Mengapa Bahasa
Menyediakan Seksisme? Ahmad Hamidi : Alumnus Ilmu Linguistik Universitas
Indonesia |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
PANDANGAN dunia seseorang
terpancar melalui caranya berbahasa, apa yang dibahasakan, dan konstruksi
bahasa yang digunakannya dalam merespons realitas. Peradaban manusia kepalang
dibangun dalam tatanan berpikir patriarkis, yang muncul dalam bahasa yang
seksis, yakni bahasa yang merepresentasikan laki-laki dan perempuan secara
tidak setara. Seorang suami yang
berkata, “Gini nih enaknya udah nikah. Ada yang bisa buatkan kopi,
he-he-he...,” sangat mungkin memandang menyeduh kopi sebagai tugas yang hanya
pantas dikerjakan istrinya. Sekalipun si suami berupaya menutup perkataannya
dengan tawa, paradigma patriarkis di belakangnya tidak tersamarkan sedikit
pun. Perkataan itu memperlihatkan bahwa di dalam kepala si suami telah
tersedia dua keranjang tugas domestik yang dibedakannya berdasarkan peran
gender. Kaum perempuan tidak perlu
seketika ngamuk-ngamuk kepada kaum laki-laki. “Penyakit genetik” ini juga
diidap oleh kaum perempuan. Persoalan seksisme bukan tentang siapa dan apa
jenis kelamin pelakunya. Persoalannya berada dalam wilayah pikiran dan cara
pandang komunal. Masyarakatlah yang telah membuatnya bernapas panjang dan
terinternalisasi ke dalam diri setiap orang lintas generasi. Saya duga Anda tidak akan
kesulitan bertemu dengan perempuan yang berpikir dan berbahasa seksis
terhadap kaumnya sendiri. Dalam keluarga, saya anak laki-laki di antara tiga
anak perempuan. Tiap kali saya merasa sebal terhadap salah satu saudara saya,
ada saja saudara yang lain mengingatkan, “Namanya juga perempuan, ya, pasti
nyinyir.” Nyinyir, cerewet, dan kata-kata lain yang semedan makna dengannya
kepalang “pasti” dilekatkan pada perempuan. Padahal menjadi orang nyinyir
merupakan hak hidup yang boleh diambil oleh siapa pun dan apa pun jenis
kelaminnya. Seksisme berbahasa ibarat
tarikan napas. Ia mengendap di lapis terbawah kesadaran manusia.
Keberadaannya acap kali tidak disadari oleh penuturnya. Itulah penghambat
bagi sebagian dari kita untuk melepaskan diri dari kerangkeng seksisme.
Tahu-tahu manusia telah melintasi zaman bersamanya. Yang lebih buruk, ada
kerangkeng di dalam kerangkeng setelah negara melembagakan seksisme melalui
berbagai perangkatnya. Entri perempuan memang telah memantik kesadaran
kolektif dan memaksa Badan Bahasa mengubah definisinya. Namun itu cuma satu
di antara sekian banyak persoalan serupa yang masih tersadai dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Mau contoh? Buka tersadai dalam KBBI. Lihat
definisi terakhir. Mengapa hanya merujuk pada “gadis”? Kata Badan Bahasa,
sih, mereka menyerap berdasarkan “korpus yang tersaji apa adanya, tanpa ada
modifikasi apa pun”. Kalau begitu, bagaimana dengan contoh penggunaan kata
dalam kalimat? Diserap berdasarkan fakta kebahasaan masyarakat juga? Berdasarkan definisi,
entri cemburu netral, yakni “kurang percaya; curiga (karena iri hati)”. Pada
contoh penggunaannya disuratkan: “istrinya selalu -- kalau suaminya pulang
terlambat”. Siapa yang cemburu? Istri. Seolah-olah hanya perempuan yang punya
perasaan cemburu, laki-laki tidak. Demikian halnya dengan cengeng.
Definisinya netral tapi contoh kalimatnya bias. Cengeng didefinisikan (1)
“mudah menangis; suka menangis, (2) “mudah tersinggung (terharu dan
sebagainya)”, dan (3) “lemah semangat; tidak dapat mandiri”. Salah satu
contoh penggunaannya berbunyi: “gadis remaja biasanya lebih -- daripada pria
dalam menghadapi suatu kejadian”. Nah! Tanpa istrinya dan gadis
remaja sebagai subyek contoh, definisi entri sama sekali tidak akan bias.
Saya pikir Badan Bahasa tidak kekurangan referensi dalam menyajikan contoh.
Andaikata benar mereka kesulitan menampilkan contoh yang netral, saya bantu
usul: “Ia selalu -- kalau pasangannya pulang terlambat” untuk cemburu dan
“Anak itu memang lebih -- daripada saudaranya dalam menghadapi suatu
kejadian” untuk cengeng. Ketika diproduksi, bahasa
merupakan produk budaya. Ketika dipergunakan, bahasa menjadi produk sosial.
Ketika dilembagakan, bahasa adalah alat kontrol. Bahasa memang hidup
bersama masyarakat pada mulanya. Dalam lingkungan sosial pemuda Minangkabau
kontemporer, ada istilah maolah cewek (bahasa Indonesia: mengolah cewek).
Bayangkanlah, betapa pasif perempuan dipandang dan diperlakukan, seolah-olah
data yang dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Maolah
cewek berarti mempengaruhi, mengiming-imingi, mengendalikan, menundukkan,
menaklukkan, mengalahkan, bahkan menghabisi. Siapa pelakunya? Jelas cowok,
dong. Maolah cewek adalah saudara tua bungkus dalam bahasa kolokial pemuda
Ibu Kota. Diolah dulu, dibungkus kemudian. Perempuan dipandang persis seperti
jajanan ringan di pasar. Kalau dicari-cari, pujian
pun dapat menjerumuskan penuturnya ke lembah seksisme. Tuturan “Hebat, ya,
kamu. Perempuan motoran sendirian lewat sana. Malam-malam lagi.” memang
berintensi positif, yakni memuji keberanian si perempuan. Namun bukankah
tuturan itu berangkat dari bias pikir bahwa perjalanan demikian hanya normal
dilakukan laki-laki? Karena pelakunya perempuan, ia jadi pantas dipuji. Yang terhangat, ketua
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana, meminta
kuasa hukum aktivis Haris dan Fatia, Ronald Siahaan, melantangkan suara
dengan mengatakan, “Ini Saudara suaranya, kan, seperti perempuan gitu loh.”
Seorang hakim pun bahkan gagal memberikan keadilan sejak dalam pikiran.
Namun, untuk yang satu ini, saya belum tahu apakah itu murni seksisme atau
ada intensi “mempekerjakan” seksisme untuk mengintimidasi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/169510/bahasa-seksis |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar