Great Teacher
Onizuka, Pendidikan Humanis dan Kurikulum Merdeka Bilal
Ramadhan : Wartawan Republika sekaligus pendidik |
REPUBLIKA, 23 Juli 2022
Saat itu, sekitar 1999,
saya baru masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), tak sengaja melihat sebuah
serial kartun Jepang di stasiun televisi Indosiar. Memang saat itu, jumlah
stasiun televisi masih terbatas. Apalagi yang menayangkan acara serial kartun
mungkin selain Indosiar, juga ada RCTI. Dan serial kartun Jepang
ini sangat membekas di hati saya hingga saat ini. Acara kartun itu namanya Great Teacher Onizuka atau kerap
disingkat dengan GTO. Saya sudah terpesona sejak episode pertama serial GTO
tersebut. Namun entah kenapa, serial kartun tersebut hanya ditayangkan
beberapa episode saja. Selebihnya dihentikan karena dengan alasan, serial
tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai kultur di Indonesia. Serial tersebut
juga katanya menampilkan kekerasan dan juga pronografi. Namun sejak menonton GTO,
saya mulai membayangkan bagaimana jika memang ada guru yang seasyik dan
segila Onizuka dalam kehidupan nyata. Apakah mungkin ada guru yang mau
berbaur dengan siswanya? Apakah mungkin ada guru yang mau capek-capek ikut
menyelesaikan masalah siswa-siswanya di luar sekolah? Apa mungkin ada guru
yang di balik sikap ‘slengeannya’, tapi juga menaruh perhatian yang besar
kepada siswa-siswanya? Bisa dibilang menonton
beberapa episode serial GTO bisa mengubah sikap dan karakter saya. Dulu saya
kecil, tak pernah terpikirkan untuk menjadi guru. Sama sekali. Tapi seorang
Onizuka memberikan inspirasi, bahwa seburuk apapun seseorang di masa lalunya,
dia bisa berguna buat orang lain. Jangan bayangkan seorang
Eiikichi Onizuka ini merupakan guru baik dan teladan dengan misi suci untuk
mencerdaskan anak-anak bangsa. Jangan. Karena kita akan kecewa jika sudah
memiliki ekspektasi berlebihan untuk menonton serial ini. Onizuka di masa lalu
terlibat dengan geng motor. Saat dia di SMA pun, kehidupannya selalu terlibat
dengan kekerasan. Hingga Onizuka kemudian dikenal sebagai pimpinan geng motor
terkenal di salah satu kota di Jepang. Karena Onizuka yang sudah
berusia 22 tahun tapi hanya bekerja serabutan dan pekerjaan yang tidak tetap,
dia menceritakan kepada seorang sahabatnya sejak masa sekolah bahwa dia
tertarik untuk menjadi guru di Sekolah Menengah Atas (SMA). Tujuannya pun
nyeleneh dan cenderung mesum. Dengan menjadi guru SMA, Onizuka berpikir bisa
lebih dekat dengan anak-anak berusia menjelang dewasa. Onizuka juga berniat
untuk menikahi perempuan berusia anak-anak SMA. Hingga kemudian Onizuka
melamar di satu SMA dan diterima, namun bukan di SMA, tapi Onizuka diminta
kepala sekolah untuk mengajar kelas 3 SMP. Harapannya pun sempat hancur. Dia
juga sempat berpikir untuk mundur dari pekerjaan sebagai guru. Namun jiwa tantangan
kembali meluap saat tahu dia menjadi wali kelas di satu kelas 3 yang ternyata
sangat bermasalah. Beberapa wali kelas sebelumnya mengundurkan diri, dan
bahkan wali kelas terakhir malah mengalami stres dan depresi karena
menghadapi siswa-siswa di kelas tersebut. Mengajar
versi Onizuka Sebelum diterima di
sekolah tersebut, ada satu insiden dimana beberapa alumni sekolah membawa
senjata dan mencari-cari wakil kepala sekolah di sekolah itu. Wakil kepala
sekolah yang mengetahui Onizuka merupakan mantan anggota geng pun meminta
pertolongan kepada Onizuka. Beberapa alumni sekolah
mengatakan wakil kepala sekolah telah membunuh mimpi mereka. Wakil kepala
sekolah ini pun terus menerus menyebut mereka dengan istilah ‘sampah’.
Melihat wakil kepala sekolah yang tidak sadar dan malah bangga dengan apa
yang dilakukannya. Onizuka pun kesal. Dia langsung menghampiri si wakil
kepala sekolah, meremas tubuhnya dengan kedua tangannya dan membanting tubuh
wakil kepala sekolah ke arah belakang. Sambil berjalan ke luar
dari sekolah, Onizuka mengatakan jika menjadi guru malah kemudian menjadi
mimpi buruk untuk siswa, buat apa dia menjadi guru. “Kalian panggil orang
sampah, seakan-akan mereka benda. Mengapa kekerasan verbal ini dibolehkan?
Karena guru-guru seperti kalian, anak-anak ini dikeluarkan dari tempat aman
mereka. Jika kalian sebut ini pendidikan, aku tak ingin jadi guru. Kutolak
dengan senang hati”. Hal inilah yang kemudian
kepala sekolah yang diam-diam memperhatikan Onizuka sejak sebelum wawancara
sebagai guru di sekolah itu, memilih untuk menerimanya. Kepala sekolah
mengatakan tidak sabar dengan perubahan yang akan terjadi di sekolah jika
Onizuka menjadi guru di sekolah tersebut. Gerakan membanting tubuh
ke belakang yang dilakukan Onizuka merupakan teknik german suplex. Teknik ini
merupakan salah satu gerakan dalam cabang olahraga gulat dengan mengangkat
dan membanting tubuh lawan berlawanan dengan arah jarum jam. Tetapi german suplex dalam
konteks cara mendidik ala GTO adalah dengan berani menghadapi persoalan siswa
satu per satu. Cara ini akan memberikan efek kejut bagi siswa, agar mereka
memandang guru dengan cara pandang baru. Onizuka memberi syarat
bagi siswa yang butuh pertolongannya, untuk pertama-tama menjadi teman.
Relasi guru-siswa dalam situasi tertentu, dikesampingkan lebih dulu, dan
mengedepankan prinsip egaliter sebagai teman. Ketika menjadi teman, maka
pertolongan bisa diberikan tanpa batas, dan bila perlu menerobos batas-batas
tugas-pokok-fungsi guru. Kalau beberapa tahun
terakhir ini kita mendengar bahwa guru menjadi fasilitator belajar siswa,
maka Onizuka melangkah lebih jauh lagi. Guru menjadi teman bagi siswa. Secara
lisan tampaknya mudah, tapi realitasnya sulit. Tidak banyak guru yang mau
meluangkan waktu, tenaga, dan uang untuk mendampingi siswanya secara personal
satu per satu. Dengan menjadi teman, berarti guru juga harus mau meletakkan
superioritas dan senioritas mereka di depan siswa. Di pihak sebaliknya, siswa
juga harus mau menerima bahwa guru bisa saja membantu mereka menyelesaikan
persoalan pribadi. Bahkan bila perlu, guru masuk dalam ranah kehidupan
pribadi siswa. Saat pertama kali Onizuka
masuk ke kelas yang diampunya, ternyata tidak sesuai bayangannya bahwa
siswa-siswa bermasalah ini akan berisik, tidak menghormatinya dan bahkan
memberikan perilaku-perilaku yang tidak pantas di depannya. Di kelas ini, ternyata
siswa-siswanya diam, terlihat baik dan justru menghormati Onizuka yang
pertama masuk menjadi wali kelas mereka. Ternyata mereka merupakan
siswa-siswa yang mengerjai guru di belakang. Misalnya, keesokan harinya, ada
foto Onizuka bersama beberapa wanita tuna susila (WTS) dengan pose tubuh yang
sangat vulgar. Foto ini hasil editan
salah satu siswa di kelas itu yang memang dikenal ahlinya dalam berbagai hal
yang berkaitan dengan komputer. Seluruh siswa dan juga guru percaya dengan
hasil editan foto tersebut. Hal ini dimaklumi karena di tahun tersebut,
komputer masih jadi hal yang langka. Sehingga foto-foto editan menjadi suatu
keahlian yang sangat jarang dimiliki saat itu. Apakah Onizuka marah
dikerjai siswanya? Justru tidak. Dia malah mencari siswanya yang membuat foto
editan tersebut. Setelah ditemukan, Onizuka justru meminta siswa tersebut
membuat foto editan dia bersama tokoh-tokoh idola di Jepang
sebanyak-banyaknya. Siswa ini pun mulai menaruh respect terhadap Onizuka. Onizuka juga melakukan
pendekatan yang berbeda saat menangani siswanya yang berupaya untuk bunuh
diri. Siswa ini merupakan siswa laki-laki yang justru menjadi korban bullying
dari tiga siswa perempuan di kelas yang diampu Onizuka. Beberapa kali Onizuka
menyelamatkan siswa tersebut yang ingin melompat dari atap sekolah, bahkan
Onizuka pun ikut jatuh ke lantai 1. Setelah tahu siswa ini justru ahli dalam
permainan game di komputer, Onizuka meminta siswa tersebut untuk taruhan main
game komputer. Dan Onizuka pun tak pernah menang dan meminta siswa tersebut
untuk mengajarkannya. Perlahan-lahan, Onizuka mengangkat motivasi siswa
tersebut dari kelebihan yang dimilikinya. Pendidikan
Humanis Di satu waktu, satu orang
rekan sesama guru pernah menanyakan kepada Onizuka, “Apakah pak Onizuka tidak
terlalu terbuka menunjukkan masalah-masalah pribadi kepada siswa-siswa?”. Dan
dengan ringannya, Onizuka menjawab, “Sesekali siswa mengetahui kalau gurunya
memiliki masalah sama seperti mereka, tidak ada salahnya. Guru bukan hanya
mengajarkan pelajaran saja. Tapi guru juga bisa menjadi sahabat dimana
membuat nyaman siswanya”. Di balik sisi kontroversi
dari serial kartun atau anime Jepang ini, sosok Onizuka ingin menghidupkan
kembali sisi humanisme dalam pendidikan. Onizuka ingin menunjukkan seorang
guru pun tak perlu malu untuk memperlihatkan sisi-sisi kelemahan dan
kekurangannya. Onizuka tidak ingin menunjukkan sosok guru yang paling
berkuasa, paling benar dan tak pernah salah, dan hal ini ada di sosok sang
wakil kepala sekolah, yang dari awal pertemuan sudah memberikan aura
permusuhan kepada Onizuka. Onizuka juga tidak pernah
melabeli atau memberikan judgement kepada siswa-siswanya. Tiap dia mendengar
sesuatu tentang siswanya, dia akan mencari tahu kebenarannya dan kemudian
mencari solusinya. Onizuka tetap melihat siswa-siswanya sebagai manusia.
Sejalan dengan konsep memanusiakan manusia dalam dunia pendidikan. Setelah menonton sosok
Onizuka yang kontroversial, kemudian terbersit pertanyaan tentang pendidikan
humanisme dan guru yang humanis. Apakah semangat-semangat dalam mendidik yang
humanis di sosok Onizuka bisa kita tularkan ke siswa-siswa kita. Istilah pendidikan
humanisme muncul saat pendidikan sudah berjalan tidak di jalurnya. Pendidikan
hanya berjalan satu arah, guru memberi materi dan siswa hanya menerima dan
mendengarkan, guru selalu benar dan tidak bisa dibantah, siswa yang merasa
terkekang, stres dan bahkan depresi terhadap proses pendidikan, siswa yang
takut masuk sekolah dengan bayang-bayang hukuman dan masih banyak lagi.
Sekolah menjadi sesuatu yang menyeramkan bagi siswa. Mengenyam pendidikan
tidak lagi menyenangkan, tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan. Pendidikan sering halnya
muncul dengan wajah yang menakutkan, siswa dipandang sebagai objek pendidikan
dan guru sewenang-wenang dalam hal proses pembelajaran sehingga menimbulkan
terkendalanya proses kritis dan inofasinya siswa. Sering terjadi dewasa ini
guru menghukum siswa dengan cara yang tidak manusiawi. Sekolah seharusnya dapat
menjadi benteng dalam mencetak karakter bangsa dan pengajaran harus dapat
menumbuhkan potensi-potensi siswa yang beragam. Sehingga dapat mencetak
anak-anak bangsa yang berkarakter. Maka dari itu perlu sistem pendidikan
humanis sebagai solusinya. Menurut ki Hajar
Dewantara, pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
maksudnya ialah pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam mewujudkan
pendidikan yang humanis, maka perlu dukungan penuh dari sekolah dalam
menetapkan metode pendidikan humanis sebagai upaya untuk menghapus kekerasan
yang terjadi pada sekolah, dimana sekolah merupakan tempat mengembangkan
potensi, bakat serta membentuk karakter siswa yang baik. Pembelajaran merupakan
salah satu proses dalam menjalankan pendidikan, terdapat tiga lingkup
komponen dalam membentuk pembelajaran, yaitu
sumber, proses, dan produk. Instrumen untuk tercapainya tujuan
pendidikan adalah kurikulum, kurikulum merupakan pedoman pelaksanaan
pembelajaran pada semua jenis tingkat pembelajaran, dengan adanya kurikulum
pembelajaran akan terstruktur sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar
peserta didik. Dalam hal ini, guru
memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan seorang siswa melalui
proses pembelajaran, dimana guru harus menciptakan pembelajaran yang kreatif,
inovatif, aktif dan efektif. Namun terdapat beberapa kendala yang dihadapi
dalam proses pembelajaran berdasarkan konsep pendidikan humanisme yaitu
proses pembelajaran siswa lebih fokus pada pengembangan potensi siswa. Metode pembelajaran ini
lebih mengarah pada kemampuan siswa untuk menghafal materi yang diajarkan
bukan untuk dianalisis. Sehingga pengembangan intelektual siswa tidak
tercapai dan menciptakan generasi yang pandai secara teoritis, bukan yang
cerdas dalam menganalisa. Abraham Maslow sangat
dikenal karena juga merupakan pelopor aliran psikologi humanistik. Teorinya
yang sangat terkenal sampai dengan saat ini yaitu teori tentang Hierarchy of
Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan
atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis)
sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs
(hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki lima macam
kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and
security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs
(kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan
akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Menurut Maslow, pendidikan
yang humanis itu harus memenuhi lima macam kebutuhan ini. Kebutuhan
fisiologis merupakan kebutuhan yang paling utama, misalnya dengan makan,
minum, istirahat, bahkan kebutuhan untuk buang air kecil dan besar. Pertanyaannya sekarang,
apakah seluruh sekolah telah memenuhi kebutuhan fisiologis ini? Apakah siswa,
dan juga seluruh warga sekolah, mendapatkan akses makan dan minum yang bersih
dan layak? Apakah waktu istirahat sudah mencukupi? Apakah toilet di sekolah
juga layak untuk siswa, guru dan seluruh warga sekolah? Karena jika kebutuhan
dasar ini tidak terpenuhi, maka kebutuhan lainnya akan terhambat. Guru
dan Siswa Humanis Penerapan pendidikan
humanis akan menciptakan guru dan siswa yang humanis. Karena proses
pembelajaran akan terjadi dua arah, saling memberikan empati, saling bertukar
masalah dan berbagi solusinya dan yang paling penting tidak ada relasi kuasa
yang tidak seimbang. Guru menghargai siswanya, siswa menghormati gurunya. Dalam pendidikan humanis,
guru harus memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan
afektif siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan
emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral. Guru yang afektif bisa
menjadi guru-guru yang humanis. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik,
lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka mampu berhubungan dengan
mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara
kelompok. Ciri-ciri guru yang
afektif dalam pendidikan humanisme antara lain: a. Guru yang mempunyai
persepsi bahwa siswanya mampu memecahkan masalah mereka sendiri dengan baik b. Guru yang memprediksi
bahwa siswanya mempunyai sifat ramah, bersahabat serta memiliki sifat ingin
berkembang. c. Guru yang menghargai
siswanya. d. Guru yang mempunyai
persepsi bahwa siswanya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dari dalam
dirinya sendiri. Dia melihat siswanya mempunyai kreativitas dan dinamika dan
bukan orang yang pasif. e. Guru yang menganggap pada
dasarnya siswa dapat dipercaya dan dapat diandalkan. f. Guru yang memandang
siswanya dapat memenuhi dan meningkatkan dirinya. Bagaimana dengan siswanya?
Pendidikan humanis membantu siswa dalam mengembangkan dirinya sesuai dengan
potensinya. Bimbingan yang tidak mengekang siswa dalam proses pembelajaran
mempermudah penanaman nilai-nilai yang memberi informasi mengenai hal yang
positif dan negatif. Proses dapat belajar
berjalan lancar apabila siswa dapat menguji kemampuannya, pengalaman baru
dengan membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat ancaman yang dapat
menyinggung perasaannya. Belajar atas inisiatif siswa sendiri dapat
memusatkan perhatian siswa baik pada proses maupun terhadap hasil belajar. Kebebasan yang diusung
dalam pendidikan humanis adalah kebebasan yang bebas nilai. Kebebasan dalam
segala aspek kehidupan. Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan
peserta didik memahami potensi diri mengembangkan potensi dirinya secara
positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Saat masih menempuh
pendidikan tinggi, saya sempat mengajar mata pelajaran Sejarah di beberapa
sekolah. Dan sempat mencoba untuk mengembangkan pendidikan humanis selama
saya mengajar. Menurut saya, materi-materi di mata pelajaran Sejarah sangat
bisa dikembangkan menjadi materi untuk pembentukan karakter atau character
building. Namun ternyata memang
idealisme tak selalu sejalan dengan realita. Setelah beberapa kali menerapkan
pendidikan humanis di kelas, saya menyadari, pendekatan ini membutuhkan
banyak waktu. Sedangkan mata pelajaran sejarah sangat banyak materinya.
Dengan melakukan pendidikan humanis, justru siswa-siswa saya ketinggalan
materi pelajaran yang akan diujikan dalam ujian. Kurikulum saat itu, dimana
siswa ditekan untuk meraih nilai sebesar mungkin, menghapal sebanyak mungkin,
mengutamakan hasil daripada proses pembelajarannya, sangat sulit untuk saya
menerapkan pendidikan yang humanis. Justru saya malah merasa menjadi bagian
dalam ‘lingkaran setan’ dalam mencetak siswa-siswa seperti robot. Kurikulum
Merdeka Sejak Maret 2020 hingga
saat ini, sekitar dua tahun, pembelajaran di sekolah dihentikan dan
digantikan dengan pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Banyak anak-anak di generasi tersebut dinilai telah mengalami ketertinggalan
pembelajaran atau learning loss. Sehingga mereka kesulitan untuk mencapai
kompetensi dasar sebagai peserta didik. Untuk mengatasi krisis
pembelajaran, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode
Kelima belas yaitu Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar pada
februari 2022 lalu. Saat itu, Nadiem menilai perlu ada solusi untuk mengatasi
krisis pembelajaran tersebut dan diyakini hal itu dalam bentuk Kurikulum
Merdeka Belajar. Nadiem juga memaparkan
sejumlah keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan mendalam
karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan pengembangan
kompetensi peserta didik pada fasenya. Kemudian, tenaga pendidik dan peserta
didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak ada program
peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai dengan minat,
bakat, dan aspirasinya. Sedangkan bagi guru,
mereka akan mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik.
Lalu sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum
dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta
didik. Keunggulan lain dari
penerapan Kurikulum Merdeka ini adalah lebih relevan dan interaktif di mana
pembelajaran melalui kegiatan proyek akan memberikan kesempatan lebih luas
kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual,
misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan
karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila. Satuan pendidikan dapat
memilih tiga opsi dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka pada Tahun
Ajaran 2022/2023. Pertama, menerapkan beberapa bagian dan prinsip Kurikulum
Merdeka tanpa mengganti kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan.
Kedua, menerapkan Kurikulum Merdeka menggunakan perangkat ajar yang sudah
disediakan. Ketiga, menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengembangkan sendiri
berbagai perangkat ajar. Nadiem memastikan dengan Merdeka Belajar, tidak akan
ada pemaksaan penerapan (Kurikulum Merdeka) ini selama dua tahun ke depan. Kurikulum Merdeka yang
diklaim mampu mendukung pemulihan pembelajaran akibat pandemi Covid-19 yang
memunculkan learning loss ini, nantinya akan memiliki beberapa karakteristik.
Pertama, pembelajaran berbasis projek (project based learning) untuk
pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Kedua,
fokus pembelajaran pada materi esensial akan membuat pembelajaran lebih
mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Ketiga, guru
memiliki fleksibilitas untuk melakukan pembelajaran berdiferensiasi sesuai
kemampuan siswa dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal. Secara idealnya, kita akan
membayangkan Kurikulum Merdeka Belajar ini akan seperti pendidikan humanis
seperti teorinya Abraham Maslow. Dengan Kurikulum Merdeka Belajar,
pembelajaran akan berpusat untuk siswa, untuk kebutuhan siswa, untuk pemenuhan
fasilitas, untuk menunjang siswa serta untuk menyalurkan minat dan bakat
siswa. Sekolah pun akan
terbayangkan menjadi lebih ramah kepada siswa. Siswa diberikan porsi yang
lebih banyak untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengembangan sekolah. Siswa
merdeka belajar yang diinginkan tanpa harus merasa ‘terintimidasi’ dengan
pelajaran-pelajaran yang tidak disukai dan bahkan harus diujiankan dengan
minimum nilai kelulusan. Dan mungkin yang lebih
revolusioner lagi, siswa dapat ikut serta dalam tiap kebijakan sekolah. Siswa
bisa menentukan jam masuk dan pulang sekolah. Siswa, mungkin melalui OSIS,
bisa ikut serta dalam rapat persetujuan anggaran sekolah. Siswa pun bisa ikut
menentukan dan mengadakan pemilihan kepala sekolah secara demokratis. Jika
semua itu diterapkan, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana humanisnya
sistem pendidikan kita nantinya. Akan tetapi, saat ini,
saya sebagai guru secara umum, pun masih merasa meraba-raba terkait teknis
pelaksanaan dari Kurikulum Merdeka Belajar ini. Bagaimana nanti penerapan
pelaksanaan di sekolah dengan fokus terhadap pengembangan minat dan bakat
siswa. Jika Nadiem memastikan
tidak akan terjadi guru yang mengalami kekurangan jam mengajar, bagaimana
memastikannya? Misalnya untuk mata pelajaran sejarah, saya akui, pelajaran
ini bukan merupakan favorit untuk siswa-siswa pelajari. Mengingat begitu
banyak materi yang diajarkan di mata pelajaran tersebut dan selama ini guru
sejarah pun cenderung ‘memaksa’ siswa untuk menghapal seluruh materi agar
memperoleh nilai sesuai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Pertanyaannya lagi, sejauh
apa sekolah mampu memfasilitasi bakat dan minat siswa? Mungkin sekolah yang
memiliki fasilitas yang lengkap tidak akan banyak mengalami kesulitan.
Bagaimana dengan sekolah kecil yang hanya menggantungkan seluruh operasional
sekolah dari iuran siswa? Bagaimana mereka bisa memfasilitasi minat dan bakat
siswa, jika sekolah terbelit masalah jumlah guru, bagaimana membayar gaji
guru, bagaimana bangku dan meja di kelas tetap nyaman untuk siswa belajar.
Hal ini tidak hanya terjadi di sekolah di daerah-daerah pedalaman saja, namun
sekolah-sekolah swasta di kota-kota besar yang hidupnya kembang kempis masih
banyak terjadi. Belum lagi, masalah
kesiapan guru dan sekolah dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka
Belajar. Selama ini, guru tidak pernah memiliki pengalaman dalam pembelajaran
merdeka, referensi terkait pembelajaran merdeka juga terbatas,serta perlu
waktu untuk guru menerapkan kurikulum ini. Belum lagi, project based learning
masih dianggap sebagai ‘barang langka’ bagi guru-guru saat ini. Dengan waktu tersisa
kurang dari satu bulan untuk tahun ajaran baru dan menerapkan kurikulum baru
ini akan sulit. Memang Kemendikbud memberikan toleransi selama dua tahun
dalam beradaptasi untuk menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar, mungkin hal ini
perlu diimbangi dengan berbagai pelatihan untuk guru-guru, terutama di
daerah-daerah, agar mudah dan merasa nyaman dalam penerapannya. Yang pasti, dengan adanya
Kurikulum Merdeka Belajar, saya melihat ada peluang sangat besar untuk
memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang
mengutamakan proses belajar, bukan hasil. Sistem pendidikan yang
memprioritaskan kebutuhan siswa, bukan menuntut siswa untuk berkompetisi atas
nama sekolah. Sistem pendidikan yang memerdekakan, bukan justru malah
membelenggu. Seperti yang Onizuka
katakan, “Sekolah harus menjadi tempat yang aman untuk anak-anak”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar