silas
ogah mengikuti Pepera. Sebab, pada 1964 ia ditangkap tentara karena dituding
mendukung Partai Komunis Indonesia. Saat itu terjadi persaingan antara PKI
dan tentara. PKI berkiblat kepada Sukarno. Musa, yang saat itu
berusia 8 tahun, menyaksikan rumah mereka di Jalan Senopati 55, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, dikepung tentara. Mereka langsung masuk dan
menggeledah isi rumah. Musa menyaksikan ayahnya sempat berdebat dengan
tentara dan meminta surat pemanggilan atau penangkapan. Karena kengototan tamu
yang tak diundang, Silas akhirnya bersedia digelandang tentara. Ia sempat
meminta waktu berganti pakaian. Setelah itu, dia dipenjara selama enam bulan
di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan. “Agak trauma saya cerita ini,” ucap
Musa. Ibu Musa, Regina, pernah
menjenguk Silas di rumah tahanan. Tapi Regina justru didamprat suaminya.
“Papa marah sekali, bahaya karena situasi politik,” tutur Musa. Setelah
bebas, Silas sekeluarga pulang dan menetap di Biak Numfor. Rumah Silas di Senopati 55
kemudian dihibahkan untuk dijadikan gereja Kristen. Tapi, Musa menyebutkan,
pengelola gereja belakangan menjual rumah tersebut. Kini bangunan di Senopati
55 telah menjadi showroom mobil. Setelah kembali ke Papua,
Silas berdagang serta membuka perkebunan dan peternakan. Ia juga menjual
besi-besi tua dan mengekspornya ke Jepang. Silas ketika itu memiliki
perseroan terbatas, Inai Suta, yang ia dirikan di Manado saat menjadi anggota
DPR. Inai Suta berarti ibu yang menyusui kita. Mengembangkan usahanya,
Silas kerap berkeliling di Kepulauan Yapen. Salah satu usahanya adalah
beternak sapi di Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi. Sapi-sapi itu awalnya
diberikan oleh salah satu pasien yang pernah diobati Silas, Alexander The.
“Kami kasih dua pasang sapi untuk dikawinkan,” ujar istri Alexander,
Cresensia Setiawati. Orgenes Runtuboi, salah
satu warga Kelurahan Ansus di Distrik Yapen Barat, masih ingat Silas datang
ke kampungnya bersama istri dan anak pertamanya, Merry Helena. Saat itu Silas
menjelaskan bergabungnya Papua dengan Indonesia. Silas juga pernah datang
bersama orang Filipina untuk mengadakan survei pertanian dan sumber daya alam
di kampungnya. Musa bercerita, ayahnya
tak mengikuti Pepera pada 14 Juli-2 Agustus 1969 karena masih memendam
kekecewaan ditahan di Guntur. Menurut dia, ayahnya memilih berada di Sawendui
alih-alih menghadiri Pepera. “Bapak di kebun, bangkrut, dan memikirkan
keluarga,” ucap Musa. Istri Musa, Agusthin
Wabisen Papare, menyebutkan sempat ada isu bahwa mertuanya mendapat 69 ekor
sapi setahun seusai pelaksanaan Pepera pada 1969. “Itu tidak benar,” katanya.
Sedangkan Musa mengatakan, setelah keluarga Silas kembali ke Biak Numfor,
perlahan-lahan kehidupan ekonomi mereka memburuk. Sepuluh tahun kemudian,
pada 7 Maret 1979, Silas wafat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Saat itu ia
sedang menemani istrinya menjalani operasi mata. Musa mengenang, Wakil
Presiden Adam Malik mengantarkan jenazah ayahnya dari Jakarta ke Papua. Silas
dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kota Serui bersama tokoh lain, seperti
Stefanus Rumbewas dan Thung Tjing Ek. Tempo mengunjungi makam
Silas Papare pada Selasa, 1 Agustus lalu. Dedaunan kering memenuhi
kuburannya. Rumput liar pun tumbuh tinggi di sekitar makam Silas dan pahlawan
lain. Seorang warga di Serui menyebutkan biasanya kompleks makam itu
dirapikan ketika perayaan kemerdekaan 17 Agustus dan Hari Pahlawan 10
November. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169456/trauma-silas-papare |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar