NFT
Kompas dan Masa Lalu Selalu Aktual Tajuk
Ignatius Haryanto:
Pernah Mengajar Sejarah Jurnalistik 2008-2018
di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong |
KOMPAS, 12 Juli 2022
Tiba-tiba
kita disadarkan bahwa kekayaan jurnalistik pada masa lalu bisa ”dibangkitkan”
kembali dengan adanya non-fungible token, dan bentuk baru dari liputan masa
lalu tersebut bisa menjadi suatu benda yang kemudian bisa dikoleksi dan
diperjualbelikan. Harian
Kompas mendapatkan momentum dengan ulang tahun ke-57 pada 28 Juni 2022.
Beberapa surat kabar di dunia juga sudah masuk ke dunia non-fungible token
(NFT) ini, misalnya New York Times dan Washington Post. Lima
puluh tujuh NFT Kompas sudah dilepas dan hampir semua sudah menemui para
pemiliknya. Yang menarik untuk diperbincangkan di sini adalah NFT memiliki
cara baru untuk membuat hal-hal bersejarah, hal-hal yang bermakna, bisa
tampil kembali ke publik, mungkin publik yang berbeda dibandingkan dengan
saat liputan atau karya jurnalistik itu pertama kali menemui pembacanya. ”Harta
karun” informasi Mantan
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, almarhum Polycarpus Swantoro, pernah menulis
buku yang diberi judul Masa Lalu Selalu Aktual (2007), dan judul tersebut
hari ini makin menjadi bermakna karena teknologi NFT memungkinkan masa lalu
kembali digali dan ditampilkan lagi. Menurut
saya, Kompas bisa menambang NFT ke depannya karena Kompas memiliki sistem
dokumentasi yang terbaik dalam industri media saat ini. Seluruh koran Kompas
sejak tahun 1965 sudah terdigitalisasi, demikian juga foto-fotonya, sehingga
semua ini menjadi ”harta karun”—bahasa dari seorang pembicara soal NFT Kompas
di Twitterspace, 24 Juni 2022. Kesadaran
akan sejarah saya kira juga berakar pada dua sosok pendiri Kompas, Petrus
Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Keduanya mantan guru sejarah, sebelum penuh
waktu masuk ke dunia jurnalistik. Di
Kompas ada sejumlah sejarawan di antara para jurnalisnya dan ini membuat
ingatan masa lalu terawat dengan baik. Beberapa
tahun sebelum fenomena NFT ini muncul, Kompas pernah menampilkan sejumlah
laporan dari masa lalu yang kemudian diperkaya dengan banyak penjelasan masa
kini (50 Tahun Kompas Memberi Makna, 2015), mulai dari jatuhnya Presiden
Soekarno, pemakaman tujuh pahlawan revolusi, peristiwa Supersemar tahun 1966,
hingga saat pemilihan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014. Becermin
dari sejarah Bicara
tentang koran yang mengabadikan peristiwa bersejarah, koran New York Times
pada 2009 menerbitkan sebuah buku raksasa berukuran 30 cm x 38 cm x 5 cm
dengan berat empat kilogram yang berjudul The New York Times: The Complete
Front Pages 1851-2009. Dari
buku tersebut kita akan melihat bagaimana evolusi sebuah koran Amerika yang
kini berusia 171 tahun (persis tiga kali usia Kompas hari ini), mulai dari
koran yang penuh dengan isi tulisan saja, kemudian menggunakan gambar dan
foto hitam putih di halaman depan. Selanjutnya,
ketika foto berwarna sudah dimungkinkan, teknologi ini pun dipergunakan,
hingga masa ketika foto-foto bersejarah muncul juga turut mengubah wajah
halaman depan sebuah koran. Buku
ini juga dilengkapi dengan tiga buah CD-ROM yang betul-betul menampilkan
halaman pertama koran New York Times selama 158 tahun hidup-nya. Bahkan, pada
periode awal Oktober 1965, kita pun akan melihat liputan koran ini terhadap
peristiwa kudeta gagal di Jakarta. Kemudian, pada edisi 22 Mei 1998 kita juga
melihat peristiwa pergantian Presiden Soeharto, menyusul kerusuhan sebelumnya
di bulan sama. Masa
lalu akan selalu aktual ketika kita bisa mencari kaitan apa yang terjadi di
masa lalu dengan hari ini. Masa lalu juga tempat untuk kita becermin,
mematutkan diri, dan menyiapkan diri menuju ke depan. Ibarat kendaraan
bermotor, kita biasanya akan melihat ke kaca spion untuk melihat ke belakang
sebelum maju ke depan. Apakah
di era digital seperti sekarang sejarah kehilangan relevansinya? Ternyata
tidak. Dalam buku yang diedit Toni Weller, History in the Digital Age (2013),
sejarah selalu punya cara tertentu untuk bisa relevan dikonsumsi publik pada
setiap masa. Dalam buku tersebut, Luke Tredinnick, pengajar di London
Metropolitan University, menulis bagaimana menulis sejarah hari ini merupakan
pengalaman me-remediasi pengalaman bersejarah. Untuk
Jim Mussell, pengajar dari Universitas Birmingham, dalam buku yang sama,
menyebut sejarah sebagai praktik digital, atau juga Mark Sandle, sejarawan
dari The King’s University College, Edmonton, Kanada, yang menyebutkan bahwa
mempelajari sejarah hari ini bisa bermula dari pengalaman sebagai turis
kemudian beralih menjadi seorang penjelajah. Pendeknya, dalam era digital pun
sejarah tetap bermakna. Sejarah
adalah fenomena yang tak akan terpisah dengan apa yang terjadi hari ini dan
hari mendatang. Semua peristiwa memiliki peristiwa awalnya yang menjelaskan
duduk masalahnya, rangkaian peristiwa dan di dalamnya terkait dengan para
aktor yang terlibat. Para aktor memiliki porsi masing-masing dalam tiap
momentum bersejarah. Menemui
pembaca baru Beruntunglah
Kompas sudah lama mempersiapkan Pusat Informasi Kompas (sekarang bernama
Kompas Data) yang menyimpan data Kompas yang sudah makin menggunung, berikut
tempat penyimpanan yang memadai. Itu semua adalah kekayaan yang kembali
ditampilkan kepada publik. Pertimbangan
ekonomis mungkin akan menyertai kemunculan NFT Kompas ini, tetapi yang perlu
tetap diingat adalah hendaknya pertimbangan ekonomi menjadi alasan kesekian
untuk menampilkan NFT itu. Pertimbangan paling utama adalah bagaimana
peristiwa bersejarah di masa lalu menemui pembaca baru, dan pembaca ini bisa
membaca dengan cara yang baru pula. Siapa
tahu ke depan NFT Kompas akan menampilkan tulisan pertama almarhum PK Ojong
dalam rubrik Kompasiana-nya, atau tulisan pertama Jakob Oetama, atau juga
tajuk rencana Kompas dalam sejumlah peristiwa penting. Atau jepretan para
fotografer Kompas yang legendaris, seperti Kartono Ryadi dan Julian
Sihombing, juga akan bisa dinikmati dalam bentuk NFT. Juga
edisi pertama karikatur GM Sudarta, komik Panji Koming, Tomat, Mice, ataupun
Sukribo. Tentu saja dengan syarat urusan yang terkait dengan masalah hak
kekayaan intelektual sudah dibahas tuntas dengan pihak-pihak terkait. NFT
sebagai suatu temuan baru mungkin masih mencari bentuk dan penggunanya. Meski
demikian, Kompas telah memiliki modal besar jika NFT dijadikan strategi untuk
”mengabadikan masa lalu” atau mencari pembaca baru yang punya tafsir-tafsir
baru yang berbeda dengan ketika teks itu pertama ditampilkan● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/08/nft-kompas-dan-masa-lalu-selalu-aktual |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar