Bagaimana Pemerintah
Cegah Migrasi Setelah Harga Elpiji Naik Caesar Akbar : Jurnalis
Tempo |
KORAN TEMPO, 12 Juli 2022
Pemerintah mematangkan
rencana penerapan subsidi energi tertutup, salah satunya elpiji, untuk
memastikan penyaluran dana pemerintah tepat sasaran. Di samping itu, skema
tersebut dianggap bisa meredam migrasi konsumen produk non-subsidi ke produk
subsidi. Deputi Bidang Koordinasi
Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar
Simorangkir, mengatakan penerapan subsidi tertutup akan mengandalkan sistem
milik PT Pertamina (Persero). "Nantinya akan pakai sistem IT Pertamina
untuk subsidi tertutup kepada yang berhak saja," ujar dia kepada Tempo.
Ia mengatakan sampai sekarang penerapan skema tersebut masih dalam tahap
transisi. Sekretaris Perusahaan PT
Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengatakan perseroan masih mengembangkan
sistem MyPertamina untuk penerapan subsidi tertutup elpiji tersebut. Namun
dia belum bisa memastikan kapan sistem tersebut bisa diimplementasikan.
"Masih dalam proses pengembangan sistem. Belum akan mulai," ujar
dia. Isu potensi migrasi
konsumen dari produk non-subsidi ke produk subsidi mencuat setelah Pertamina
mengumumkan kenaikan harga elpiji non-subsidi sebesar Rp 2.000 per kilogram.
Kenaikan harga itu akan memperlebar jarak antara elpiji bersubsidi dan yang
non-subsidi. Harga
Elpiji 12 Kg Rp 213 Ribu Menyitir laman resmi
Pertamina, Bright Gas 5,5 kilogram kini dibanderol Rp 100 ribu atau sekitar
Rp 18 ribu per kilogram. Sedangkan untuk ukuran 12 kilogram dijual Rp 213
ribu atau sekitar Rp 17.750 per kilogram di DKI Jakarta. Sementara itu, harga
tabung gas "melon" alias 3 kilogram masih dipatok Rp 21 ribu atau
Rp 7.000 per kilogram. "Harga ini masih
sangat kompetitif dibanding produk dengan kualitas setara. Untuk yang
subsidi, pemerintah masih turut andil besar dengan tidak menyesuaikan
harganya," tutur Irto. Dia mengatakan penyesuaian
itu terus dilakukan secara berkala sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan
bakar umum (JBU). Penyesuaian harga itu, kata dia, dilakukan mengikuti tren
harga pada industri minyak dan gas dunia. "Saat ini penyesuaian
kami lakukan kembali untuk produk Pertamax Turbo dan Dex Series yang porsinya
sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional, serta produk elpiji
non-subsidi yang porsinya sekitar 6 persen dari total konsumsi elpiji
nasional,” kata Irto. Tercatat, harga minyak
mentah Indonesia per Juni menyentuh angka US$ 117,62 per barel, lebih tinggi
sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022. Begitu pula dengan
elpiji, tren harga contract price Aramco, masih pada Juli, mencapai US$ 725
per metrik ton atau lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang 2021. 57,9
Persen Elpiji Subsidi Dinikmati Orang Kaya Isu migrasi konsumsi itu
diperkirakan menambah pelik persoalan subsidi tidak tepat sasaran pada
elpiji. Menukil data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, apabila
dilihat dari tingkat pendapatan masyarakat, kelompok masyarakat 4 desil
termiskin hanya menikmati subsidi elpiji 3 kilogram sebesar 23,3 persen dari
total subsidi. Sedangkan masyarakat 4 desil terkaya menikmati 57,9 persen total
elpiji bersubsidi. Penyaluran elpiji
bersubsidi yang tidak tepat itu, menurut ESDM, dilematis karena hampir 80 persen
penyediaan elpiji di Indonesia berasal dari impor. Ditambah lagi, harga
komoditas energi meningkat akibat konflik geopolitik. Saat ini harga
keekonomian elpiji sudah mencapai Rp 19.609 per kilogram. Ketua Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, mengatakan kenaikan harga elpiji
non-subsidi memang perlu dilakukan lantaran Indonesia adalah net importer
elpiji. Maka, harganya sangat dipengaruhi oleh harga pasar global. Namun ia
mengatakan pemerintah memang perlu mengantisipasi adanya aksi "turun
kelas" dari konsumen lantaran disparitas harga yang semakin lebar antara
subsidi dan non-subsidi. Karena itu, menurut dia,
pemerintah harus melakukan beberapa langkah untuk mencegah migrasi itu.
Langkah utama yang bisa dilakukan adalah subsidi tertutup per nama per
alamat. "Pemerintah juga harus memperkecil disparitas harga," ujar
Tulus. Pendapat Ketua Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, Rizal Edy Halim, idem ditto. Dia mengatakan
pemerintah harus menyiapkan upaya untuk menertibkan penjualan elpiji agar
hanya diterima masyarakat yang berhak. "Kalau ada yang migrasi, berarti
keliru dan harus ditertibkan," ujar dia. Di samping itu, pemerintah
diminta terus melakukan edukasi agar masyarakat kelas menengah ke atas hanya
menikmati elpiji non-subsidi. Direktur Center of
Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, sepakat bahwa, semakin
lebar disparitas harga barang subsidi dan non-subsidi, akan semakin tinggi
tingkat migrasinya. Dengan begitu, pembatasan pembelian barang bersubsidi
dengan kriteria tertentu bisa diambil untuk mencegah hal tersebut.
Masalahnya, menurut dia, pembatasan tersebut akan berimbas pada daya beli
masyarakat kelas menengah karena mereka harus mengeluarkan duit lebih banyak
untuk biaya kebutuhan hidup. Dengan penurunan daya beli
tersebut, Bhima memperkirakan penjualan berbagai produk sekunder dan tersier
akan terimbas. "Siap-siap penjualan rumah, kendaraan bermotor, dan
barang elektronik akan turun. Adapun masyarakat atas cenderung melakukan
saving atau menahan diri untuk belanja karena ini menunjukkan sinyal inflasi
akan tinggi pada tahun ini," ujar dia. Menurut dia, laju inflasi
pada keseluruhan tahun ini bisa menyentuh 5-5,5 persen karena kenaikan harga
energi tersebut. Pemerintah juga harus
mencari cara guna mempercepat pendataan masyarakat yang berhak mendapatkan
subsidi elpiji. Namun, menurut dia, penggunaan MyPertamina dikhawatirkan
malah bisa menyulitkan masyarakat miskin yang berhak membeli. Pilihan lain
yang bisa dilakukan pemerintah adalah secara paralel mendorong pembangunan
jaringan gas untuk mengurangi ketergantungan pada elpiji impor.
"Windfall dari pendapatan pajak dan PNBP komoditas ekspor, sebaiknya
sebagian disisihkan untuk membangun jaringan pipa gas. Itu solusi. Tapi
selama ini progresnya lambat dan kurang jadi prioritas," kata Bhima. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar