Pemberantasan Korupsi
dan Perampasan Aset
Romli Atmasasmita : Guru Besar
Emeritus Universitas Padjadjaran
SINDONEWS,
13 Juli 2022
KORUPSI telah
diakui merupakan kejahatan internasional, bukan kejahatan nasional ataupun
transnasional. Masyarakat bangsa-bangsa di dunia telah sepakat menetapkan
konvensi internasional menentang korupsi—UN Covention Against Corruption
(2003) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7
Tahun 2006. Jauh sebelum
konvensi, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan UU Anti-Korupsi, yakni
sejak 1971 dengan perubahannya hingga 2001. Upaya pemerintah tersebut
dilanjutkan dengan perubahan objek sasaran yaitu terhadap aset-aset hasil
korupsi berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. UU ini
merupakan landasan hukum untuk tujuan mencari alur aliran dana hasil
kejahatan akan tetapi tidak dapat secara maksimal merampas harta
benda/kekayaan pelaku kejahatan. Terdapat 23 kejahatan asal (predicate
offence) dari pencucian uang. Baik korupsi maupun pencuciang uang menggunakan
pendekatan yang sama, yaitu pendekatan pidana (penal measure) yang bersumber
pada paham positivisme hukum dan mengutamakan asas legalitas. Sedangkan
modus operandi korupsi terdapat 23 jenis tindak pidana. Adapun pencucian uang
terdapat tiga kelompok modus operandi yang meliputi, placement (penempatan),
layering (pelapisan) atau penyamaran, dan integration (mencampurbaurkan) hasil
23 jenis kejahatan. Modus operandi pencucian uang selalu besifat lintas
teritorial (transnasional) dan mengakibatkan hambatan serius dalam hubungan
kerja sama antarnegara, terutama dalam hal bantuan timbal balik (mutual
assistance in criminal matters) dan penyerahan buron kejahatan antarnegara
(ekstradisi). Hambatan
tersebut diperparah lagi dengan perbedaan sistem hukum antarnegara, khusus
antara sistem hukum civil law dan common law. Dapat disimpulkan bahwa
heterogenitas sistem hukum dan sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi
membuat mustahil ada suatu indeks persepsi korupsi (IPK) yang sama dan dapat
dipergunakan secara universal. Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
membuat indeks korupsi sendiri (nasional) sesuatu karya yang patut dibanggakan
di tengah-tengah globalisasi dunia saat ini. Baik dari
tinjauan aspek sosiologis, geografi, budaya, sistem hukum yang berbeda-beda
antarbangsa ada parameter tersendiri mengenai penilaian indeks korupsi dan
itu merupakan suatu kemajuan yang kita patut apresiasi. Dalam peta masalah
pemberantasan korupsi khususnya dan peta masalah kejahatan pada umumnya di
Indonesia, hampir dapat dipastikan 99% hasil kejahatan mengalir ke beberapa
kerabat, kawan, atau orang lain atau korporasi kawan pelaku kejahatan.
Sehingga, dalam hal tindak pidana pencucian uang di Indonesia terdapat 23
jenis tindak pidana asal (predicate offence) terkait pecucian uang yang masih
memerlukan dukungan teknologi siber yang memadai untuk melayani 34 provinsi
mulai tingkat kecamatan, hingga kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Kebijakan
pemberantasan korupsi dan pencegahan serta pemberantasan pencucian uang
memerlukan dukungan anggaran biaya yang sangat besar, kira-kiran ¼ dari dana
APBN. Pencegahan dan pemberantasan pencucian uang harus bersifat
komprehensif, tepat guna, dan efisien yang dapat memulihkan kerugian keuangan
negara akibat dari dua tindak pidana tersebut. Peningkatan sumber daya
manusia (SDM) di setiap instansi penegak hukum termasuk PPNS serta sistem
pengawasan aparatur penegak hukum dari pusat ke daerah juga harus diperkuat
dan ditingkatkan dengan mekanisme “stick and carrot” atau “reward and
punishment” yang efektif dan efisien serta dilaksanakan secara tegas tanpa
pilih bulu. Pertanyaan
aspek hukum yang sering menjadi pertanyaan masyarakat khususnya para ahli
hukum, apakah pencucian uang merupakan perbuatan berlanjut (voorgezette
handling) dihubungkan dengan tindak pidana korupsi (tipikor)? Berdasarkan
urutan peristiwa, tipikor merupakan predicate offence/kejahatan asal dari
pencucian uang sehingga jelas hubungan keduanya merupakan perbuatan
berlanjut. Bagaimana
dengan pertanyaan, apakah pencucian uang merupakan perbuatan yang berdiri
sendiri? Merujuk ketentuan Pasal 65 KUHP dan mengingat kualitas pencucian
uang yang memerlukan kejahatan asal (predicate offence), maka tidak mungkin
kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan (delik) yang berdiri sendiri;
kecuali digunakan beban pembuktian terbalik terhadap pemilik harta kekayaan.
Dalam hal ini, contoh A yang memiliki harta kekayaan menurut data PPh
melebihi secara signifikan, dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah,
maka pemilik yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya
adalah sah. Jika A tidak dapat membuktikan keabsahan harta kekayaannya, maka
patut diduga itu berasal dari kejahatan, dan karenanya dapat dilakukan
perampasan aset. Pola
penindakan tersebut dapat dilaksanakan jika menggunakan (RUU) Perampasan Aset
dengan model civil based forfeiture. Pola criminal-based asset forfeiture
yang digunakan selama ini dalam praktik tidak akan berhasil dengan tuntas
mengembalikan harta kekayaan negara yang dimiliki pelaku kejahatan (predicate
offence). Sampai saat ini (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana belum
diundangkan. Padahal, seharusnya segera disahkan untuk melengkapi
kelemahan-kelemahan, baik pada UU Tipikor maupun UU Pencucian Uang. Melihat
perkembangan tindakan terorisme saat ini di Indonesia, maka semakin penting
UU Perampasan Aset Tindak Pidana. Hal ini mengingat banyak organisasi
kemanusiaan yang diduga berhubungan dengan kegiatan teroris seperti Haszi dan
terakhir ACT yang diduga telah melakukan “bantuan kemanusiaan” kepada
organisasi teroris di Suriah. Sepanjang terkait pendanaan untuk kegiatan
terorisme lintas batas teritorial, maka tingkat kesulitan semakin besar jika
tidak dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang melarang pendanaan
terorisme dan bantuan hukum timbal balik masalah pidana dan ekstradisi. Pelacakan sumber dan asal usul
pendanaan sampai dengan alur pendanaan diterima oleh organisasi terkait
terorisme di negara lain merupakan tugas lanjutan pemberantasan tindak pidana
terorisme dan pendanaan terorisme. Ini memerlukan kerja ekstra dari
pemerintah khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan
Densus 88 Mabes Polri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar