Budiman Tanuredjo : Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 26 Agustus 2023
”Negeri Opera Sabun”. Itu judul esai
di harian Kompas, 24 Agustus 2023, yang ditulis Romo Angga Indraswara SJ.
Mahasiswa doktoral Ilmu Politik dari The London School of Economics and
Political Science ini sedang melakukan penelitian lapangan di Indonesia. Dalam esainya, Angga mencoba
menangkap fenomena politik kontemporer yang sedang terjadi belakangan ini.
Angga menulis demikian, ”Apabila ini yang terus terjadi, Pemilu 2024 hanya
akan menjadi sebuah opera sabun kolosal yang tak akan banyak mengubah nasib kebanyakan
warga. Boleh jadi, ini mungkin tetap lebih baik daripada hidup di bawah rezim
otoriter. Namun, nasib sebuah negeri tentu terlalu berharga untuk
dipertaruhkan hanya pada seorang individu atau partai….” Rakyat memang terasa seperti penonton
menyaksikan panggung wira-wiri elite politik. Elite politik loncat dari kiri
ke kanan. Putar ke kiri, putar ke kanan. Pindah dari satu partai ke partai
lain. Dipecat dari satu partai pindah ke partai lain. Hari ini berlabuh ke
partai A, besok sudah pindah ke partai B. Ikrar Nusa Bhakti menulis esai
Akrobat Politik di Kompas, Jumat, 25 Agustus 2023, juga menangkap gejala
perpindahan paham politik (political belief) dan tren berpindah haluan
politik. Dan itu semua semata-mata karena gagalnya negosiasi politik.
Negosiasi untuk perjuangan, ”siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana
mendapatkannya”. Khas dengan kredo politik Harold D Lasswell, ilmuwan politik
terkemuka asal Amerika Serikat. Dalam demokrasi dol-tinuku yang mewujud
dalam politik wira-wiri itu, rakyat seakan ditinggalkan. Demokrasi dol-tinuku
kian ketat seiring dengan tingginya ambang batas pencalonan presiden minimal
20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya.
Angka itu berulang kali digugat ke MK dan MK menyatakan bahwa itu adalah open
legal policy. Karena persyaratan ambang batas
pencalonan presiden itulah partai politik mentransaksikan ”karcis politik”
untuk menjadi capres atau cawapres. Parpol meningkatkan posisi tawar dan menempatkan
kadernya menjadi capres atau cawapres atau sejumlah kursi kabinet. Logistik
politik pun jadi negosiasi. Jadi, jika mengutip Winston Churchill, ”Politik
itu bukan permainan. Itu bisnis yang serius.” Saya mengutip Churchill dari
buku Read, Life, Love (2023) yang ditulis Pongki Pamungkas. Ketika politik menjadi begitu
pragmatis dan transaksional, saya teringat pada apa yang pernah dikatakan
Mahatma Gandhi (1869-1948) tentang tujuh dosa sosial. Politik tanpa prinsip,
kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa
nurani, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan
peribadatan tanpa pengorbanan. Dalam situasi politik yang pragmatis
dan transaksional, sangatlah wajar jika rakyat, si empunya kedaulatan, dipinggirkan.
Di Jabodetabek, warga berjibaku mengatasi polusi udara yang tak kunjung
teratasi. Sebagian warga di Sleman, DI Yogyakarta, direpotkan dengan urusan
pembuangan sampah. Dalam Grup Whatsapp Sonjo yang dikelola dosen UGM Rimawan
Pradiptyo, warga berembuk dan mencari cara sendiri bagaimana mengatasi sampah
di sekitarnya. Di daerah terluar, bagaimana warga pinggiran harus berjibaku
menyeberang laut untuk memperoleh akses kesehatan, sementara sinyal telepon
tersendat-sendat karena dananya dikorupsi. Politik wira-wiri belum menjawab
problem kemasyarakatan. Korupsi tetap merajalela dan menggerus modal sosial
bangsa. Di tengah kondisi politik sedang membutuhkan banyak dana, petinggi
hukum malah memerintahkan penghentian pengusutan kasus korupsi yang melibatkan
peserta pemilu sampai Pemilu 2024 usai. Jangan sampai pesan ini ditangkap
sebagai silakan mengambil dana karena tak ada lagi penyelidikan kasus
korupsi. Padahal, dalam sejarahnya, kejahatan keuangan terjadi periodik tiap
lima tahunan. Mulai dari BLBI, Bank Bali, Century, kasus pembobolan Bank BNI
dengan tokoh Maria Pauline Lumowa, dan kejahatan asuransi diduga terjadi
terkait dengan pemilu. Politik wira-wiri bisa mengganggu
konsentrasi elite menyelesaikan masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Politik
wira-wiri bisa mengganggu soliditas pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Setelah capres-cawapres diumumkan dan didaftarkan ke KPU, ada aturan dalam UU
Pemilu yang berbunyi demikian: Pejabat negara yang dicalonkan partai politik
peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon
wapres harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil
presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan
anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan
wakil wali kota. Namun, pasal tersebut telah dikoreksi
oleh MK. MK menanggapi uji materi yang diajukan Partai Garuda dan memutuskan,
menteri yang mau menjadi capres tak perlu mundur tetapi cukup dengan izin
Presiden. Artinya, jika sejumlah menteri
Presiden Jokowi, apakah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri BUMN
Erick Thohir ataukah Menteri Pariwisata Sandiaga Uno maju sebagai capres atau
cawapres, tentunya harus mendapatkan izin Presiden. Potensi konflik
kepentingan terjadi. Konsentrasi kabinet pun bakal terbelah. Kabinet juga akan kurang konsentrasi
seandainya dua menteri dari Partai Nasdem, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Siti Nurbaya serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, ikut
berkampanye. Soliditas kabinet akan hiruk pikuk seandainya ada menteri maju
sebagai caleg seperti Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang maju dari PKB
atau Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dari PDI-P. Rasanya masyarakat sipil perlu
mengisi kekosongan narasi kepublikan, menyusun peta jalan bersama, merumuskan
tantangan bangsa, menyusun agenda bersama, dan meminta partai politik atau
capres menjawab agenda publik yang dibayangkan masyarakat sipil..● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/25/politik-wira-wiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar