Rabu, 13 Juli 2022

 

NFT Kompas dan Masa Lalu Selalu Aktual Tajuk Ignatius Haryanto: Pernah Mengajar Sejarah Jurnalistik 2008-2018 di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

KOMPAS, 12 Juli 2022

 

                                                

 

Tiba-tiba kita disadarkan bahwa kekayaan jurnalistik pada masa lalu bisa ”dibangkitkan” kembali dengan adanya non-fungible token, dan bentuk baru dari liputan masa lalu tersebut bisa menjadi suatu benda yang kemudian bisa dikoleksi dan diperjualbelikan.

 

Harian Kompas mendapatkan momentum dengan ulang tahun ke-57 pada 28 Juni 2022. Beberapa surat kabar di dunia juga sudah masuk ke dunia non-fungible token (NFT) ini, misalnya New York Times dan Washington Post.

 

Lima puluh tujuh NFT Kompas sudah dilepas dan hampir semua sudah menemui para pemiliknya. Yang menarik untuk diperbincangkan di sini adalah NFT memiliki cara baru untuk membuat hal-hal bersejarah, hal-hal yang bermakna, bisa tampil kembali ke publik, mungkin publik yang berbeda dibandingkan dengan saat liputan atau karya jurnalistik itu pertama kali menemui pembacanya.

 

”Harta karun” informasi

 

Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, almarhum Polycarpus Swantoro, pernah menulis buku yang diberi judul Masa Lalu Selalu Aktual (2007), dan judul tersebut hari ini makin menjadi bermakna karena teknologi NFT memungkinkan masa lalu kembali digali dan ditampilkan lagi.

 

Menurut saya, Kompas bisa menambang NFT ke depannya karena Kompas memiliki sistem dokumentasi yang terbaik dalam industri media saat ini. Seluruh koran Kompas sejak tahun 1965 sudah terdigitalisasi, demikian juga foto-fotonya, sehingga semua ini menjadi ”harta karun”—bahasa dari seorang pembicara soal NFT Kompas di Twitterspace, 24 Juni 2022.

 

Kesadaran akan sejarah saya kira juga berakar pada dua sosok pendiri Kompas, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Keduanya mantan guru sejarah, sebelum penuh waktu masuk ke dunia jurnalistik.

 

Di Kompas ada sejumlah sejarawan di antara para jurnalisnya dan ini membuat ingatan masa lalu terawat dengan baik.

 

Beberapa tahun sebelum fenomena NFT ini muncul, Kompas pernah menampilkan sejumlah laporan dari masa lalu yang kemudian diperkaya dengan banyak penjelasan masa kini (50 Tahun Kompas Memberi Makna, 2015), mulai dari jatuhnya Presiden Soekarno, pemakaman tujuh pahlawan revolusi, peristiwa Supersemar tahun 1966, hingga saat pemilihan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014.

 

Becermin dari sejarah

 

Bicara tentang koran yang mengabadikan peristiwa bersejarah, koran New York Times pada 2009 menerbitkan sebuah buku raksasa berukuran 30 cm x 38 cm x 5 cm dengan berat empat kilogram yang berjudul The New York Times: The Complete Front Pages 1851-2009.

 

Dari buku tersebut kita akan melihat bagaimana evolusi sebuah koran Amerika yang kini berusia 171 tahun (persis tiga kali usia Kompas hari ini), mulai dari koran yang penuh dengan isi tulisan saja, kemudian menggunakan gambar dan foto hitam putih di halaman depan.

 

Selanjutnya, ketika foto berwarna sudah dimungkinkan, teknologi ini pun dipergunakan, hingga masa ketika foto-foto bersejarah muncul juga turut mengubah wajah halaman depan sebuah koran.

 

Buku ini juga dilengkapi dengan tiga buah CD-ROM yang betul-betul menampilkan halaman pertama koran New York Times selama 158 tahun hidup-nya. Bahkan, pada periode awal Oktober 1965, kita pun akan melihat liputan koran ini terhadap peristiwa kudeta gagal di Jakarta. Kemudian, pada edisi 22 Mei 1998 kita juga melihat peristiwa pergantian Presiden Soeharto, menyusul kerusuhan sebelumnya di bulan sama.

 

Masa lalu akan selalu aktual ketika kita bisa mencari kaitan apa yang terjadi di masa lalu dengan hari ini. Masa lalu juga tempat untuk kita becermin, mematutkan diri, dan menyiapkan diri menuju ke depan. Ibarat kendaraan bermotor, kita biasanya akan melihat ke kaca spion untuk melihat ke belakang sebelum maju ke depan.

 

Apakah di era digital seperti sekarang sejarah kehilangan relevansinya? Ternyata tidak. Dalam buku yang diedit Toni Weller, History in the Digital Age (2013), sejarah selalu punya cara tertentu untuk bisa relevan dikonsumsi publik pada setiap masa. Dalam buku tersebut, Luke Tredinnick, pengajar di London Metropolitan University, menulis bagaimana menulis sejarah hari ini merupakan pengalaman me-remediasi pengalaman bersejarah.

 

Untuk Jim Mussell, pengajar dari Universitas Birmingham, dalam buku yang sama, menyebut sejarah sebagai praktik digital, atau juga Mark Sandle, sejarawan dari The King’s University College, Edmonton, Kanada, yang menyebutkan bahwa mempelajari sejarah hari ini bisa bermula dari pengalaman sebagai turis kemudian beralih menjadi seorang penjelajah. Pendeknya, dalam era digital pun sejarah tetap bermakna.

 

Sejarah adalah fenomena yang tak akan terpisah dengan apa yang terjadi hari ini dan hari mendatang. Semua peristiwa memiliki peristiwa awalnya yang menjelaskan duduk masalahnya, rangkaian peristiwa dan di dalamnya terkait dengan para aktor yang terlibat. Para aktor memiliki porsi masing-masing dalam tiap momentum bersejarah.

 

Menemui pembaca baru

 

Beruntunglah Kompas sudah lama mempersiapkan Pusat Informasi Kompas (sekarang bernama Kompas Data) yang menyimpan data Kompas yang sudah makin menggunung, berikut tempat penyimpanan yang memadai. Itu semua adalah kekayaan yang kembali ditampilkan kepada publik.

 

Pertimbangan ekonomis mungkin akan menyertai kemunculan NFT Kompas ini, tetapi yang perlu tetap diingat adalah hendaknya pertimbangan ekonomi menjadi alasan kesekian untuk menampilkan NFT itu. Pertimbangan paling utama adalah bagaimana peristiwa bersejarah di masa lalu menemui pembaca baru, dan pembaca ini bisa membaca dengan cara yang baru pula.

 

Siapa tahu ke depan NFT Kompas akan menampilkan tulisan pertama almarhum PK Ojong dalam rubrik Kompasiana-nya, atau tulisan pertama Jakob Oetama, atau juga tajuk rencana Kompas dalam sejumlah peristiwa penting. Atau jepretan para fotografer Kompas yang legendaris, seperti Kartono Ryadi dan Julian Sihombing, juga akan bisa dinikmati dalam bentuk NFT.

 

Juga edisi pertama karikatur GM Sudarta, komik Panji Koming, Tomat, Mice, ataupun Sukribo. Tentu saja dengan syarat urusan yang terkait dengan masalah hak kekayaan intelektual sudah dibahas tuntas dengan pihak-pihak terkait.

 

NFT sebagai suatu temuan baru mungkin masih mencari bentuk dan penggunanya. Meski demikian, Kompas telah memiliki modal besar jika NFT dijadikan strategi untuk ”mengabadikan masa lalu” atau mencari pembaca baru yang punya tafsir-tafsir baru yang berbeda dengan ketika teks itu pertama ditampilkan

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/08/nft-kompas-dan-masa-lalu-selalu-aktual

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar