Jumat, 15 Juli 2022

 

Problem Inflasi Tinggi

Didin S Damanhuri :  Guru Besar NIDK Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

REPUBLIKA, 13 Juli 2022

 

 

                                                           

Ambisi Presiden Rusia Vladimir Putin menyatukan kembali negara-negara bekas Uni Soviet berhadapan dengan ambisi Presiden AS Joe Biden agar negara-negara eks Uni Soviet tersebut untuk menjadi anggota NATO, menjadikan perang tak terhindarkan.

 

Sementara itu, perang akan berjalan lama dipicu banyak faktor. Antara lain, AS mengulur waktu perang agar level kekuatan Rusia (ekonomi, politik, dan militer) yang sudah 70 persen setelah dipimpin Putin, dengan cara AS dan sekutu tak langsung frontal berperang, tetapi dengan menyuplai senjata ke Ukrania, bersamaan dengan sanksi ekonomi yang keras terhadap Rusia.

 

Sebaliknya Rusia, membalas dengan menghentikan suplai migas ke Eropa dan negara yang memberlakukan sanksi ekonomi terhadapnya, sembari mengancam dengan arsenal nuklir dan menyumbat Laut Hitam agar suplai gandum dan produk pertanian Ukrania terhambat.

 

Rusia dengan persenjataan jauh lebih kuat, terus menggerus wilayah Ukrania agar setidaknya, dalam sphere of influence atau malah bagian dari federasi Rusia.

 

Dengan kondisi tersebut, ekonomi dunia setelah diempaskan pandemi Covid-19 dengan resesi dan jutaan korban meninggal serta meruyaknya kemiskinan, dengan perang berkepanjangan, kini ancaman krisis pangan, energi, dan iklim menghantui umat manusia.

 

Bahkan, ancaman Perang Dunia III mengintai. Dengan begitu, negara-negara di dunia harus mempersiapkan smart strategy, agar rakyatnya dapat diselamatkan dari krisis ekonomi akibat inflasi tinggi sekaligus resesi (stagflasi).

 

World Bank memangkas proyeksi ekonomi dunia dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen sebagai dampak perang, yang mengakibatkan disrupsi arus investasi, pasokan pangan, dan energi.

 

Sementara AS, pada kuartal I 2022 mengalami pertumbuhan negatif  1,5 persen dan Inflasi 8,6 persen, tertinggi selama 30 tahun terakhir. Eropa juga mengalami penurunan pertumbuhan jadi 0,2 persen dengan inflasi antara empat hingga delapan persen.

 

Prediksi dunia terancam stagflasi seperti depresi besar 1930-an cukup banyak dikemukakan ahli. Indonesia, menurut rilis BPS, mengalami inflasi tahunan 4,35 persen, tertinggi selama lima tahun terakhir, terutama terkait pangan.

 

Kurs rupiah pun telah melebihi Rp 15 ribu per dolar AS. Ini dampak perang saat Indonesia juga masih bergantung pada impor pangan (gandum, daging sapi dan kerbau, gula, garam, terigu, bahkan jagung, dan beras). Namun, bersamaan itu juga terdapat faktor yang bersifat struktural.

 

Yakni, komoditas pangan yang diimpor tersebut umumnya dikuasai oleh --meminjam istilah yang dilontarkan Dirut Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas)-- para mafia pangan. Juga ketika HET minyak goreng 14 ribu per liter tak tercapai dan migor pun sulit didapat.

 

Mendag Muhammad Lutfi sebelum diganti menyebut hal tersebut karena enam mafia CPO. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) malah mempunyai satu alat bukti praktik kartel dari para penguasa CPO.

 

Dengan demikian, KPPU telah meningkatkan penyelidikan untuk mendapatkan satu alat bukti lagi agar ketentuan UU Anti Monopoli, untuk menyita 50 persen  profit selama setahun dan/atau 20 persen penjualan, untuk negara.

 

Bahkan, Bareskrim berjanji untuk menindaklanjuti aspek pidananya. Sayangnya, setelah jaksa agung menetapkan pelaku mafia migor sebagai tersangka, yaitu dirjen perdagangan luar negeri Kemendag, seorang komisaris Wilmar serta tiga GM dan terakhir LCW yang bukan pelaku utama mafia, kelanjutan penegakan hukum oleh KPPU serta Bareskrim tersebut, tenggelam begitu saja.

 

Dengan inflasi tinggi dampak indeks harga konsumen dari survei di 90 kota/kabupaten seluruh Indonesia, yang merupakan agregasi permintaan dan penawaran 835 barang dan jasa. Ini berarti terjadi kenaikan harga-harga umum dan utamanya karena komoditas pangan pada kuartal I 2022.

 

Pertanyaannya, dengan struktur adanya oligopoli atau istilah Buwas dan Lutfi adanya mafia, dalam komoditas pangan, siapa sebenarnya penentu kenaikan harga-harga tersebut?

 

Contohnya ketika HET Rp 14 ribu per liter, mengapa harga yang nyata di pasar Rp 52 ribu/per dua liter (ketika Lutfi masih menjadi mendag)? Belakangan, kita tahu setelah jaksa agung mengumumkan tersangka ekspor ilegal CPO (bahan baku migor).

 

Yakni, para penguasa CPO mengekspor CPO secara ilegal dengan tidak mengindahkan kewajiban domestic market obligation (DMO) untuk memasok ke pabrik-pabrik migor. Ini karena harga CPO di tingkat global sangat tinggi.

 

Dengan begitu, para pengekspor sawit untuk 2021 mencatat pendapatan Rp 72,45 triliun. Sementara untuk kuartal 1 2022, ekspor sawit memperoleh pendapatan Rp 112, 82 triliun (cnnindonesia.com).

 

Dengan Inflasi tinggi 4,35 persen, yang penyebab utamanya pangan, sementara lebih 50 persen pengeluaran masyarakat umumnya untuk pangan, jelaslah terutama untuk 50 persen penduduk paling bawah, inflasi tinggi tersebut menggerus daya beli mereka.

 

Sementara itu, dengan gambaran adanya struktur pasar oligopoli untuk banyak komoditas pangan, maka ketika harga-harga meningkat, perilaku para oligopolis justru makin meningkatkan keuntungan dan pundi-pundi kekayaannya.

 

Ini karena mereka dari oligopis pasif berubah menjadi kelompok ofensif kartel (persekongkolan menetapkan harga dan wilayah pemasaran untuk mendapatkan super normal profit), penimbunan, ekspor dan impor ilegal, dan seterusnya.

 

Sesungguhnya dengan adanya KPPU yang didirikan sejak 1999, yakni untuk mencegah praktik-praktik perdagangan yang menyimpang, seperti oligopoli, oligopsoni, penimbunan, serta penegakan hukum oleh Polri dan Kejakgung.

 

Namun kenyataannya, penegakan hukum terhadap praktik-praktik busuk tersebut secara terbatas berjalan, tapi di tingkat pengadilan tinggi sering kali mentah.

 

Malah secara umum boleh dikatakan, Indonesia seperti dikatakan Dirut Perum Bulog Buwas dan atau mantan mendag Lutfi, banyak komoditas dikuasai para mafia alias kartel.

 

Dampaknya, rakyat kebanyakan menjadi korban membuat kelompok rentan miskin yang sekarang sekitar 50 persen penduduk, akan masuk menjadi kelompok miskin ekstrem dengan pengeluaran sekitar Rp 415 ribu/bulan yang jumlahnya sekitar 26,5 juta pada 2021, akan bertambah mendekati 30 juta pada 2022 (Kompas.com).

 

Solusi ke depan

 

Dengan ancaman perang berkepanjangan serta krisis pangan, energi dan iklim ke depan, hendaknya pemerintah, DPR, dan seluruh elite concern melakukan reformasi menghadapi problem kartelisasi komoditas pangan dan komoditas strategis lainnya.

 

Penulis mengusulkan, pertama, memperkuat regulasi keberadaan KPPU dan penegakan hukumnya. Antara lain, posisi KPPU dijadikan komisi negara yang independen dengan hak untuk menyadap, seperti KPK dan Kejakgung.

 

Kedua, pemerintah/BPS menghitung inflasi dari komoditas yang berstruktur oligopoli dan dampaknya terhadap kemiskinan.

 

Ketiga, bukan hanya memberikan sanksi pada pelanggaran UU Anti Monopoli dan persaingan tak sehat dan sanksi pidana, melainkan juga mencabut izin usaha pelaku kartel. Dengan demikian, dapat menimbulkan efek jera.

 

Bagi para pelaku usaha berbasis efisiensi dan inovasi tanpa menjadi pelaku kartel, tapi sebagai pelaku industrial, percayalah bangsa dan negara kita akan lebih makmur berkeadilan dan rakyat akan lebih menikmati kesejahteraan. ●

 

Sumber :  https://www.republika.id/posts/29837/problem-inflasi-tinggi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar