Dilema Pengusaha
Makanan dan Minuman Menghadapi Kenaikan Harga Elpiji Caesar Akbar : Jurnalis
Tempo |
KORAN TEMPO, 12 Juli 2022
Dunia usaha, terutama
sektor makanan dan minuman, berancang-ancang menghadapi kenaikan harga elpiji
non-subsidi yang mencapai Rp 2.000 per kilogram. Kenaikan harga ini otomatis
mengerek modal produksi para pelaku usaha, dari tingkat usaha mikro, kecil,
dan menengah hingga level industri menengah dan besar. Ketua Umum Gabungan
Produsen Makanan-Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi Lukman, mengatakan industri
selama ini tidak memakan gas dan bahan bakar subsidi sehingga biaya
produksinya bergantung pada harga energi komersial. "Kondisi ini
merupakan rangkaian tantangan bagi industri makanan dan minuman, dari
kenaikan harga komoditas bahan baku, biaya logistik, hingga harga
energi," ujar Adhi kepada Tempo, kemarin. Meski menghadapi rentetan
kenaikan harga itu, Adhi mengatakan para pelaku usaha selalu berupaya sebisa
mungkin tak menaikkan harga jual produknya. Upaya menahan harga itu
dilakukan, misalnya, dengan mensubstitusi bahan baku, mengefisienkan proses
sepanjang rantai pasok, dan merelakan margin keuntungannya tergerus. Namun, pada titik
tertentu, para pelaku usaha akhirnya tidak bisa lagi bertahan dan harus
menaikkan harga. "Bila sudah tidak bisa (bertahan), kenaikan harga atau
perubahan ukuran jual menjadi solusi terakhir," tutur Adhi. Wakil Ketua Umum Bidang
Restoran Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Emil Arifin,
mengimbuhkan, rata-rata beban harga elpiji pada usaha restoran berdampak
sebesar 3-5 persen dari total biaya, bergantung pada model restorannya.
Karena itu, kenaikan harga elpiji sebesar 12-15 persen akan membuat para
pelaku usaha mesti berpikir untuk menekan biaya pada pos lain guna menjaga
harga jual. "Restoran yang
modelnya boros energi, mau tidak mau, harus mulai memodifikasi alur prosesnya
agar lebih efisien. Hal lain yang bisa dilakukan mungkin berupa perubahan
pada menu atau membuat menu pengganti," ujar dia. Setali tiga uang, Ketua
Umum Akumandiri—asosiasi industri usaha mikro, kecil, dan menengah—Hermawati
Setyorinny mengatakan para pelaku UMKM memiliki berbagai alternatif strategi
untuk menekan biaya produksi tanpa menekan kualitas. Misalnya dengan
mengganti bahan baku produk. Namun ada pula pelaku usaha yang memilih
mengurangi kuantitas atau volume produk maupun menaikkan harga. Hermawati justru
mempersoalkan pengumuman atau sosialisasi kenaikan harga elpiji yang tidak dilakukan
dari jauh-jauh hari. "Saya berharap pemerintah bisa memberikan
penjelasan kepada masyarakat dari jauh-jauh hari. Meskipun kami paham bahwa
alasan kenaikan harga gas elpiji dan BBM non-subsidi disebabkan oleh
perkembangan harga minyak dan gas dunia." Hermawati membenarkan
bahwa harga elpiji memakan porsi biaya cukup besar bagi pelaku usaha sektor
makanan dan minuman. Apalagi kenaikan harga itu sebesar Rp 2.000 per kilogram
atau bisa mencapai Rp 11 ribu untuk elpiji 5,5 kilogram dan Rp 24 ribu bagi pengguna
elpiji 12 kilogram. "(Kenaikan harga ini) sangat terasa, terutama bagi
para ibu rumah tangga." Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan kenaikan harga
elpiji dan bahan baku lainnya sangat mungkin menyebabkan harga produk
makanan-minuman terkerek naik. Bila hal itu terjadi, artinya kenaikan harga
ditransmisikan langsung kepada konsumen. Namun ia yakin bahwa para
pelaku usaha akan berupaya agar kenaikan harga itu tidak mengurangi daya beli
konsumen. "Tapi tetap, tanpa ada kenaikan harga (produk), ya, berat
juga, pasti ada kenaikan. Tapi pasti pengusaha akan mengatur kenaikan
harganya agar masih bisa diserap oleh pasar," ujarnya. Dengan demikian,
pasar akan mencari titik keseimbangan baru. Direktur Indonesia Development
and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, memperkirakan kenaikan harga
produk energi non-subsidi itu akan memberikan dampak tekanan pada inflasi.
Akibatnya, target pemerintah menjaga inflasi di kisaran maksimum 4 persen
diperkirakan sulit tercapai. "Harga elpiji
non-subsidi sudah berkali-kali naik sejak awal 2022. Jika sekarang kembali
naik dan diikuti harga BBM non-subsidi yang ikut naik, hal ini
mengindikasikan lemahnya kapasitas fiskal untuk menahan administered
prices," ujar Yusuf. Hal ini diperkirakan menguatkan ekspektasi inflasi
ke depan. Jika ekspektasi inflasi
sulit dikendalikan, ditambah banyaknya wacana kenaikan harga di masa depan,
hal itu dapat memicu kenaikan permintaan sebagai antisipasi kenaikan harga.
Akibatnya, tekanan permintaan ke harga akan semakin besar. Dengan kondisi
saat ini, Yusuf memprediksi inflasi hingga akhir 2022 berpotensi menembus 5
persen. Deputi Bidang Koordinasi
Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar
Simorangkir, yakin kenaikan harga elpiji non-subsidi tidak akan signifikan
mengerek inflasi. Musababnya, porsi elpiji non-subsidi dianggap relatif tidak
begitu besar terhadap inflasi. "Kenaikan inflasi
tahunan pada Juni menjadi 4,35 persen dibanding pada tahun sebelumnya lebih
disebabkan oleh kenaikan harga pangan, seperti cabai karena musim hujan yang
panjang," ujar Iskandar. Ia mengatakan pemerintah akan terus
mengendalikan inflasi dengan meningkatkan subsidi dan produksi, serta menjaga
kelancaran distribusi barang dan jasa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar