Minggu, 17 Juli 2022

 

Bagaimana Thailand Melegalkan Ganja

Budiarti Utami Putri :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 16 Juli 2022

 

 

                                                           

WANGI kembang ganja menguar hampir di sepanjang Khao San Road, pusat Kota Bangkok, Senin malam, 11 Juli lalu. Kawasan hiburan sejarak setengah kilometer itu berubah menjadi pasar mariyuana sejak legalisasi ganja diberlakukan oleh pemerintah Thailand pada 9 Juni lalu. Tak ada polisi yang melotot atau berancang-ancang memborgol pembeli ganja di jalan yang riuh oleh jedak-jeduk musik itu.

 

Bahkan penduduk Bangkok yang tak memiliki toko ikut berjualan kanabis di atas meja kayu. Berbeda dengan toko-toko yang menyimpan stok ganja di dalam stoples, mereka menyediakan mariyuana yang sudah digulung. Harganya 70-200 baht atau Rp 30-90 ribu per linting. Jarak satu penjual dengan pedagang lain ada yang tak sampai sepelemparan sandal. Beberapa di antaranya melambaikan tangan ke arah sejumlah turis sebagai ajakan mampir.

 

Arena ganja di Khao San Road lebih ramai ketimbang kota seperti Amsterdam, Belanda, yang lebih dulu melegalkan ganja tapi hanya di tempat yang telah berizin. Di satu ruas terparkir foodtruck yang menjual berbagai jenis kembang ganja lengkap dengan alat linting dan kertasnya. “Saya biasanya menyarankan orang untuk tidak merokok secara terbuka,” kata pegawai foodtruck N’Louis Happy Buds itu.

 

Dua kali menyambangi Khao San, saya tak mendapati orang nyimeng atau mencium bau asap mariyuana di sepanjang jalan. Pemerintah Thailand melarang bakar-bakar ganja di area publik. Pembeli ganja juga harus berusia 20 tahun ke atas. Para pegawai toko kerap meminta identitas pengunjung.

 

Suasana serupa terlihat di Jalan Lat Phrao, Kota Bangkok. Di Highland Cafe, yang memajang gambar ganja di sebuah plang berlampu, budtender—sebutan bagi pegawai di toko ganja—sibuk menjelaskan berbagai jenis bunga ganja kepada calon pembeli. Tapi, di balkon lantai dua Highland, dua turis berkebangsaan Inggris terlihat santai menyesap selinting ganja bergiliran.

 

Jimmy dan Azza Sanderson nama mereka. Kakak-adik itu mengaku sudah dua jam duduk di sana dan menghabiskan empat linting ganja. Mereka membeli kembang kanabis jenis Dutch Kush dari galur indica. Di layar keterangan Highland Cafe, varian itu memiliki rasa peach dan apricot serta menimbulkan efek lapar dan mengantuk. Satu gramnya dibanderol 400 baht atau sekitar Rp 178 ribu.

 

Kendati ada marka dilarang merokok ganja di kafe itu, Azza mengaku tak ditegur oleh anggota staf kafe. Pegawai yang datang bahkan menanyakan rasa dan kualitas ganja yang mereka isap. “Kami cuma pengen chill dan rileks,” ucap Azza. Kami sempat berbincang soal kenikmatan ganja. Jimmy tercengang ketika mendengar cerita bahwa di Indonesia pengisap ganja bisa dipenjara bertahun-tahun.

 

Legalisasi ganja di Thailand juga terlihat di pelbagai produk makanan dan minuman, seperti kue kering, brownie, dan teh. Ketika berjalan-jalan di Pasar Akhir Pekan Chatuchak, Bangkok, pada Sabtu, 9 Juli lalu, saya menjajal teh yang berasal dari daun ganja di Green Cup Cafe. Harganya 89 baht atau sekitar Rp 40 ribu, lebih mahal ketimbang es latte yang dijual 50 baht.

 

Pemilik Green Cup Cafe, Aod, 48 tahun, mengatakan cannabis tea jualannya berasal dari daun ganja yang mengandung cannabidiol (CBD), senyawa ganja yang tidak memabukkan. “Ini bagus untuk kesehatan,” kata Aod berpromosi. Ia benar. Tak ada rasa pusing setelah saya minum teh ganja. Berjalan pun saya tetap lurus tanpa doyong. Hanya, perasaan saat itu sedikit lebih tenang.

 

•••

 

THAILAND menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan ganja untuk kebutuhan medis dan rekreasi. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan draf yang melegalkan riset ganja medis, masih teramat jauh untuk konsumsi ganja secara bebas. Hingga kini draf tersebut masih teronggok di Istana Presiden.

 

Perjalanan pemerintah Thailand melegalkan ganja dan tanaman rami dimulai hampir empat tahun lalu. Pada Desember 2018, pemerintah Thailand sudah menyetujui penggunaan ganja untuk tujuan medis dan penelitian.

 

Sosok yang paling berperan di balik legalisasi ganja penuh di Negeri Gajah Putih adalah Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand, Anutin Charnvirakul. Ia juga menjabat Ketua Umum Partai Bhumjaithai, yang kini bergabung dalam koalisi pemenang, Phalang Pracharat, yang dibekingi junta militer.

 

Kepada Tempo pada Rabu, 13 Juli lalu, Anutin Charnvirakul mengatakan ganja sangat bermanfaat untuk rakyat negaranya. Terutama untuk mengatasi persoalan kesehatan. “Kami percaya ganja bisa dipakai untuk pasien dengan berbagai penyakit,” ucap Anutin melalui telekonferensi video.

 

Toh, Anutin juga terang-terangan mengakui legalisasi ganja membantu partainya mendulang suara dalam pemilihan umum yang digelar pada Maret 2019. Partai Bhumjaithai menjadikan legalisasi kanabis sebagai bahan kampanye politik. “Kebijakan ini tidak ujug-ujug,” kata Anutin.

 

Anutin bercerita, tim strategi Partai Bhumjaithai mengkaji kebijakan terbaik yang bisa disodorkan kepada calon pemilih. Setelah mempelajari pelbagai jurnal kesehatan dan mengumpulkan informasi dari pakar pengobatan tradisional Thailand, mereka menyimpulkan ganja bisa bermanfaat secara medis dan ekonomi. “Tanaman ganja bisa meningkatkan perekonomian dan mengerek citra Thailand sebagai pusat ganja medis untuk Asia dan dunia,” tutur Anutin.

 

Ia mengklaim kampanye legalisasi ganja menyentuh hati banyak orang sehingga partainya mendapat suara berlipat. Sebelas tahun lalu, Bhumjaithai hanya mendapat 1,2 juta suara dan menempatkan 34 dari 500 kursi parlemen. Pada Pemilu 2019, partai itu memperoleh 3,7 juta suara atau 10,5 persen dari total pemilih dan menempati posisi kelima. Jumlahnya kursinya meroket jadi 51 kursi, dan bertambah menjadi 61 karena anggota parlemen dari partai lain pindah ke Bhumjaithai.

 

Terpilih menjadi Menteri Kesehatan sejak 2019, Anutin mengatakan sudah menjadi tugasnya untuk menepati janji melegalkan ganja. Ia menggandeng sejumlah ahli untuk menggodok kebijakan itu. Termasuk di antaranya pebisnis Julpas Kruesopon dan Parnthep Pourpongpan, Ketua Dekan Institute of Integrated Medicine and Anti-aging Medicine, Rangsit University.

 

“Kami sangat bergantung pada orang-orang seperti Tom—sapaan Julpas—dan dokter Parnthep,” kata Anutin. Namun ada juga pakar lain yang tak bisa ia sebut namanya. Anutin mengklaim Kementerian Kesehatan mengumpulkan berbagai rekomendasi dan informasi dari banyak orang serta institusi ternama.

 

Kedekatan Anutin dan Tom terlihat saat keduanya menjadi narasumber dalam diskusi forum jurnalis asing Thailand yang membahas masa depan ganja pada Rabu, 6 Juli lalu. Sebelum menjawab pertanyaan seorang wartawan, Anutin dibisiki oleh Tom yang duduk di sebelahnya. Sedangkan Parnthep menjadi juru bicara Komisi Legislasi yang membahas Rancangan Undang-Undang Ganja dan Tanaman Rami (Cannabis and Hemp Act) di parlemen Thailand.

 

Menurut Julpas “Tom” Kruesopon, diskusinya dengan Anutin ihwal legalisasi ganja dimulai sekitar empat tahun lalu. Ia menanyakan alasan Anutin ingin melegalkan ganja di Thailand. “Dia bilang semua riset menunjukkan ganja lebih banyak membantu daripada menyakiti orang-orang,” tutur Tom.

 

Terlepas dari kampanye politik Anutin, legalisasi ganja di Thailand juga sudah lama disuarakan sejumlah aktivis. Rattapon Sanrak, misalnya, mendirikan komunitas Highland yang bertujuan mengkampanyekan legalisasi ganja pada 2013. Laki-laki 34 tahun ini bercerita, ia menginisiasi Highland setelah ibunya meninggal karena kanker, menyusul kakek, nenek, dan ayahnya yang meninggal akibat penyakit yang sama.

 

Rattapon yang merasakan manfaat ganja tatkala kuliah di Amerika Serikat gagal membujuk mamanya menggunakan ganja untuk mengurangi rasa sakit. “Itu karena sekian lama kami diajari bahwa ganja adalah narkotik dan berbahaya,” Rattapon berkisah kepada Tempo pada Kamis, 7 Juli lalu. “Ibu saya meninggal dengan kondisi kesakitan.”

 

Di Amerika Serikat, Rattapon rutin mengkonsumsi ganja sebagai remedi atas migrain yang kerap mengganggu aktivitasnya. Manjurnya ganja membuat dia mencari informasi lebih dalam. Ia lantas mendapat kabar pemakaian ganja oleh komunitas pasien kanker di Negeri Abang Sam. “Ganja tidak menyembuhkan, tapi mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup mereka,” katanya.

 

Mengkampanyekan manfaat ganja untuk kesehatan, Rattapon juga memberikan masukan kepada pemerintah. Pada 2017, ia diundang menghadiri rapat komite pemerintah untuk reformasi Undang-Undang Narkotik. Ketika itu, pemerintah Thailand menyadari kegagalan perang melawan narkotik, psikotropika, dan obat terlarang atau war on drugs.

 

Merujuk pada data Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) yang dirilis tahun ini, jumlah narapidana di Thailand mencapai 282 ribu per Desember 2021. Sebanyak 81 persen di antaranya diterungku karena kasus narkoba, termasuk kepemilikan ganja dalam jumlah kecil. Mirip dengan di Indonesia.

 

Rattapon mengatakan saat itu ia mengusulkan agar ganja dikeluarkan dari daftar narkotik. Baru pada Desember tahun lalu revisi Undang-Undang Narkotik disahkan. Salah satu perubahannya, orang yang tertangkap menggunakan ganja dikirim ke rehabilitasi dulu alih-alih langsung masuk penjara. Jika lolos rehabilitasi, mereka dibebaskan dan tak memiliki catatan kejahatan.

 

“Tidak seratus persen berubah, tapi setidaknya orang tidak dikirim ke penjara karena alasan yang stupid,” ujar Rattapon.

 

Pada Januari 2022, Badan Pengendali Narkotik Thailand menyetujui usul Menteri Anutin Charnvirakul untuk mengeluarkan ganja dan tanaman rami dari daftar narkotik kategori 5. Berselang satu bulan kemudian, tepatnya pada 9 Februari, Kementerian Kesehatan mengumumkan legalisasi ganja untuk ditanam dan dikonsumsi dalam makanan serta minuman. Aturan inilah yang berlaku mulai 9 Juni lalu.

 

Anutin sebenarnya menjanjikan undang-undang baru untuk menaungi kebijakan itu telah siap diterbitkan seiring dengan dikeluarkannya ganja dari daftar narkotik. Partai Bhumjaithai yang ia pimpin mengusulkan Rancangan Undang-Undang Ganja dan Tanaman Rami ke parlemen. Namun rencana itu tertunda dalam proses politik di parlemen. Anutin mengklaim draf tersebut rampung pada Agustus atau September mendatang.

 

Seorang pejabat di Kementerian Kesehatan mengatakan tarik-menarik kepentingan politik membuat pembahasan aturan itu tertahan. Sejumlah partai ingin membebaskan penggunaan ganja untuk rekreasi. Namun draf yang disodorkan Partai Bhumjaithai justru tak menyinggung penggunaan ganja untuk senang-senang.

 

Satu dokter yang mengetahui perkembangan pembahasan itu bercerita, ada partai yang berusaha menunda pembahasan. Sebabnya, mereka khawatir pemilihnya bakal beralih ke Partai Bhumjaithai, yang menginisiasi RUU Ganja. Walhasil, mereka ingin ganja tetap ilegal tapi tak berani menentang secara blakblakan.

 

Ditanyai ihwal tarik-menarik politik ini, Menteri Anutin mengatakan pembahasan RUU Ganja sudah di luar kewenangannya. Kementerian Kesehatan hanya bisa menyuplai informasi yang diperlukan oleh Komisi Legislasi di parlemen yang sedang memfinalkan substansi RUU Ganja. “Kami harus menunggu,” ucapnya.

 

Belum adanya payung hukum itu menuai kekhawatiran sejumlah pihak. Pegiat legalisasi ganja, Chokwan Chopaka, mengatakan ketiadaan aturan memicu munculnya pemain-pemain nakal yang cuma mengincar keuntungan. Misalnya menjual bunga ganja berkualitas rendah atau tidak membeli ganja dari petani dengan harga layak. “Mereka akan mengganggu kami yang ingin berbisnis ganja dalam jangka panjang,” kata Chokwan, yang membuka toko ganja di Bangkok.

 

Gubernur Bangkok Chadchart Sittipunt—maju dari jalur independen—sempat melontarkan kekhawatiran soal penjualan produk yang mengandung ganja di sekolah-sekolah. Ia menerima laporan empat orang masuk rumah sakit karena overdosis ganja. Dua di antaranya pelajar berusia di bawah 20 tahun. Sedangkan seorang pasien laki-laki berusia 51 tahun meninggal kemudian.

 

Anutin membantah jika kematian itu disebut terjadi lantaran overdosis mariyuana. Ia mengklaim investigasi lanjutan menunjukkan adanya penyebab kematian lain. Mengisi ketiadaan undang-undang saat ini, Anutin meneken peraturan yang menetapkan ganja sebagai tanaman yang dikontrol. Ekstrak bunga ganja dengan kadar tetrahydrocannabinol (THC) lebih dari 0,2 persen tetap dinyatakan sebagai narkotik.

 

Ia pun mewajibkan segala produk ganja terdaftar dan mendapat sertifikat badan pengawas obat dan makanan. Penjual juga dilarang meladeni orang-orang berusia di bawah 20 tahun. Begitu pula merokok di publik tak diperbolehkan.

 

Pendiri dan Direktur Golden Triangle Group, perusahaan industri ganja terkemuka di Thailand, Kris Thirakaosal, optimistis Rancangan Undang-Undang Ganja bisa segera disahkan dan berlaku akhir tahun ini. Bos perusahaan yang berbasis di Provinsi Chiang Rai ini terlibat memberi masukan dalam penyusunan dan pembahasan aturan itu. “Aturan ganja ini dibahas di jalur ekspres,” tutur Kris kepada Tempo pada Selasa, 12 Juli lalu.

 

•••

 

KENDATI ganja medis baru dilegalkan pada 2019, tanaman cannabis bukan barang anyar bagi orang-orang Thailand. Sejumlah narasumber dari berbagai kalangan usia yang ditemui Tempo menganggap tanaman ini ampuh untuk mengatasi sulit tidur atau insomnia. Faktor historis para pendahulu Thailand turut mempengaruhi anggapan ini.

 

Rattapon Sanrak, pendiri komunitas Highland yang mengkampanyekan legalisasi ganja, mengatakan catatan sejarah menunjukkan kanabis dipakai untuk kesehatan sejak zaman Raja Narai di abad ke-16. “Resep pengobatan tradisional Thailand banyak melibatkan ganja. Leluhur kami juga pakai di masakan meskipun itu ilegal,” ucap Rattapon.

 

Sebelum pemerintah melegalkan ganja, sebagian penduduk Thailand sudah menanam dan mengkonsumsinya demi alasan kebugaran. Rei Nitchaken, 24 tahun, mengatakan keluarganya menanam ganja di rumah mereka di Provinsi Chiang Mai sejak beberapa tahun lalu. Menurut dia, banyak penduduk Thailand lain juga sudah menanam ganja sebelum dilegalkan.

 

Mahasiswa perfilman ini bercerita, ia dan keluarga hanya memakai ganja untuk dicampur dengan masakan, minuman, atau penganan. Khasiatnya membuat rileks dan membantu tidur. Rei mengaku dia dan keluarganya tak gemar merokok ganja. “It’s not everyone’s cup of tea,” ujarnya.

 

Daycha Siripatra, praktisi pengobatan tradisional, mengaku sudah memakai ganja selama 10 tahun untuk menjaga kesehatan. Pria 75 tahun ini bercerita, ia mengetahui manfaat ganja justru dari para biksu yang ditemuinya.

 

Sempat tak percaya, Daycha lantas mengujinya ke diri sendiri. Daycha mengklaim ganja menyembuhkan gejala parkinson yang ia alami sekitar satu dekade silam. Setelah itu, dia mulai membagi-bagikan formula ganja ramuannya kepada pasien kanker secara gratis.

 

Namun, pada 3 April 2019, ia berurusan dengan polisi dan Badan Pengendali Narkotik Thailand. Penegak hukum menggeledah kantor Yayasan Khao Kwan yang ia dirikan di Provinsi Suphan Buri, menyita 200 tanaman dan minyak hasil ekstraksi tanaman ganja.

 

Kala itu pemerintah Thailand sebenarnya sudah melegalkan ganja medis, tapi masih melarang kepemilikan ganja. Alasan lain yang disebutkan aparat ialah Daycha bukanlah dokter. Namun dia urung dihukum lantaran protes membanjiri pemerintah. Ia malah dinobatkan sebagai dokter pengobatan tradisional.

 

Daycha mengatakan formula ganja ramuannya berbeda dengan ekstrak CBD atau THC yang banyak dikembangkan negara Barat. Sebaliknya, ia memakai semua bagian dari tanaman tersebut. Ramuan ini diklaimnya lebih murah dan manjur. Departemen Pengobatan Tradisional dan Alternatif Thailand (DTAM) milik pemerintah juga memakai formula Daycha.

 

Tempo menemukan produk formula Daycha itu saat mampir di stan milik DTAM di Herbal Expo yang digelar di Muang Thong Thani, Provinsi Nonthaburi, pada Rabu, 6 Juli lalu. Pengunjung yang mampir di departemen milik Kementerian Kesehatan itu disediakan konsultasi dan minyak ganja secara gratis.

 

Salah satu pengunjung yang enggan menyebutkan namanya bercerita, ia datang karena sulit tidur. Perempuan 79 tahun itu mengaku pernah menjajal kemanjuran minyak ganja ramuan Daycha.

 

Klinik Bangkok Integrative Medicine di kawasan Silom, Bangkok, yang melayani pengobatan ganja, juga memakai formula tersebut setelah legalisasi ganja medis. “Harganya 300 baht (sekitar Rp 133 ribu),” kata Natramada Sitthiraat, resepsionis di Bangkok Integrative Medicine, kepada Tempo pada Rabu, 13 Juli lalu. “Saya pakai untuk insomnia dan manjur.” ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166444/bagaimana-thailand-melegalkan-ganja

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar