Problem Inflasi
Tinggi Didin S
Damanhuri : Guru Besar NIDK Departemen Ilmu
Ekonomi FEM IPB |
REPUBLIKA, 13 Juli 2022
Ambisi Presiden Rusia
Vladimir Putin menyatukan kembali negara-negara bekas Uni Soviet berhadapan
dengan ambisi Presiden AS Joe Biden agar negara-negara eks Uni Soviet
tersebut untuk menjadi anggota NATO, menjadikan perang tak terhindarkan. Sementara itu, perang akan
berjalan lama dipicu banyak faktor. Antara lain, AS mengulur waktu perang
agar level kekuatan Rusia (ekonomi, politik, dan militer) yang sudah 70
persen setelah dipimpin Putin, dengan cara AS dan sekutu tak langsung frontal
berperang, tetapi dengan menyuplai senjata ke Ukrania, bersamaan dengan sanksi
ekonomi yang keras terhadap Rusia. Sebaliknya Rusia, membalas
dengan menghentikan suplai migas ke Eropa dan negara yang memberlakukan
sanksi ekonomi terhadapnya, sembari mengancam dengan arsenal nuklir dan
menyumbat Laut Hitam agar suplai gandum dan produk pertanian Ukrania
terhambat. Rusia dengan persenjataan
jauh lebih kuat, terus menggerus wilayah Ukrania agar setidaknya, dalam
sphere of influence atau malah bagian dari federasi Rusia. Dengan kondisi tersebut,
ekonomi dunia setelah diempaskan pandemi Covid-19 dengan resesi dan jutaan
korban meninggal serta meruyaknya kemiskinan, dengan perang berkepanjangan,
kini ancaman krisis pangan, energi, dan iklim menghantui umat manusia. Bahkan, ancaman Perang
Dunia III mengintai. Dengan begitu, negara-negara di dunia harus
mempersiapkan smart strategy, agar rakyatnya dapat diselamatkan dari krisis
ekonomi akibat inflasi tinggi sekaligus resesi (stagflasi). World Bank memangkas
proyeksi ekonomi dunia dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen sebagai dampak
perang, yang mengakibatkan disrupsi arus investasi, pasokan pangan, dan
energi. Sementara AS, pada kuartal
I 2022 mengalami pertumbuhan negatif
1,5 persen dan Inflasi 8,6 persen, tertinggi selama 30 tahun terakhir.
Eropa juga mengalami penurunan pertumbuhan jadi 0,2 persen dengan inflasi
antara empat hingga delapan persen. Prediksi dunia terancam
stagflasi seperti depresi besar 1930-an cukup banyak dikemukakan ahli.
Indonesia, menurut rilis BPS, mengalami inflasi tahunan 4,35 persen,
tertinggi selama lima tahun terakhir, terutama terkait pangan. Kurs rupiah pun telah
melebihi Rp 15 ribu per dolar AS. Ini dampak perang saat Indonesia juga masih
bergantung pada impor pangan (gandum, daging sapi dan kerbau, gula, garam,
terigu, bahkan jagung, dan beras). Namun, bersamaan itu juga terdapat faktor
yang bersifat struktural. Yakni, komoditas pangan
yang diimpor tersebut umumnya dikuasai oleh --meminjam istilah yang
dilontarkan Dirut Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas)-- para mafia pangan. Juga
ketika HET minyak goreng 14 ribu per liter tak tercapai dan migor pun sulit
didapat. Mendag Muhammad Lutfi
sebelum diganti menyebut hal tersebut karena enam mafia CPO. Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) malah mempunyai satu alat bukti praktik kartel dari
para penguasa CPO. Dengan demikian, KPPU
telah meningkatkan penyelidikan untuk mendapatkan satu alat bukti lagi agar
ketentuan UU Anti Monopoli, untuk menyita 50 persen profit selama setahun dan/atau 20 persen
penjualan, untuk negara. Bahkan, Bareskrim berjanji
untuk menindaklanjuti aspek pidananya. Sayangnya, setelah jaksa agung
menetapkan pelaku mafia migor sebagai tersangka, yaitu dirjen perdagangan
luar negeri Kemendag, seorang komisaris Wilmar serta tiga GM dan terakhir LCW
yang bukan pelaku utama mafia, kelanjutan penegakan hukum oleh KPPU serta
Bareskrim tersebut, tenggelam begitu saja. Dengan inflasi tinggi
dampak indeks harga konsumen dari survei di 90 kota/kabupaten seluruh
Indonesia, yang merupakan agregasi permintaan dan penawaran 835 barang dan
jasa. Ini berarti terjadi kenaikan harga-harga umum dan utamanya karena
komoditas pangan pada kuartal I 2022. Pertanyaannya, dengan
struktur adanya oligopoli atau istilah Buwas dan Lutfi adanya mafia, dalam
komoditas pangan, siapa sebenarnya penentu kenaikan harga-harga tersebut? Contohnya ketika HET Rp 14
ribu per liter, mengapa harga yang nyata di pasar Rp 52 ribu/per dua liter
(ketika Lutfi masih menjadi mendag)? Belakangan, kita tahu setelah jaksa
agung mengumumkan tersangka ekspor ilegal CPO (bahan baku migor). Yakni, para penguasa CPO
mengekspor CPO secara ilegal dengan tidak mengindahkan kewajiban domestic
market obligation (DMO) untuk memasok ke pabrik-pabrik migor. Ini karena
harga CPO di tingkat global sangat tinggi. Dengan begitu, para
pengekspor sawit untuk 2021 mencatat pendapatan Rp 72,45 triliun. Sementara
untuk kuartal 1 2022, ekspor sawit memperoleh pendapatan Rp 112, 82 triliun
(cnnindonesia.com). Dengan Inflasi tinggi 4,35
persen, yang penyebab utamanya pangan, sementara lebih 50 persen pengeluaran
masyarakat umumnya untuk pangan, jelaslah terutama untuk 50 persen penduduk
paling bawah, inflasi tinggi tersebut menggerus daya beli mereka. Sementara itu, dengan
gambaran adanya struktur pasar oligopoli untuk banyak komoditas pangan, maka
ketika harga-harga meningkat, perilaku para oligopolis justru makin
meningkatkan keuntungan dan pundi-pundi kekayaannya. Ini karena mereka dari
oligopis pasif berubah menjadi kelompok ofensif kartel (persekongkolan
menetapkan harga dan wilayah pemasaran untuk mendapatkan super normal
profit), penimbunan, ekspor dan impor ilegal, dan seterusnya. Sesungguhnya dengan adanya
KPPU yang didirikan sejak 1999, yakni untuk mencegah praktik-praktik
perdagangan yang menyimpang, seperti oligopoli, oligopsoni, penimbunan, serta
penegakan hukum oleh Polri dan Kejakgung. Namun kenyataannya,
penegakan hukum terhadap praktik-praktik busuk tersebut secara terbatas
berjalan, tapi di tingkat pengadilan tinggi sering kali mentah. Malah secara umum boleh
dikatakan, Indonesia seperti dikatakan Dirut Perum Bulog Buwas dan atau
mantan mendag Lutfi, banyak komoditas dikuasai para mafia alias kartel. Dampaknya, rakyat
kebanyakan menjadi korban membuat kelompok rentan miskin yang sekarang
sekitar 50 persen penduduk, akan masuk menjadi kelompok miskin ekstrem dengan
pengeluaran sekitar Rp 415 ribu/bulan yang jumlahnya sekitar 26,5 juta pada
2021, akan bertambah mendekati 30 juta pada 2022 (Kompas.com). Solusi
ke depan Dengan ancaman perang
berkepanjangan serta krisis pangan, energi dan iklim ke depan, hendaknya
pemerintah, DPR, dan seluruh elite concern melakukan reformasi menghadapi
problem kartelisasi komoditas pangan dan komoditas strategis lainnya. Penulis mengusulkan,
pertama, memperkuat regulasi keberadaan KPPU dan penegakan hukumnya. Antara
lain, posisi KPPU dijadikan komisi negara yang independen dengan hak untuk
menyadap, seperti KPK dan Kejakgung. Kedua, pemerintah/BPS
menghitung inflasi dari komoditas yang berstruktur oligopoli dan dampaknya
terhadap kemiskinan. Ketiga, bukan hanya
memberikan sanksi pada pelanggaran UU Anti Monopoli dan persaingan tak sehat
dan sanksi pidana, melainkan juga mencabut izin usaha pelaku kartel. Dengan
demikian, dapat menimbulkan efek jera. Bagi para pelaku usaha
berbasis efisiensi dan inovasi tanpa menjadi pelaku kartel, tapi sebagai
pelaku industrial, percayalah bangsa dan negara kita akan lebih makmur
berkeadilan dan rakyat akan lebih menikmati kesejahteraan. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/29837/problem-inflasi-tinggi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar