Korban
Bechi: Disiksa, Diperkosa, Disekap, Dituduh PKI Ahmad Thovan Sugandi : Jurnalis Detikcom |
DETIKCOM-X, 12 Juli 2022
"Saya merasa masa
kecil saya sudah direnggut oleh Subchi. Saya dipaksa berhubungan seksual,
saya dianiaya, saya disekap, saya dilaporkan menyebarkan konten pornografi.
Masa kecil saya penuh ketakutan.” Kutipan tersebut adalah
kesaksian salah satu korban Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi
atau Bekhi. Reporter detikX berkomunikasi dengan korban tersebut melalui
perantara pendampingnya pada Minggu, 10 Juli 2022. “Bahkan hingga saat ini,”
lanjut korban tersebut. “Orang tua saya dituduh sebagai preman pembunuh
bayaran. Trauma saya rasanya tidak bisa hilang. Saya ingin Subchi dihukum
seberat-beratnya.” Bechi ditetapkan sebagai
tersangka oleh Polda Jawa Timur karena memperkosa lima santriwati di
Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah. Dia adalah putra mahkota pemimpin
pesantren, yaitu Kiai Muchtar Mu'thi. Bechi menjabat guru dan wakil rektor di
pesantren itu, sekaligus Ketua Umum Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah. Korban yang ditelusuri
oleh kepolisian hanya sebagian. Menurut narasumber detikX yang tidak bisa
disebutkan identitasnya, korban Bechi lainnya masih banyak. Saat mandi, kami diminta mengenakan jarit
Sidomukti. Katanya agar mulia dan mendapat ilmu metafakta. Kata Bechi, itu
ilmu sudah ada sejak 1400 tahun lalu." "Itu yang saya tahu
ada 15 orang. Mereka cerita ke saya juga. Sangat mungkin masih ada korban
lain," ujar narasumber tersebut, Jumat, 8 Juli 2022. Menurut narasumber itu,
salah satu kasus perkosaan tersebut bahkan terjadi sejak 2012. Tidak hanya
memperkosa, Bechi juga diyakini telah melakukan berbagai jenis penyiksaan. Saat mendapatkan
perlawanan, Bechi menyundutkan rokok yang masih menyala ke arah pelipis
korban. Tidak jarang, punggung dan kaki korban yang saat itu masih berusia
belasan tahun juga mengalami lebam akibat penyiksaan. Menurut pengakuan
pendamping korban, perlakuan Bechi itu berlangsung kurang lebih lima tahun
(2012-2017). Setiap bulan, Bechi memaksa bertemu dan memperkosa korban.
Perlakuan tersebut juga disertai ancaman. Korban diancam, jika berani
melawan, akan dikeluarkan dari pondok, aibnya disebarkan, dan dihancurkan
keluarganya. Pada 2017, salah satu
korban diculik dan disekap dua hari di daerah Plandaan. Selama itu korban
tidak diberi makan serta terus diperkosa. Karena sempat melawan, korban
dilempar oleh Bechi. Akibatnya, korban mengalami sejumlah luka yang lebih
parah. "Selanjutnya, korban
dibawa oleh ajudan Bechi ke Polsek Ploso. Justru korban yang dilaporkan
karena menyebarkan konten pornografi," ujar pendamping korban kepada
reporter detikX akhir pekan lalu. Saat korban ditahan, orang
tuanya diminta datang dan meminta maaf sebagai syarat pembebasan putrinya.
Setelah kejadian itu, korban dikeluarkan dari Pesantren Majma’al Bahrain
Shiddiqiyyah. Di sisi lain, menurut
pengakuan salah satu mantan murid Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah dan
juga pendamping korban, pada 2017, Bechi merekrut santriwati untuk mengelola
klinik Sehat Tentrem. Sebuah klinik kesehatan spiritual yang dikelola Bechi. Para santriwati yang akan
diseleksi menjadi sukarelawan klinik dibawa ke daerah Puri, Kecamatan
Plandaan, Jombang. Di sana berdiri kompleks yang dikelola oleh Bechi bernama
Pesantren Jati Diri Bangsa. Akses jalan menuju kompleks tersebut panjang dan
dikelilingi banyak pohon jati. Di dalam kompleks tersebut berdiri beberapa
bangunan, gubuk, dan kolam. Hanya para santri dan orang dalam pesantren yang
boleh masuk ke area tersebut dengan bebas. Adapun permukiman warga sekitar
terletak cukup jauh. Para santriwati mulai
merasa heran saat diminta melakukan sejumlah laku yang tidak lazim. Laku aneh
tersebut antara lain minum wine, ditinggal sendirian semalaman di dalam
hutan, dan mandi kemben. "Saat mandi, kami
diminta mengenakan jarit Sidomukti. Katanya agar mulia dan mendapat ilmu
metafakta. Kata Bechi, itu ilmu sudah ada sejak 1400 tahun lalu,"
ungkapnya. Berkedok wawancara
personal, Bechi membawa para santriwati ke salah satu gubuk bernama Cokro. Di
sana Bechi memperkosa para santriwati tersebut. Mengetahui ketidakwajaran
tersebut, para santriwati ini memutuskan mengundurkan diri dari klinik
tersebut. Setelah itu, para korban memutuskan melapor ke petinggi pondok
pesantren. Namun laporan itu tidak digubris oleh pengurus Pesantren Majma’al
Bahrain Shiddiqiyyah. Tidak lama setelah itu,
Bechi mulai menyebut para korban dan mantan pegiat klinik yang keluar sebagai
sosok yang akan menghancurkan pesantren. "Kami juga mendapat ancaman
pembunuhan, dibuntuti, dan foto kami disebar pengikut Bechi. Padahal kami
waktu itu masih berumur belasan tahun," ujarnya. Karena berbagai kondisi
tersebut, beberapa korban dan rekannya dikeluarkan dari fasilitas pendidikan
Shiddiqiyyah. Ada belasan santriwati yang dikeluarkan oleh pesantren. Serangan Balik ke Korban
yang Mencari Keadilan Salah satu pendamping
korban, Nun Sayuti, sempat bertandang ke pondok pesantren di Ploso untuk
bertemu dengan Bechi. Hal itu ia lakukan untuk meminta penjelasan atas
pemerkosaan yang Bechi lakukan. Di sana Bechi justru mengakui perbuatan
tersebut. Dia berdalih punya hak melakukan itu. "Dia bilang dirinya
sudah diangkat jadi mursyid, dan berhak serta bisa menikahkan dirinya
sendiri. Jadi dia tidak merasa bersalah," ujar Nun Sayuti kepada
reporter detikX kemarin. Tidak surut, setelah itu,
salah satu korban ditemani rekannya sebagai pendamping melaporkan pemerkosaan
tersebut ke Polres Jombang pada Mei 2018. Setelah itu, korban mendapat
ancaman dan rumahnya didatangi sejumlah orang. Bahkan beberapa pihak dari
Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah mendatangi orang tua korban dan
menawarkan sejumlah uang agar laporan tersebut dicabut. Akhirnya laporan tersebut
terpaksa dicabut karena banyaknya ancaman terhadap korban. Pada Juli 2018,
salah satu korban, ditemani rekan sekaligus pendampingnya, melapor kembali ke
Polres Jombang. Sayang, laporan tersebut ditolak dengan alasan tidak cukup
bukti. Tidak berhenti di sana,
pada 2019, mereka kembali melapor ke kepolisian dan melakukan visum ulang. Hasilnya,
pada 12 November 2019, Bechi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres
Jombang. Momen penetapan tersangka
tersebut membuat dukungan mengalir kepada para korban. Termasuk dari Women
Crisis Center (WCC) Jombang, Lembaga Bantuan Hukum, dan elemen masyarakat
lainnya. Dari WCC, korban dan rekannya mendapat pendampingan psikologis.
Sesuatu yang belum didapatkan korban sebelumnya, bahkan dari kepolisian. Pada 2021, salah satu
pendamping korban dikeroyok oleh enam orang pria dewasa saat sedang mengaji.
Para pria tersebut adalah pengikut Bechi. Mereka berusaha merampas smartphone
dan membentur-benturkan kepala rekan korban ke tembok. Atas tindakan itu,
salah satu dari enam orang tersebut hanya dihukum 6 bulan penjara. "Saya diteror lewat
media sosial juga. Alamat rumah saya disebar oleh pengikut Bechi. Rumah saya
disamperin mereka, total 25 motor dan 3 mobil," ujar salah satu
pendamping korban. Menurut para pendamping,
korban sangat terpukul saat menyaksikan kepolisian tampak kesulitan menangkap
Bechi. Kadang, karena kesal tersangka tak kunjung ditangkap, korban dan para
pendamping tidak segan menghubungi langsung para penyidik Polda Jatim melalui
chat ke nomor pribadi. Mereka terus-menerus menagih ketegasan dan keberanian
polisi untuk menangkap Bechi. "Waktu lihat video
Kapolres berdialog dengan Kiai Tar, beberapa korban pada lemes. Mereka bilang
ke saya, langsung nangis semua, kok orang jahat ini sulit sekali
ditangkap," ucap pendamping korban pada detikX. Walaupun putranya
ditetapkan tersangka dan buron, menurut penuturan pendamping korban, Kiai Tar
(panggilan akrab Muchtar Mu'thi) justru menuduh para korban sebagai PKI
Jombang, HTI, dan tukang fitnah. Setelah detikX telusuri, tuduhan tersebut
disampaikan Kiai Tar di hadapan pengikutnya dalam acara mauidloh chasanah
pada Kamis, 20 Januari 2022 di Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah.
Melalui akun Instagram pribadinya, Bechi juga sempat menyebarkan informasi
serupa. Berikan Ruang Aman ke
Korban Walaupun kini Bechi
ditangkap, menurut para pendamping, korban masih rentan dan memerlukan
pendampingan psikologis. Direktur WCC Jombang Ana mengatakan korban masih
mengalami trauma. “Sampai sekarang kondisi
korban, pada awal upaya penangkapan itu, waswas sudah pasti, kemudian dia
juga merasa risau. Tapi setelah diinformasikan pelaku sudah ditahan, tentu
saja dalam benak korban dia akan memikirkan bagaimana dia bisa siap secara
psikologis berhadapan dengan Terdakwa di persidangan," ujar Ana kepada
reporter detikX. Menurut pegiat Aliansi
Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual Roy Murtadho atau Gus Roy, tuduhan adanya
PKI Jombang dan gerombolan penghancur pondok pesantren yang diutarakan Kiai
Tar adalah mengada-ada. Makin banyaknya pernyataan
konspiratif yang tidak berbasis fakta dari pengikut Bechi menunjukkan adanya
kasus yang ingin ditutupi. Adapun para santri dan simpatisan Bechi, menurut
Gus Roy, justru dijadikan tameng oleh elite pesantren untuk melawan polisi. "Kita abaikan. Itu
klise, itu kamuflase. Justru untuk menutupi masalah sesungguhnya. Playing
victim," ujarnya kepada reporter detikX, Jumat, 8 Juli 2022. Gus Roy menuturkan saat
ini makin banyak kiai yang berbicara dan terlibat untuk mendorong agar pelaku
dihukum, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama. "Wakil Ketua PWNU
Jatim Gus Salam bicara bahwa pelaku harus dihukum. Masak iya Gus Salam dan
Gus Kikin (pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng) dianggap PKI Jombang, kan
mengada-ada," ujar pria asal Kwaron, Diwek, Jombang, yang saat ini aktif
sebagai pengajar Pesantren Misykat Al-Anwar, Bogor, itu. Di sisi lain, Gus Roy juga
mendukung pencabutan izin Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah di
Ploso. Menurutnya, ke depan, pesantren harus memiliki aturan bersama yang
spesifik terkait penanganan serta pencegahan kekerasan seksual. Jika terjadi,
pesantren harus tegas dan berpihak kepada korban. Ia menegaskan pesantren
harus menjadi ruang aman bagi perempuan dan harus ada pendidikan yang
antipatriarki. "Adanya aturan itu
adalah kontrol paling minimal. Pesantren harus berkomitmen adanya program
yang mengajarkan keterbukaan tafsir agama, mengajarkan kesetaraan, mengurangi
narasi-narasi kultus," jelasnya. Ketua Umum Organisasi
Shiddiqiyyah Joko Herwanto menganggap semua tuduhan terhadap Bechi tidak
benar. Baginya, semua itu hanya tuduhan atau fitnah. Bahkan dia geram Bechi
disebut sebagai gus cabul, kiai cabul, dan sebagainya. Padahal, klaim Joko,
seharusnya ada asas praduga tak bersalah sampai ada putusan pengadilan. "Mbah Kiai (Muchtar
Mu'thi) meyakini bahwa ini adalah fitnah yang menimpa beliau, keluarganya,
khususnya kepada Mas Bechi," kata Joko kepada reporter detikX akhir
pekan lalu. Meski begitu, Joko
berjanji akan mematuhi proses dan putusan hukum. "Kami tunggu saja, apa
pun keputusan hukumnya kami hormati. Moga-moga yang terbaik bagi
semuanya," pungkasnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar