Rabu, 13 Juli 2022

 

Bagaimana Pemerintah Cegah Migrasi Setelah Harga Elpiji Naik

Caesar Akbar :   Jurnalis Tempo

KORAN TEMPO, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

Pemerintah mematangkan rencana penerapan subsidi energi tertutup, salah satunya elpiji, untuk memastikan penyaluran dana pemerintah tepat sasaran. Di samping itu, skema tersebut dianggap bisa meredam migrasi konsumen produk non-subsidi ke produk subsidi.

 

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan penerapan subsidi tertutup akan mengandalkan sistem milik PT Pertamina (Persero). "Nantinya akan pakai sistem IT Pertamina untuk subsidi tertutup kepada yang berhak saja," ujar dia kepada Tempo. Ia mengatakan sampai sekarang penerapan skema tersebut masih dalam tahap transisi.

 

Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengatakan perseroan masih mengembangkan sistem MyPertamina untuk penerapan subsidi tertutup elpiji tersebut. Namun dia belum bisa memastikan kapan sistem tersebut bisa diimplementasikan. "Masih dalam proses pengembangan sistem. Belum akan mulai," ujar dia.

 

Isu potensi migrasi konsumen dari produk non-subsidi ke produk subsidi mencuat setelah Pertamina mengumumkan kenaikan harga elpiji non-subsidi sebesar Rp 2.000 per kilogram. Kenaikan harga itu akan memperlebar jarak antara elpiji bersubsidi dan yang non-subsidi.

 

Harga Elpiji 12 Kg Rp 213 Ribu

 

Menyitir laman resmi Pertamina, Bright Gas 5,5 kilogram kini dibanderol Rp 100 ribu atau sekitar Rp 18 ribu per kilogram. Sedangkan untuk ukuran 12 kilogram dijual Rp 213 ribu atau sekitar Rp 17.750 per kilogram di DKI Jakarta. Sementara itu, harga tabung gas "melon" alias 3 kilogram masih dipatok Rp 21 ribu atau Rp 7.000 per kilogram.

 

"Harga ini masih sangat kompetitif dibanding produk dengan kualitas setara. Untuk yang subsidi, pemerintah masih turut andil besar dengan tidak menyesuaikan harganya," tutur Irto.

 

Dia mengatakan penyesuaian itu terus dilakukan secara berkala sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU). Penyesuaian harga itu, kata dia, dilakukan mengikuti tren harga pada industri minyak dan gas dunia.

 

"Saat ini penyesuaian kami lakukan kembali untuk produk Pertamax Turbo dan Dex Series yang porsinya sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional, serta produk elpiji non-subsidi yang porsinya sekitar 6 persen dari total konsumsi elpiji nasional,” kata Irto.

 

Tercatat, harga minyak mentah Indonesia per Juni menyentuh angka US$ 117,62 per barel, lebih tinggi sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022. Begitu pula dengan elpiji, tren harga contract price Aramco, masih pada Juli, mencapai US$ 725 per metrik ton atau lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang 2021.

 

57,9 Persen Elpiji Subsidi Dinikmati Orang Kaya

 

Isu migrasi konsumsi itu diperkirakan menambah pelik persoalan subsidi tidak tepat sasaran pada elpiji. Menukil data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, apabila dilihat dari tingkat pendapatan masyarakat, kelompok masyarakat 4 desil termiskin hanya menikmati subsidi elpiji 3 kilogram sebesar 23,3 persen dari total subsidi. Sedangkan masyarakat 4 desil terkaya menikmati 57,9 persen total elpiji bersubsidi.

 

Penyaluran elpiji bersubsidi yang tidak tepat itu, menurut ESDM,  dilematis karena hampir 80 persen penyediaan elpiji di Indonesia berasal dari impor. Ditambah lagi, harga komoditas energi meningkat akibat konflik geopolitik. Saat ini harga keekonomian elpiji sudah mencapai Rp 19.609 per kilogram.

 

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, mengatakan kenaikan harga elpiji non-subsidi memang perlu dilakukan lantaran Indonesia adalah net importer elpiji. Maka, harganya sangat dipengaruhi oleh harga pasar global. Namun ia mengatakan pemerintah memang perlu mengantisipasi adanya aksi "turun kelas" dari konsumen lantaran disparitas harga yang semakin lebar antara subsidi dan non-subsidi.

 

Karena itu, menurut dia, pemerintah harus melakukan beberapa langkah untuk mencegah migrasi itu. Langkah utama yang bisa dilakukan adalah subsidi tertutup per nama per alamat. "Pemerintah juga harus memperkecil disparitas harga," ujar Tulus.

 

Pendapat Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Rizal Edy Halim, idem ditto. Dia mengatakan pemerintah harus menyiapkan upaya untuk menertibkan penjualan elpiji agar hanya diterima masyarakat yang berhak. "Kalau ada yang migrasi, berarti keliru dan harus ditertibkan," ujar dia. Di samping itu, pemerintah diminta terus melakukan edukasi agar masyarakat kelas menengah ke atas hanya menikmati elpiji non-subsidi.

 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, sepakat bahwa, semakin lebar disparitas harga barang subsidi dan non-subsidi, akan semakin tinggi tingkat migrasinya. Dengan begitu, pembatasan pembelian barang bersubsidi dengan kriteria tertentu bisa diambil untuk mencegah hal tersebut. Masalahnya, menurut dia, pembatasan tersebut akan berimbas pada daya beli masyarakat kelas menengah karena mereka harus mengeluarkan duit lebih banyak untuk biaya kebutuhan hidup.

 

Dengan penurunan daya beli tersebut, Bhima memperkirakan penjualan berbagai produk sekunder dan tersier akan terimbas. "Siap-siap penjualan rumah, kendaraan bermotor, dan barang elektronik akan turun. Adapun masyarakat atas cenderung melakukan saving atau menahan diri untuk belanja karena ini menunjukkan sinyal inflasi akan tinggi pada tahun ini," ujar dia.

 

Menurut dia, laju inflasi pada keseluruhan tahun ini bisa menyentuh 5-5,5 persen karena kenaikan harga energi tersebut.

 

Pemerintah juga harus mencari cara guna mempercepat pendataan masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi elpiji. Namun, menurut dia, penggunaan MyPertamina dikhawatirkan malah bisa menyulitkan masyarakat miskin yang berhak membeli. Pilihan lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah secara paralel mendorong pembangunan jaringan gas untuk mengurangi ketergantungan pada elpiji impor. "Windfall dari pendapatan pajak dan PNBP komoditas ekspor, sebaiknya sebagian disisihkan untuk membangun jaringan pipa gas. Itu solusi. Tapi selama ini progresnya lambat dan kurang jadi prioritas," kata Bhima. ●

 

Sumber :  https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/475039/bagaimana-pemerintah-cegah-migrasi-setelah-harga-elpiji-naik

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar