Stunting dan Masa Depan
Indonesia
Marzuki Wahid : Rektor
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon
SINDONEWS,
13 Juli 2022
Stunting–– yang dulu disebut “anak
kerdil”––masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi bangsa Indonesia. Pada
2021 lalu, prevalensi stunting masih di angka 24,4% (SGGI, 2021) atau sekitar
5,33 juta balita stuned. Meskipun prevalensi ini mengalami penurunan dari
tahun-tahun sebelumnya, fakta ini tidak bisa dipandang enteng. Saat ini
prevalensi stunting di Indonesia lumayan lebih baik bila dibandingkan dengan
Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi daripada Vietnam (23%), Malaysia
(17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Ini agenda besar yang tidak bisa
dikerjakan sambil lalu. Kita tahu,
stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun
(balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi
psikososial yang tidak memadai. Ini terjadi terutama dalam 1.000 hari pertama
kehidupan (HPK), yakni mulai dari janin hingga anak berusia dua tahun. Masalah Multidimensi Stunting
memang masalah kesehatan, tetapi sebab dan akibatnya tidak melulu soal
kesehatan. Penyebab langsung tentu saja kekurangan gizi kronis, infeksi
berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Namun penyebab tidak
langsungnya bisa karena ketidaktahuan, akses pelayanan kesehatan yang sulit
dijangkau, sanitasi yang buruk, anggaran yang tidak memadai, ketidakpedulian
sosial, dan juga komitmen pemerintah yang kurang kuat. Dengan begitu
stunting adalah masalah multidimensi. Tidak hanya berdampak pada gangguan
kesehatan fisik, stunting juga menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang tidak
baik sehingga mudah sakit. Lebih dari itu stunting juga mengganggu kesehatan
jiwa dan perkembangan otak, berpotensi memiliki tingkat kecerdasan di bawah
rata-rata dan berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Jika tidak
segera diturunkan hingga batas minimal 20% dalam standar WHO atau seperlima
dari jumlah total anak balita, cepat atau lambat stunting akan menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan
sosial yang pada akhirnya akan memengaruhi kualitas demokrasi kita. Bonus
demografi yang hendak kita rayakan pada tahun 2030–2035 bisa jadi gagal
panen. Jurus Pemerintah Presiden
Jokowi sebetulnya telah mengantisipasi kemungkinan buruk ini dengan
memasukkan program pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025 (UU Nomor 17 Tahun 2007), yakni terjaminnya
ketersediaan pangan yang meliputi produksi, pengolahan, distribusi, dan
konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup diharapkan dapat menurunkan
prevalensi kekurangan gizi pada kantong-kantong stunting dalam wilayah
Indonesia. Presiden
Jokowi juga sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini diadopsi dari Strategi Nasional
Percepatan Penurunan stunting yang dirumuskan pada 2018. Bahkan Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana
percepatan penurunan stunting telah menetapkan Rencana Aksi Nasional
Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN-PASTI) 2021–2024 (Peraturan BKKBN
Nomor 12 Tahun 2021). Di sini tampak
sekali pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai program
prioritas pemerintah. Pada 2022 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran
negara sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung penurunan stunting. Rp34,1
triliun tersebar pada 17 kementerian serta lembaga dan Rp8,9 triliun
dibagikan ke pemerintah daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik serta
Rp1,8 triliun untuk DAK Nonfisik. Sebetulnya
upaya percepatan pencegahan stunting yang dikomandani Wakil Presiden RI
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Terjadi penurunan angka prevalensi
stunting dari tahun ke tahun. Jika pada awal pelaksanaan Stranas tahun 2018
angka prevalensi stunting berada pada 30,8% (Riskesdas, 2018), maka pada 2019
turun ke level 27,7% (SSGI, 2019) dan pada 2021 angka prevalensi stunting
nasional turun ke level 24,4% (SSGI, 2021). Dengan demikian telah terjadi
penurunan 6,4% selama 2018–2021. Komitmen pemerintah
pun sangat ambisius, prevalensi stunting harus turun pada 14% di tahun 2024.
Ini artinya prevalensi stunting harus turun 10,4% poin dalam 2,5 tahun ke
depan. Mungkinkah akan tercapai? Perlunya Konvergensi dan Kolaborasi Tercapai atau
tidaknya target 14% pada tahun 2024 tergantung pada ketercapaian lima pilar
berikut. Pertama, apakah komitmen para pemimpin pemerintahan di tingkat
pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa/kelurahan semakin meningkat atau
tidak untuk menurunkan stunting. Kedua, apakah komunikasi perubahan perilaku
kepada masyarakat sasaran semakin efektif atau tidak dalam mengedukasi
pentingnya bebas dari stunting. Ketiga, apakah intervensi spesifik dan
intervensi sensitif semakin konvergen dan tepat sasaran atau tidak hingga ke
masyarakat sasaran di desa-desa yang terpencil, terdalam, dan terluar. Keempat,
apakah ketahanan pangan dan gizi di daerah-daerah kantong stunting semakin
meningkat atau tidak. Kelima, apakah sistem, data, informasi, riset, dan
inovasi tentang stunting akurat dan dipakai secara efektif atau tidak dalam
menurunkan stunting. Tambahan, apakah semua pilar ini betul-betul menyasar
pada lima kelompok sosial prioritas atau tidak; yakni remaja, calon
pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0–59 (lima puluh
sembilan) bulan. Selain itu,
untuk mempercepat penurunan stunting, pemerintah harus fokus pada
provinsi-provinsi dengan prevalensi tertinggi dan provinsi-provinsi dengan
jumlah stunting terbesar. Berdasarkan SSG 2021, ada 7 provinsi dengan prevalensi
stunting tertinggi, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Sementara provinsi dengan jumlah
stunting terbesar ada 5, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera
Utara, dan Banten (SSGI, 2021). Jika dalam 2,5
tahun ini implementasi lima pilar tidak ada progres dan peningkatan, jutaan
anak kerdil di masa mendatang sangat mungkin menghiasi kehidupan bangsa
Indonesia. Menurut saya, target ambisius ini tidak akan tercapai jika hanya
pemerintah sebagai aktor tunggal dalam penanganan stunting. Sekuat apa pun
komitmen pemerintah dan sebanyak apa pun anggaran yang digelontorkan, jika
tidak ada dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat, perguruan tinggi,
sektor swasta, dan media (pentahelix stakeholders), rasanya sulit terwujud. Di sinilah stunting harus
menjadi keprihatinan kita bersama, keprihatinan kemanusiaan, keprihatinan
masa depan bangsa, dan bagian dari problem besar manusia dalam mewujudkan
kehidupan yang berkualitas. Stunting tidak cukup hanya menjadi program
prioritas pemerintah, tetapi harus menjadi program prioritas bangsa.
Keterlibatan semua pihak dalam penanganan stunting mutlak adanya. Partisipasi
semua pihak akan sangat memengaruhi ketercapaian target prevalensi 14% pada tahun
2024. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar