Editorial: Kenapa
Proyek Lumbung Pangan Jokowi Harus Dihentikan Editorial : Dewan Redaksi Koran
Tempo |
KORAN TEMPO, 12 Juli 2022
PRESIDEN Joko Widodo lebih
baik segera menghentikan program lumbung pangan atau food estate yang
berantakan sejak tahap perencanaan. Alih-alih mendapatkan hasil maksimal
untuk mencapai swasembada pangan, program ini terbukti bermasalah di sejumlah
daerah. Melanjutkan program ini hanya akan menambah kerugian negara dan
kerusakan lingkungan yang sulit diperbaiki. Penelusuran Tempo
menunjukkan compang-camping proyek food estate yang dimulai pada pertengahan
2020 dengan biaya hingga Rp 1,2 triliun itu. Di Humbang Hasundutan, Sumatera
Utara, misalnya, tempat penampungan air yang dibangun pada 2021 terlihat
kering dan tak ada aliran air ke lahan pertanian. Tanpa irigasi, bagaimana
panen bisa tercipta? Sebagian besar petani, yang harus mengambil air lebih
dari satu kilometer jauhnya, akhirnya memilih menanam kol dan jagung. Temuan tersebut selaras
dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada semester kedua tahun lalu.
BPK menemukan kondisi serupa di proyek food estate di Kalimantan Tengah dan
Nusa Tenggara Timur. Di Kalimantan Tengah, infrastruktur pengelolaan air juga
tak berfungsi. Lahan bekas pengembangan gambut pada era Presiden Soeharto itu
pun terendam air sehingga tak bisa dimanfaatkan. Sejak awal, gembar-gembor
pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan tak disertai dengan
perencanaan yang baik dan menabrak sejumlah aturan. Di kawasan Gunung Mas,
Kalimantan Tengah, ratusan hektare hutan ditebang empat bulan sebelum Kajian
Lingkungan Hidup Strategis, yang menjadi syarat perizinan, terbit. Warga
setempat tak pernah diajak berdiskusi soal rencana proyek ini. Mereka pun
tersudut ketika tentara dikerahkan untuk membabat hutan yang menjadi tempat
tinggalnya. Bahkan food estate lebih
terkesan menjadi bancakan tokoh-tokoh dan partai politik. Setidaknya ada dua
perusahaan, yaitu PT Agro Industri Nasional alias Agrinas dan M-Tani, yang
terafiliasi dengan pejabat dan partai. Agrinas dimiliki oleh Yayasan
Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan, dibentuk Kementerian Pertahanan
yang dipimpin oleh Prabowo Subianto. Sedangkan M-Tani dimiliki oleh Kepala
Staf Kepresidenan Moeldoko. Hingga sekarang, tak jelas betul hasil yang
dicapai dua perusahaan itu. Buruknya perencanaan dan
pelaksanaan proyek, seperti bisa ditebak, berujung pada minimnya
produktivitas lumbung pangan. Di Humbang Hasundutan, produktivitas bawang
merah hanya 5,18 ton per hektare, jauh di bawah capaian nasional sebesar 9,71
ton per hektare. Bahkan budi daya kentang hanya menghasilkan 8,3 ton per
hektare, tak sampai separuh dari produktivitas nasional sebanyak 19,55 ton
per hektare. Rendahnya produktivitas
itu tak sebanding dengan dampak buruk yang dihasilkan proyek food estate.
Pembabatan hutan alam seluas 600 hektare di kawasan Gunung Mas telah memicu
pelepasan sedikitnya 250 ribu ton emisi karbon. Hilangnya wilayah tangkapan
air juga membuat desa-desa di sekitarnya terendam air di musim hujan. Belum
lagi tergusurnya habitat orang utan. Presiden Jokowi
nyata-nyata telah jatuh ke lubang yang sama dengan para pendahulunya. Pada
masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, proyek Merauke Integrated
Food and Energy Estate malah gagal dan memiskinkan petani. Begitu pula dengan
Presiden Soeharto yang berimajinasi mengubah lahan gambut di Kalimantan
menjadi sawah. Ketimbang menambah besar
kerugian akibat proyek lumbung pangan atau food estate, Jokowi—lulusan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada—lebih baik segera menyadari
kegagalannya dan menghentikan proyek fantasi ini. Presiden perlu belajar dari
kesalahannya selama ini, bahwa proyek ambisius yang tak realistis hanya akan
menciptakan kerugian bagi banyak orang dan lingkungan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar