Bagaimana Perguruan
Tamansiswa di Daerah Bertahan Seno Joko Suyono : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
MEMASUKI gerbang kampus
Universitas Tamansiswa (Unitas) di Jalan Tamansiswa Nomor 9, Kota Padang,
tampak di sisi kanan berdiri gedung perkuliahan bertingkat tiga bercat hijau
yang warnanya mulai memudar. Sedangkan di sisi kiri terdapat gedung
perkuliahan yang tengah dalam perbaikan. Beranjak masuk lebih dalam ke kampus
Unitas, logo Tamansiswa berbentuk segi lima tampak menempel pada gedung
perkuliahan berlantai dua. Lalu terdapat gedung rektorat yang juga berlantai
dua. Selain kampus Tamansiswa,
di kompleks Unitas yang luasnya sekitar 1,1 hektare itu terdapat sekolah
menengah atas yang terdiri atas empat ruang kelas, sekolah menengah kejuruan
dengan enam kelas, dan sekolah menengah pertama yang punya empat ruang kelas.
Juga terdapat satu gedung Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa. Menurut
Ketua Yayasan Tamansiswa Padang, Sumatera Barat, Irwandi Yusuf, dulu sempat
ada sekolah dasar Tamansiswa. "Dulu di sini awalnya masih ada sekolah
dasar. Tapi, karena banyaknya sekolah dasar negeri, akhirnya SD Tamansiswa
mati," kata pria kelahiran 1953 itu sambil menunjuk bekas bangunan SD
Tamansiswa. Sekolah Tamansiswa di
Sumatera Barat sesungguhnya ada sejak 1927 di Bonjol, Kabupaten Pasaman. Lalu
sekolah dibuka lagi di Kota Payakumbuh; Kabupaten Agam; dan Batusangkar,
Kabupaten Tanah Datar. "Karena saat itu masa kolonial Belanda, jadi
sekolahnya pindah-pindah," Irwandi menerangkan. Pada 1935, Ki Samud
membuka sekolah Tamansiswa di Kota Padang. Tapi sekolah itu mati pada 1947
lantaran terjadi Agresi Militer I Belanda. Baru pada 16 Agustus 1957 Ki Haji
Yusuf Nur mendirikan kembali sekolah Tamansiswa. “Saat itu banyak orang yang
bertanya lantaran Ki Haji Yusuf Nur bukanlah orang Tamansiswa," ucap
Irwandi. Menurut Irwandi, Ki Haji
Yusuf Nur berasal dari Muaro Labuh, Solok Selatan, Sumatera Barat. Dia pernah
sekolah di Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayutanam, Pariaman, pada
1950 di bawah pimpinan Mohammad Sjafei. “Waktu sekolah itulah Ki Haji Yusuf
Nur sering mendapat cerita atau ceramah tentang Tamansiswa bahwa perjuangan
Tamansiswa dan INS bertujuan sama, yaitu masyarakat merdeka untuk menentukan
sekolah dan merdeka belajar,” tuturnya. Ki Haji Yusuf Nur lalu meminjam uang
kepada orang tuanya untuk mendirikan sekolah Tamansiswa dengan menyewa lokasi
di Jalan Sawahan Nomor 61, Kota Padang, sebuah bangunan bekas gudang kayu. “Lokasi
itu saat ini sudah jadi kos-kosan," ujar Irwandi. Universitas Tamansiswa di
Padang berdiri pada 1987 dengan nama awal Akademi Peternakan Tamansiswa. Pada
1989, namanya diubah menjadi Universitas Tamansiswa atau Unitas dengan tiga
fakultas, yakni ekonomi, hukum, dan pertanian. Saat ini, kata Irwandi, Unitas
memiliki 10 program studi sarjana dan satu program studi magister. Jumlah
mahasiswanya sebanyak 1.500. Tanah seluas sekitar 1,1 hektare yang menjadi
area kampus Unitas, tutur Irwandi, adalah hibah dari Pemerintah Kota Padang
pada 1972. Saat ini sekolah
Tamansiswa di Sumatera Barat hanya ada di dua daerah, yaitu Padang dan
Payakumbuh. Di Payakumbuh berdiri sebuah SMK. Tamansiswa di provinsi ini
adalah cabang ke-109 di Indonesia. Menurut Irwandi, konsep Merdeka Belajar
yang dipakai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat
ini sudah lama diterapkan oleh Tamansiswa. "Tamansiswa punya juga
silabus ketamansiswaan yang diajarkan dari SD sampai perguruan tinggi,”
ujarnya. ••• KONDISI bangunan sekolah
Tamansiswa di Padang masih tergolong baik. Tapi banyak di daerah lain yang
mulai rusak atau memprihatinkan. Di antaranya sekolah Tamansiswa cabang
Bogor, Jawa Barat, yang berada di kawasan perempatan Jalan Merdeka-Tentara
Pelajar, Bogor Tengah, Kota Bogor. Bangunan bercat biru muda itu terlihat
rapi dan bersih. Demikian juga halaman atau area bermain anak-anak usia taman
kanak-kanak di sana. Namun kondisi bangunannya bisa dibilang kurang layak.
Warna cat dindingnya sudah memudar. Banyak plafon yang bolong dan beberapa
bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 2.000 meter persegi itu lebih
terlihat sebagai tempat penampungan penyandang tunawisma. Kondisinya kalah
jauh dibanding bangunan sekolah lain di Bogor. Apalagi lokasi sekolah Tamansiswa
Bogor bersebelahan dengan gedung mewah kampus Bina Sarana Informatika Bogor. Kepala Bidang Taman Muda
(setara dengan sekolah dasar) Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa Bogor
Endah Sriwening mengatakan kondisi bangunan yang masuk daftar warisan benda
cagar budaya Kota Bogor itu bisa dibilang wajar dan tidak wajar. Perempuan 49
tahun yang akrab disapa Ening itu menjelaskan, kondisi gedung tersebut bisa
dibilang wajar karena sudah berdiri puluhan tahun. Tamansiswa alias Tamsis
Bogor ada sejak 1930. “Pusatnya kan di Yogyakarta. Kalau yang di sini berdiri
pada 1930, sewindu setelah yang di Yogya berdiri. Ini cabang yang keberapa
saya kurang hafal, tapi ini menjadi yang tertua untuk Yayasan Tamansiswa
kelompok Jabar Jaya atau kelompok Perguruan Tamsis wilayah Jawa Barat,” kata
Ening. Ening menambahkan, di
kelompok Jabar Jaya, Perguruan Tamansiswa meliputi Kota dan Kabupaten Bogor
serta Depok, Bekasi, Sukabumi, Karawang, Cirebon, dan Bandung. Perguruan
Tamansiswa yang berada di Kelurahan Ciwaringin, Kota Bogor, selain merupakan
yang tertua, adalah satu-satunya cabang perguruan untuk tiga wilayah, yakni
Kota dan Kabupaten Bogor serta Kota Depok. Sebelum berlokasi di Jalan
Merdeka Nomor 172 saat ini, Tamansiswa Bogor berpindah empat kali di sekitar
Ciwaringin dan Jalan Tentara Pelajar. Musababnya, menurut Ening, saat itu
dunia pendidikan selalu diganggu oleh pemerintah kolonial Belanda. Gedung
Buitenzorg (Istana Bogor) yang menjadi rumah dinas Gubernur Jenderal Belanda
hanya berjarak sepelemparan batu dari Tamansiswa. Pada 1955-1957 dan
1958-1961, saat Hasjrul Harahap (Menteri Kehutanan Kabinet Pembangunan V)
menjadi guru di Taman Muda dan Taman Madya Perguruan Tamansiswa, baru
ditetapkan titik pusat perguruan di lokasi saat ini. Artinya, Ening
melanjutkan, Tamansiswa bisa bertahan hingga hari ini karena perjuangan
keluarga besar Tamansiswa sendiri. “Dari pemerintah saat ini
kami hanya menerima dana bantuan operasional sekolah. Itu pun kami pergunakan
untuk kebutuhan siswa dan nafkah guru yang mengabdi, karena rata-rata di sini
muridnya kalangan tidak mampu. Itu kan misi utama kami yang diajarkan Ki
Hadjar Dewantara, membumikan pendidikan bagi pribumi,” ucap Ening sambil
menyeka air matanya. Saat ini dari tingkat Taman Indria (TK), Taman Muda
(SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA dan SMK), hingga Sarjanawiyata
(universitas), Ening mengatakan, ada sekitar 600 siswa. Dalam metode
belajar-mengajar, Ening menambahkan, hingga kini Tamansiswa masih
mempertahankan gaya pengajaran among yang mengedepankan tanggung jawab, welas
asih, dan penuh kasih sayang dari guru atau pamong. Tidak ada paksaan apalagi
hukuman kepada siswa karena Tamansiswa tetap memprioritaskan pengajaran adab
budi pekerti, mengasihi sesama, dan tidak membedakan satu sama lain dalam hal
apa pun. “Kan, dari awal Tamansiswa dibangun untuk menjaga budaya ketimuran
kita agar tidak terbawa atau terkontaminasi budaya Barat,” Ening menjelaskan. Ening berharap, pada usia
yang sudah mencapai 100 tahun ini, Yayasan Tamansiswa sebagai pelopor
pendidikan Indonesia mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia,
seperti penunjang kelas yang memadai dan tunjangan bagi pamong yang mengabdi,
tidak sebatas dana bantuan operasional sekolah. “Waktu peringatan 100
tahun di Yogya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberi
sambutan pidato secara virtual. Tapi entah, saya juga bingung mengapa beliau
tidak menyinggung atau mempertanyakan kondisi Perguruan Tamansiswa di daerah
seperti apa. Harapan kami tidak banyak, kami ingin murid dan guru nyaman belajar
di sini tanpa takut terjadi hal-hal lainnya,” ucap Ening. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/166362/bagaimana-perguruan-tamansiswa-di-daerah-bertahan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar