Obituari Djoko Pekik Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
DJOKO Pekik dekat dengan
tanah, akrab dengan bumi. Warna dominan dalam kanvas-kanvasnya umumnya
cokelat, dengan hijau menyeling di sana-sini: warna ladang sepanjang hari.
Goresan kuasnya liat, menggumpal, kasar, bukan ornamen. Penghuni kanvas-kanvas itu
adalah wajah dan postur tubuh yang mudah kita jumpai di tepi-tepi sawah di
sebuah dusun di Grobogan, tempat ia dibesarkan. Ia seakan-akan tak
putus-putusnya bercengkerama dengan mereka. Ia bercerita tentang mereka, atau
lebih tepat, bersama mereka: tukang becak, buruh gendong, penari tayub,
tukang listrik, kuli perempuan, penjual trompet, pengamen, anak warung
nasi.... Praktis tiap wajah itu bukan sosok dari luar dunia sang perupa. Ada
ikatan yang autentik antara Pekik dan orang-orang itu. Mereka adalah
catatan-catatan kaki dalam sejarah—sebuah kisah yang jauh di bawah, yang disebut
bukan sebagai fokus percakapan penting. Sering wajah itu, kisah itu, dianggap
dapat diabaikan. Manusia yang lalu-lalang dalam kanvas Djoko Pekik adalah
anarithmoi: orang-orang yang kadang-kadang saja dicatat lembaga sensus, tapi
dalam wacana besar kekuasaan tak dianggap—kecuali sebagai angka. Meskipun
demikian, seperti sejumlah catatan kaki dalam sejarah, mereka itu justru yang
menunjukkan apa yang belum lengkap di sebuah masyarakat yang dibangun dan
dijaga dengan kekuasaan yang mapan. Dalam perspektif ini, yang
disumbangkan Djoko Pekik adalah melanjutkan resistansi: seni rupanya
membalikkan posisi orang-orang yang tak-masuk-hitungan itu menjadi
orang-orang yang tak tergantikan. Dudu sanak, dudu kadhang, yèn mati mèlu
kélangan.... Orang-orang yang bukan keluarga, bukan handai tolan, tapi bila
mereka disingkirkan, kita akan merasa kehilangan. Namun karya-karya Pekik
bukan sebuah parade di mana ia mengambil peran sebagai pelopor atau juru
bicara. Ia “men-jadi” bersama yang bukan sanak, bukan kadhang itu. Ia
berjalan, bekerja, menari bersama mereka, seirama dengan mereka. Karya-karya
lukisnya tak memamerkan keahlian teknis “orang sekolahan”, tak menunjukkan
kehendak memakai keterampilan visualisasi yang rapi seperti kamera modern.
Beberapa lukisannya tentang manusia dalam pertunjukan hiburan di jalanan,
dengan langsung memunggah tata rias teater rakyat dan punakawan dalam wayang
wong. Lanskapnya juga tak muncul dengan perspektif yang persis, yang menandai
kontrol geometris atas ruang—seperti halnya garis-garis tegas yang menandai
penguasaan tanah oleh juragan ladang dan bukit-bukit. Dunia Pekik adalah dunia
manusia di mana warna dan rupa yang murung silih berganti dengan raut muka
dan gerak yang kocak—orang-orang yang menjauh dari ukuran kepatutan dan kebagusan
yang datang dari luar dirinya. Wajah-wajah itu tak
cantik. Karya Pekik dapat
mengingatkan kita pada karya-karya perupa Jerman di tahun 1930-an yang
diharamkan Nazi dan dikecam sebagai Entartete Kunst, “seni rupa bobrok”. Saya
bahkan melihat corak yang paralel kanvas Pekik dengan lukisan Emil Nolde,
salah seorang perupa yang dikutuk Hitler itu. Apabila kanvas-kanvas itu
tak mangayu-bagya yang “indah” dan “molek”, itu agaknya karena tafsir tentang
“indah” dan “molek” sudah lama diartikan sama dengan “lengkap” dan
“harmonis”. Dikukuhkan para penjaga struktur yang mengatur partage du
sensible (saya pinjam istilah Rancière), kelengkapan dan keselarasan yang
jadi syarat “indah” itu pada akhirnya bersifat represif. Menghadapi itulah karya
Djoko Pekik tampil menggugat, atau mengusik, atau mencemooh. Dalam arti
itulah, yang tak-molek di kanvas itu sebuah isyarat ke arah emansipasi dari
sebuah status quo. Tak-cantik itu sebuah pernyataan politik. Tapi karya Pekik bukan
jenis yang sama dengan pembawa “realisme sosialis” dalam sejarah Uni Soviet
dan Republik Rakyat Cina di masa komunisme. Sementara Mao Zedong meletakkan
norma keindahan karya seni sebagai “mendekati yang ideal” dan “lebih
universal ketimbang hidup sehari-hari”, kanvas Djoko Pekik tak demikian.
Goresan kuasnya mengikuti, terkadang pelan terkadang cepat, sesuatu yang
bergetar dalam benda, wajah, lanskap, dan apa saja yang tampak. Bukan karena
pidato politik jika di sana ada vibrasi. Vibrasi itu kita rasakan
dalam Bekas Stasiun Ngabean misalnya: atap, tiang-tiang stasiun, rel kereta
api, bukanlah garis-garis lurus, diam dan stabil. Bukit-bukit di Pantai
Parangtritis, gundukan pasir di Kali Kretek, sampah trompet kertas sehabis
pesta tahun baru, barisan bebek: semua menyiratkan gerak, getar, dengan ritme
yang bermula dari khaos, tak pasti. Yang pasti—atau yang
selalu kembali—adalah kehangatan. Djoko Pekik mengandung api, tapi kanvasnya
selalu dihadiri humor. Tak pernah tegang: karya untuk kita, bersama kita,
menghibur kita, mengingatkan kita. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/marginalia/169494/obituari-djoko-pekik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar