Sejarah Tamansiswa
yang Tersembunyi Shinta Maharani : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
PERTUNJUKAN drama musikal
di Pendapa Agung Tamansiswa, Yogyakarta, Ahad siang, 3 Juli lalu, begitu
semarak dan menggugah. Puluhan bahkan seratusan anggota keluarga besar
Tamansiswa—tua, muda, anak-anak, siswa, pamong, dan alumnus Perguruan
Tamansiswa—bersatu menyajikan pentas berjudul Sang Pamong yang menceritakan
riwayat kehidupan Ki Hadjar Dewantara. Pertunjukan kolosal itu dihelat untuk
memperingati satu abad usia Tamansiswa Aktor senior Yogyakarta,
Joko Kamto, memerankan Ki Hadjar Dewantara. Berbeskap hitam dengan blangkon
dan jarit, dia tersenyum sembari menuntun sepeda ontel, melangkah penuh
percaya diri. Di tengah jalan, bocah-bocah semburat menyalami lelaki itu dan
mengucapkan salam. Menghadap papan tulis, dia memandu anak-anak belajar di
Pendapa Agung Tamansiswa. Joko Kamto terlihat
menjiwai sosok Ki Hadjar. Sutradara pergelaran, Yuli Miroto, menampilkan
puluhan bocah berkebaya dan berjarit menembang Jawa. Anak-anak lain berdiri
melingkar, menari, dan saling menyatukan telapak tangan. Puluhan remaja
ditampilkan sedang giat berlatih silat. Ibu-ibu berbaris rapi, serempak
mengepalkan tangan dan menyanyikan lagu-lagu yang diajarkan di Tamansiswa.
Sebagian alumnus Tamansiswa tampak berkaca-kaca menyaksikan pertunjukan itu.
“Pendapa kembali hidup. Ini saya nantikan sejak puluhan tahun lalu,” ujar
perupa asal Aceh, Syahnagra Ismail. ••• SELAIN teater, pameran
foto dokumentasi dan memorabilia Tamansiswa serta peluncuran buku berjudul
Tamansiswa dan Indonesia Kisah Perjuangan Para Murid Ki Hadjar Dewantara
mewarnai peringatan seabad usia Tamansiswa di kampus Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa. Buku setebal 339 halaman itu memuat riwayat 23 murid awal Ki
Hadjar Dewantara yang sebagian besar menempuh sekolah Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs Kweekschool Tamansiswa, setara dengan sekolah menengah pertama,
pada zaman pemerintahan Hindia Belanda pada 1928. Foto dokumentasi 23 pamong
pelopor itu juga ditampilkan di kampus Universitas Sarjanawiyata. Menurut
ketua tim editor, Darmanto, buku dan pameran foto yang digagas Paguyuban Anak
Mantu Cucu tokoh Tamansiswa ini menampilkan sosok-sosok penting yang berperan
dalam pembangunan Perguruan Tamansiswa. “Nama-nama mereka tidak banyak
dikenal dan diabaikan. Mereka seolah-olah tenggelam. Padahal Tamansiswa
menjadi perguruan yang disegani karena peran tokoh-tokoh itu,” kata Darmanto. Menarik menyaksikan foto
langka para tokoh Tamansiswa generasi awal yang tak pernah dipublikasikan
itu, dari Ki Hadisukatno dan Nyi Kustihadi Hadisukatno, Ki Hertog, Ki Iman
Soediyat, Ki Moh. Said Reksohadiprojo, Ki Samawi, Ki Sayoga, sampai Ki Sarino
Mangunpranoto. “Ini foto ayah saya, Ki Ismail. Beliau dari Aceh. Setelah
bertemu dengan Ki Sarmidi Mangunsarkoro di Jakarta, beliau sekolah di
Tamansiswa. Dengan dana sendiri lalu Ayah mendirikan Tamansiswa Teluk
Betung,” ujar perupa Syahnagra Ismail sembari menunjuk foto ayahnya yang
tampan. Dalam pameran itu juga
ditampilkan lukisan-lukisan dua seniman Tamansiswa, Ki Hendro Djasmoro dan Ki
Sindhusiswara. Ki Sindhusiswara dikenal sebagai anggota Persatuan Ahli Gambar
Indonesia dan sahabat dekat maestro seni lukis Sudjojono. Konsep terkenal
Sudjojono dalam melukis, jiwa ketok (jiwa tampak), adalah hasil diskusinya
dengan Ki Sindhusiswara. Betapapun pameran foto itu
luar biasa, bila diamati, sama sekali tidak tampak dipajang foto-foto pamong
Tamansiswa yang dicap komunis, dikeluarkan dari Tamansiswa, dan kemudian
dipenjara. “Saya dengar memang foto-foto pamong Tamansiswa yang kiri, seperti
Wikana, tidak boleh dipasang,” ucap pengamat sosial Ita Fatia Nadia. Menurut
Ita, pada 1955 Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa sesungguhnya didominasi
pengurus dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu ada 14 anggota Majelis
Luhur yang terdiri atas enam orang PKI, tiga anggota Partai Sosialis
Indonesia, dan lima orang Partai Nasional Indonesia. “PKI mayoritas,” tutur
Ita. Enam pengurus dari PKI itu adalah Wikana, Sartono, Wardoyo, Semaun,
Sophan Waluyo, dan Soehardjo. Foto-foto tokoh ini sama sekali tidak turut
dipasang dalam pameran tersebut, juga tidak diulas di buku. ••• SEJAK awal pendirian
Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara memberi kebebasan kepada murid-muridnya dan
pengurus Majelis Luhur untuk terlibat dalam organisasi ataupun memilih partai
politik apa pun. Kebebasan itu ia nyatakan melalui keputusannya pada 1931.
Banyak pamong Tamansiswa kemudian terlibat aktif alam kegiatan Partai Komunis
Indonesia dan onderbouw-nya. Pada perkembangannya kemudian terjadi
pertentangan antara mereka yang non-PKI dan PKI. Salah satu tokoh fenomenal
Tamansiswa yang giat melawan kaum kiri di tubuh Tamansiswa adalah Ki
Mochammad Tauchid. Ki Tauchid sesungguhnya adalah pendiri Barisan Tani
Indonesia. Tapi kemudian, saat Barisan Tani diambil alih PKI, ia mendirikan
Gerakan Tani Indonesia yang berada di bawah Partai Sosialis Indonesia. Ki
Tauchid dikenal sebagai pelopor perjuangan agraria. Dia sangat menguasai
bahasan konflik agraria sejak masa kolonial hingga pascakemerdekaan. Ki
Hadjar Dewantara merekrut dia sebagai guru Tamansiswa di Sumpyuh, Kebumen,
setelah ia dipecat dari Normal School Purwokerto di Jawa Tengah. Ki Hadjar
mengangkatnya sebagai sekretaris dan anggota Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa pada 1938. Ki Tauchid dikenal paling
vokal melawan tokoh-tokoh Tamansiswa dari PKI dalam perebutan kursi pimpinan
Majelis Luhur. Pada 1960 memang terjadi pertarungan sengit tokoh PKI, PSI,
dan Partai Nasional Indonesia. PKI dikabarkan ingin mengganti prinsip dasar
atau kemurnian ideologi Tamansiswa. Budi Basuki, anak Ki Tauchid, ingat,
saking kerasnya sikap ayahnya terhadap tokoh-tokoh PKI, rumah tinggalnya
menjadi sasaran amukan Pemuda Rakyat. “Kami terpaksa pindah ke Muja Muju
supaya aman,” katanya. Tokoh lain yang satu kubu
dengan kelompok Ki Tauchid adalah Ki Suryobroto, ayah Jenderal Tyasno Sudarto
yang menjabat Ketua Umum Majelis Luhur pada 2006-2011. Ki Hadjar Dewantara
pernah menugasi Ki Suryobroto menjadi ketua Tamansiswa cabang Surabaya. Ia
menjabat Ketua Bidang Organisasi Majelis Luhur pada 1960 saat pengurus
Majelis Luhur Tamansiswa diwarnai pertarungan keras karena perbedaan
ideologi. Salah satu penulis dalam
buku, Ki Prijomustiko, mengakui pada awal 1960-an kekuatan pamong Tamansiswa
yang non-kiri dan kiri sama kuat. Pada 1959-1960 sudah terjadi perpecahan
yang tajam. Dalam kongres Tamansiswa pada 3 Juli 1963, pertentangan itu
memuncak. Saat itu pamong-pamong Tamansiswa yang kiri antara lain Ki Harun Al
Rasyid, Ki Soehardjo, Ki Sofyan Waluyo, Ki Abu Wijaya, Ki Bisma Wignyawijaya,
dan Ki Hardjosucipto. Menurut Ki Prijomustiko, kongres pada tahun itu buntu. Dalam situasi genting itu,
istri Ki Hadjar, Nyi Hadjar Dewantara, sebagai pemimpin umum Persatuan
Tamansiswa, menurut Ki Prijomustiko, mengambil keputusan menyelamatkan asas
Tamansiswa. Nyi Hadjar memutuskan memberhentikan pengurus Majelis Luhur yang
berideologi komunis pada 1964. “Diberhentikan dengan tidak hormat,” ucapnya. ••• ITA Fatia Nadia, peneliti
Wanita Tamansiswa, dalam risetnya selama sebulan di International Institute
of Social History di Amsterdam, Belanda, menemukan data bahwa, setelah
peristiwa 1965 pecah, Nyi Hadjar kembali mengeluarkan keputusan yang
menyatakan Tamansiswa harus bersih dari orang-orang yang terlibat dalam
Partai Komunis Indonesia. Di lantai empat
International Institute of Social History, tempat khusus untuk menyimpan
semua arsip tentang Indonesia, Ita menemukan dokumen dalam bentuk catatan
yang diketik. Isinya menunjukkan Nyi Hadjar Dewantara sebagai Ketua Umum
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa mengeluarkan keputusan membersihkan
Tamansiswa dari orang-orang berideologi kiri. Keputusan itu termuat dalam
instruksi nomor 1 tahun 1965 tanggal 28 Oktober 1965. Bunyinya: Tamansiswa
wajib membersihkan diri dari segala tindakan revolusioner. Pada 5 November 1965, Nyi
Hadjar membentuk tim pengaman dan penyelamat Tamansiswa. Sejak saat itu,
hampir semua pamong dan intelektual Tamansiswa di banyak kota yang terlibat
dalam PKI dipenjara, bahkan dibunuh. “Keputusan itulah yang menyebabkan semua
pamong berhaluan kiri ditangkap dan dibunuh. Pamong perempuan juga banyak
dikirim ke kamp konsentrasi Plantungan,” kata Ita. Berbeda dengan pendapat Ki
Prijomustiko yang menganggap keputusan Nyi Hadjar itu berani, Ita melihat
instruksi tersebut diteken di bawah paksaan rezim Orde Baru. Menurut Ita, Nyi
Hadjar tidak memihak ke mana-mana atau berada di tengah. “Nyi Hadjar di bawah
tekanan,” ujarnya. Menurut Ita, tidak mungkin Nyi Hadjar berbuat demikian.
Apalagi sebagian anggota keluarga Ki Hadjar Dewantara berideologi kiri.
Contohnya putranya sendiri, Bambang Sokawati Dewantara, dan keponakan Ki
Hadjar, Sumardi, bahkan pendiri Marx House di kawasan Pathuk, Yogyakarta. Di International Institute
of Social History, Ita pun menemukan catatan Iskandar Subekti, pamong
Tamansiswa kepercayaan Ki Hadjar yang juga tokoh PKI. “Iskandar Subekti
adalah think tank Tamansiswa,” tutur Ita. Iskandar dihukum di penjara
Salemba, Jakarta. Dalam penjara, dia membuat tulisan-tulisan di atas karung
gandum. Di situ ia menjelaskan bahwa Nyi Hadjar dipaksa mengeluarkan surat
keputusan pada 28 Oktober 1965 dan 5 November 1965. Iskandar menulis, Nyi
Hadjar sesungguhnya tidak mau mengumumkan keputusan tersebut. Menurut catatan Iskandar,
sesudah instruksi 5 November 1965 keluar, segera dibuat daftar penangkapan
orang Tamansiswa alias Tamsis yang kiri. “Setelah instruksi 5 November 1965,
ada tim yang mencatat semua nama pamong Tamsis yang anggota PKI, Lekra,
Gerwani, Pemuda Rakyat, HIS, untuk diserahkan ke Pangkopkamtib. Bukan Nyi
Hadjar yang bikin, tapi orang Tamansiswa lain,” kata Ita. Menurut Ita,
kemungkinan besar Iskandar mengetahui pembuat daftar itu, tapi tidak
menginformasikannya dalam catatan. ••• PADA 1965, tokoh-tokoh
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa non-Partai Komunis Indonesia mengambil
alih Tamansiswa. Pengambilalihan itu dimotori Ki Mohammad Tauchid dan Ki
Suratman yang didukung militer. Ki Tauchid dalam kongres luar biasa pada 1967
terpilih sebagai wakil ketua umum dan pada kongres 1970 menjadi ketua umum.
Selanjutnya, campur tangan Orde Baru di Tamansiswa, Ita Fatia Nadia
menjelaskan, masuk melalui adik Presiden Soeharto, Probosutedjo, yang pernah
menjadi pamong Tamansiswa di Sumatera. Soeharto meminta Probosutedjo
mengambil alih Tamansiswa dengan memberikan banyak bantuan dan fasilitas
kepada institusi itu. Probosutedjo pernah menjadi penasihat Majelis Luhur.
Tapi pendapat ini ditolak Ki Prijomustiko.
“Sama sekali tak pernah
Probosutedjo masuk ke Tamansiswa. Dia malah kami tolak karena mau mengubah
prinsip Panca Dharma Tamansiswa,” kata Prijomustiko. Panca Dharma adalah
prinsip Tamansiswa yang mengajarkan kodrat alam, kemerdekaan, jiwa merdeka,
kemanusiaan, dan kebangsaan. “Probo ingin menghapus kodrat alam karena
dianggapnya seperti animisme. Kami tak mau,” dia menambahkan. Menurut Ita, banyaknya
pemikir Tamansiswa yang dibunuh dan hilang sedikit-banyak menyumbang
kemerosotan kualitas pendidikan sekolah tersebut. Dalam amatannya, ratusan
tokoh utama yang dikenal cerdas disingkirkan. Sophan Waluyo, misalnya, yang
dikenal sebagai ahli pendidikan anak. “Ki Hadjar pernah mengirim Sophan
Waluyo untuk mengamati pendidikan di negara-negara Skandinavia. Ki Hadjar
punya harapan Sophan merumuskan kurikulum baru untuk Tamansiswa sepulang
keliling dari negara-negara itu. Sophan menyelamatkan diri ke Swedia dan
menjadi wakil menteri pendidikan di negara tersebut. Saya pernah bertemu
dengan beliau. Ia sangat lembut,” ucap Ita. Ahli sejarah Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Budiawan, ingat, ibunya yang saat remaja sekolah di
Tamansiswa, Sri Hening Ruswaliyah, pernah bercerita tentang Sophan Waluyo.
“Menurut cerita ibu saya, Pak Sophan Waluyo orang yang sangat pandai. Dia
menginspirasi murid-murid Tamansiswa,” ujar Budiawan. Akan halnya anak Wakil
Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa pada 1963, Totong, mengatakan
ayahnya, Soehardjo, ditangkap pada peristiwa 1965. Tentara menahan dan
menginterogasi Soehardjo di sejumlah tempat sebelum menjebloskannya ke rumah
tahanan Salemba pada pertengahan 1966-1968. Tentara kemudian mengirim
tokoh PKI itu ke Nusakambangan, Jawa Tengah, pada 1980-an. Keluarga mengira
Soehardjo akan dikirim ke Pulau Buru karena dia masuk kategori tahanan
politik B. Rupanya, Soehardjo setelah itu dibebaskan dan pulang ke Jakarta.
“Wajib lapor sepekan sekali kepada tentara,” kata Totong. Nasib tragis juga
dialami keluarga seniman Yayak Yatmaka. Pakde Yayak yang juga pamong
Tamansiswa, Karto Winoto, hilang sejak peristiwa 1965 meletus karena terlibat
dalam Barisan Tani Indonesia. Ki Hadjar Dewantara pernah menugasi Karto
Winoto mendirikan taman guru di sepanjang Sumatera. Adapun paman Yayak
lainnya, Imam Santoso, dikirim ke Pulau Buru. “Separuh pamong Tamansiswa habis. Mantan Ketua
Lekra Jawa Tengah yang juga pamong Tamansiswa, Pak Suyut, dibunuh satu
keluarga, dimasukkan ke sumur. Istrinya, anak-anaknya,” kata Ita. Penangkapan
massal pamong Tamansiswa yang kritis ini, menurut Ita, membuat pamong-pamong
yang konservatif mendominasi selama masa Orde Baru. Budiawan melihat tragedi
1965 membuat Tamansiswa kehilangan sumber-sumber intelektualnya. Dia juga
merasa miris karena Tamansiswa tidak merangkul keluarga Ki Hadjar Dewantara
ataupun tokoh Tamansiswa yang berideologi kiri. Dia juga heran mengapa
fakta-fakta ini tak pernah dibuka secara transparan di Tamansiswa. “Sejarah
seperti ditaruh di bawah karpet,” ujar Budiawan. Ki Prijomustiko mengakui
bahwa sesungguhnya para pamong kiri pun bagian dari keluarga Tamansiswa.
Tapi, menurut dia, kemunduran Tamansiswa pada era Orde Baru tidak hanya
disebabkan oleh banyaknya pamong kiri yang hilang. “Itu tidak sepenuhnya
benar. Menurut saya lebih karena selama Orde Baru secara internal Tamansiswa
kurang mawas diri,” katanya. Dia mengungkapkan, ada ajaran Ki Hadjar
Dewantara mengenai sifat, bentuk, irama, dan isi atau SBII. “Sifat tidak
boleh berubah. Ada asas dan tujuan. Visi-misi dipertahankan. Tapi bentuk,
isi, dan irama disesuaikan dengan alam dan zaman. Tampaknya semasa Orba
Tamsis tidak melaksanakan SBII dengan baik,” dia menambahkan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/166366/sejarah-tamansiswa-yang-tersembunyi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar