Marthen Indey
Meninggal Fajar Pebrianto : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
AIR mata Nicodemus
Risakota mengalir saat menggenggam secarik foto Marthen Indey dan keluarganya.
Pria 72 tahun itu merasakan haru saat menceritakan akhir kisah hidup ayah
angkatnya tersebut. Nicodemus mengatakan Marthen berjuang habis-habisan demi
membebaskan Papua dari Belanda, tapi miskin di masa senja. Di pengujung hayatnya,
Marthen menderita sejumlah penyakit komplikasi. Ia sempat menolak dibawa ke
rumah sakit. Kepada Tempo, Nicodemus mengaku merawat Marthen hingga tutup
usia pada 17 Juli 1986 saat berusia 74 tahun. “Biar meninggal di rumah saja,”
kata Nicodemus, menirukan ucapan Marthen kala itu. Nicodemus kini tinggal
bersama keluarganya di Kampung Kertosari, Distrik Sentani Barat, Jayapura,
Papua. Setelah didesak, Marthen
akhirnya bersedia dirawat di Rumah Sakit Umum Jayapura. Tapi ia hanya mampu
membayar perawatan di kelas paling rendah. Kepada Nicodemus, Marthen meratapi
kemiskinannya itu di tengah rasa sakit. “Saya berjuang untuk bangsa dan
negara ini, tapi kenapa saya ditelantarkan?” ujar Nicodemus mengenang
pernyataan Marthen. Namun, setelah ada petinggi pemerintahan daerah dan
Tentara Nasional Indonesia yang menjenguk, Marthen akhirnya pindah ke ruang
perawatan dengan kelas paling mahal. Sentani merupakan kawasan
terakhir perjalanan hidup Marthen sebelum malang-melintang memperjuangkan
kebebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Ia pernah ikut berjuang di
luar negeri. Marthen ikut dalam Delegasi Irian Barat ke markas Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada 19-24 Desember 1962. Marthen dan rombongan
datang setelah Perjanjian New York berhasil dicetuskan pada 15 Agustus 1962.
Perjanjian ini menegaskan bahwa United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA) akan menyerahkan Irian Barat ke tangan Indonesia. Rekan-rekan Marthen
yang pernah jadi pentolan Komite Indonesia Merdeka (KIM) juga ikut berjuang
di PBB, seperti Elly Uyo dan Kaleb Hamadi. Peneliti dan mantan
wartawan Tempo, George Junius Aditjondro, pernah menelusuri kehidupan dan
perjuangan Marthen. Hasil penelitian itu dipublikasikan pada Februari 1987
dengan judul “Marthen Indey, Pilar Perjuangan Pembebasan Irian Barat di
Jayapura”. “Dia secara aktif ikut dalam kampanye memperpendek masa
pemerintahan transisi PBB,” tulis George dalam hasil penelitiannya. Pulang dari New York,
Marthen ke Jakarta dan menyerahkan Piagam Kotabaru kepada Sukarno. Isinya
menegaskan penduduk Irian Barat tetap setia pada Indonesia. Kotabaru tak lain
adalah sebutan bagi Jayapura ketika Belanda menyerahkan Irian Barat ke UNTEA. Karier Marthen berlanjut
ke Senayan, Jakarta, pada Mei 1963. Ia ditunjuk pemerintah sebagai anggota
Majelis Umum Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Di gedung parlemen,
Marthen terus-menerus menyuarakan perlunya transmigrasi gaya baru di setiap
daerah. Gagasan ini pernah disampaikan Marthen dalam pidatonya di MPRS pada
17 Juni 1966. “Transmigrasi harus diatur sehingga tidak menyusahkan
masyarakat daerah yang lebih dulu ada,” ucap Marthen dalam pidatonya. Rekan sejawatnya, Corinus
Krey, juga masuk ke MPRS. Semasa menjadi anggota parlemen, Marthen dan
Corinus disebutkan tinggal di Asrama Mahasiswa Papua di Jakarta. “Setiap hari
ketemu,” tutur Max Krey, anak kedua Corinus, kepada Tempo di Jakarta, pada
Sabtu, 29 Juli lalu. Asrama yang dimaksud adalah Mess Cenderawasih I yang
sekarang berlokasi di Jalan KH Mas Mansyur Nomor 63, Kelurahan Kebon Melati,
Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menurut penuturan Ketua RW
09 Kelurahan Kebon Melati yang sekarang ikut menempati Mess Cenderawasih,
Benny Maran, Corinus dan Marthen tidak pernah tinggal di sana. Seingat dia,
hanya pahlawan Papua Johannes Abraham Dimara yang pernah tinggal di mes.
“Dimara dulu tinggal di sini,” kata Benny Maran saat ditemui pada Rabu, 9
Agustus lalu. Benny mengklaim sudah tinggal bersama dengan warga Papua lain,
termasuk Dimara, sejak mes diresmikan pada 17 September 1964. Di tengah masa tugasnya di
MPRS, Marthen diangkat menjadi mayor TNI tituler oleh Komando Daerah Militer
XVII/Cenderawasih pada 1 Agustus 1964. Marthen kemudian juga sempat diminta
bantuan untuk bekerja di Kantor Gubernur Irian Barat pada 1 Agustus 1965. Di
tahun yang sama, Marthen juga sempat mengikuti Konferensi Asia-Afrika di
Jakarta. Meski menjadi seorang
nasionalis, Marthen justru sempat dituduh terlibat dalam gerakan separatis
Organisasi Papua Merdeka pada tahun tersebut. Dugaan keterlibatan Marthen di
OPM ini dibantah oleh Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP)
Mohammad Thaha Alhamid. “Saya kira tidak,” ujar Thaha saat ditemui di
Jayapura pada Senin, 24 Juli lalu. Thaha bertemu dengan Marthen pada akhir
1980-an. PDP pernah dipimpin oleh Theys Hiyo Eluay, tokoh yang menyuarakan
kemerdekaan Papua. Marthen menyelesaikan
tugasnya di MPRS pada 1968. Saat itu usianya sudah memasuki 56 tahun. Marthen
kemudian terbang meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halaman. Pada
tahun yang sama, Presiden Soeharto naik menjadi presiden menggantikan
Sukarno. Belakangan, Marthen kerap menceritakan kekecewaannya terhadap
pemerintah pada masa Orde Baru di bawah Soeharto karena kesejahteraan di
Papua belum juga terwujud. Di akhir hayatnya, Marthen
pernah menyewakan kediamannya untuk dijadikan bioskop bagi masyarakat umum.
Rumah tersebut diatur sedemikian rupa dan diisi layar yang dibuat secara
manual. Bioskop ini dinamai Dafonsoro, yang disewa oleh seorang pengusaha
India di Papua. "Putar film India,” tutur Nicodemus. Bioskop itu
digemari para pendatang. Selain memainkan film India, beberapa film Indonesia
yang dibawa pengusaha dari Jakarta juga diputar di rumah Marthen. Hasil penyewaan rumah
digunakan keluarga Marthen untuk mengisi kebutuhan dapur. Untuk urusan bisnis
ini, istri Marthen, Agustina Adonia Heumassy, yang langsung bernegosiasi
dengan penyewa. Di masa itu, Marthen sudah pensiun dari semua pekerjaan di
kantor gubernur. “Usianya sudah 73 tahun mungkin saat itu,” ujar Nicodemus.
Kala itu Marthen hanya menerima uang pensiun dari kantor gubernur dan jatah
beras dan honor sebagai mayor tituler. Marthen dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kesuma Trikora, Waena, Jayapura. Pada 14 September 1993,
Marthen menerima gelar pahlawan dari pemerintah lewat usul Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Jayapura kala itu, Yan Pieter Karafir. Istri Marthen, Agustina,
meninggal pada 18 Januari 2006 pada usia 93 tahun. Ia sempat dirawat di
fasilitas kesehatan kelas naratama atau VIP yang menggunakan nama suaminya,
Rumah Sakit Marthen Indey, di Jayapura. Nama Marthen Indey juga
diabadikan di sejumlah fasilitas lain. Salah satunya Lapangan Udara Marthen
Indey di Wamena, Papua, milik TNI Angkatan Udara. “Dia putra Papua, awalnya
polisi Papua, lalu berbalik arah melawan Belanda,” kata Kepala Subdinas
Sejarah di Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Kolonel Sus Maylina Saragih,
Kamis, 10 Agustus lalu. Jasad Marthen Indey
dipindahkan ke Sentani. Pemerintah setempat membangun kompleks makam khusus
untuk Marthen dan Agustina dengan sepasang nisan berkeramik hijau muda. Ini
sesuai dengan wasiat Agustina kepada Nicodemus agar mereka kelak mereka bisa
dikuburkan bersama. “Ini wasiat Mama,” tutur Nicodemus. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169457/marthen-indey-meninggal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar