Lebih Sulit Dahlan Iskan : Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 13 Juli 2022
ADA
pertanyaan di Google. Tentu dalam bahasa Inggris: mengapa harga minyak sawit
jatuh? Jawab
Google: "Harga CPO turun lebih dari USD 300/ton akibat perubahan
kebijakan di Indonesia yang mendorong ekspor dengan cara mengurangi
pungutan-pungutan ekspor. Besarnya produksi sawit Indonesia akan terus
memberikan tekanan pada harga CPO". Jawaban
itu kelihatannya dicomot dari publikasi Fitch Rating, dengan topik harga CPO
akan terus turun. Maka
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dalam kapasitasnya sebagai ketua umum
Partai Amanat Nasional (PAN), bisa membagi-bagi minyak goreng di Lampung. Dengan
harga hanya Rp 10.000. Itu untuk 2 liter. Pun uangnya tidak usah dibayarkan.
Ia minta disimpan saya di kantong masing-masing. Sudah ada yang membayari:
putri Zulkifli yang kelihatannya akan maju sebagai calon anggota DPR. Sang
Putri berdiri dari kursi. Tepuk tangan menggemuruh. Anda
sudah tahu siapa Sang Putri: Futri Zulya Savitri. Yang lebih dikenal sebagai
istri Mumtaz Rais. Yang kian terkenal setelah Februari lalu mengajukan
gugatan cerai. Gugatan itu rupanya tidak terlalu lancar. Sampai sekarang
masih berproses. Futri
lulusan bisnis manajemen ITB yang lantas melanjutkan S-2 di Australia. Ia
anak pertama. Dari 4 anak Mendag. "Pilihlah dia. Tiap dua bulan ada
begini lagi," kata Mendag. Rupanya
tidak hanya Iduladha yang cepat datang lagi hanya selisih waktu satu hari.
Harga minyak sawit juga begitu cepat berputar. Dari roda atas ke bawah. Hanya
lewat satu kebijakan sapujagad: lewat publikasi resmi video kepresidenan. Sejak
larangan ekspor itu, stok CPO memang melimpah. Untuk menggalakkan ekspor lagi
perlu waktu. Mungkin lebih panjang dari yang disangka. Harga CPO turun
sekitar 35 persen. Dalam sekali. Itu membuat eksporter kurang bersemangat. Ada
juga penyebab lain. Waktu ekspor itu dilarang banyak kapal mengalihkan diri
ke negara lain. Kapal itu mahal. Tidak boleh menganggur. Pun hanya satu hari.
Apalagi sampai 1 bulan. Kini tidak mudah lagi mencari kapal untuk ekspor.
Setidaknya begitulah keterangan
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy
Martono kepada media pekan lalu. Dengan
stok CPO yang melimpah di dalam negeri Anda pun tahu: harga buah sawit jatuh.
Giliran petani sawit kelimpungan. Suara petani dari seluruh penjuru kebun
seragam: ampun-ampun. Tidak ada lagi petani yang bisa menjual di atas Rp
1.000/kg. Bahkan ada yang hanya Rp 500/kg. Padahal
harga pupuk tidak bisa turun. Harga pupuk selalu terkait dengan harga minyak
bumi dan gas –yang kini lagi tinggi-tingginya. Petani
sawit pernah berterima kasih atas bantuan sertifikasi lahan. Dengan demikian
lahan bisa dijaminkan ke bank. Petani pun banyak yang ambil kredit di bank.
Itulah yang mereka takutkan dari penurunan harga ini. Kalau terlalu lama. Ada
tanggungan bank. Tapi
gambaran dari Eddy Martono belum ada yang menggembirakan. Justru sebaliknya:
"Sekarang ini ada 68 pabrik kelapa sawit yang berhenti
berproduksi," ujar Eddy. Syukurlah
Mendag Zulkifli terus menyerukan agar PKS membeli buah sawit dengan harga
Rp1.600/kg. Petani masih bisa berharap siapa tahu anjuran itu manjur. Tapi
petani juga tahu. Seruan itu hanya seperti melukis di air keruh. Lukisannya
tidak jadi keruhnya yang bertambah. "Harga
beli Rp 1.600 itu baru bisa terjadi kalau harga CPO Rp 8.000/kg. Padahal
harga CPO sekarang hanya Rp 6.000," ujar Eddy. Maka
begitu sulit menyeimbangkan antara kepentingan konsumen minyak goreng dan
petani produsen sawit. Hanya suara konsumen minyak goreng biasanya lebih
nyaring tersiar di media. Anda
pun masih ingat: tidak mudah menurunkan harga minyak goreng waktu itu. Sampai
membawa korban dicopotnya menteri perdagangan yang Anda melarang saya
menyebutkan namanya itu. Kini,
memperbaiki harga jual petani sawit kelihatannya lebih sulit lagi. Mungkin
tidak akan bisa hanya dengan satu
video. Perlu lima. Lima-limanya sapujagad. Ada unsur harga pupuk dan kimia di
dalamnya. Jangan-jangan sampai perlu diterbitkan kartu MyPupuk bagi petani
sawit. Harga
pupuk memang sulit diturunkan. Sepanjang kita masih terus mengandalkan pupuk
kimia, harganya akan terus terkait dengan harga migas. Saya
sudah bicara dengan banyak petani. Juga pengusaha. Sejauh ini belum muncul
usulan yang cespleng –yang bisa memperbaiki harga beli buah sawit dalam waktu
singkat. Semua muara masih ke ekspor itu. Apakah
ada eksporter yang ngambek? Masih marah dengan larangan tiba-tiba itu? Sampai
ada yang harus jadi tersangka? Kelihatannya
tidak. Keinginan ngambek selalu kalah sama cuan. Jadi memang lebih sulit.
Apalagi kali ini, soal petani sawit ini, kita tidak bisa menyalahkan perang
di Ukraina. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar