Apa Manfaat dan
Mudarat Subsidi Putu Setia :
Wartawan, Sastrawan |
KORAN TEMPO, 17 Juli 2022
Sri Lanka bergolak.
Presidennya kabur. Rakyatnya berpesta pora di istana yang ditinggalkan
presiden. Negeri bangkrut, kebanyakan utang. Tak ada uang untuk mengimpor
makanan dan bahan bakar minyak. Apakah Indonesia menyusul?
Ini hanya celetukan yang berseliweran di media sosial. Sedikit membuat cemas,
tapi bagus untuk mengingatkan. Para pejabat pun membantah seraya mengatakan
negeri ini “lagi baik-baik saja”. Utang masih dalam batas yang wajar.
Kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) masih cukup. Bahwa ada yang
becermin ke Sri Lanka untuk mengurangi utang tentu baik saja. Bagaimana
caranya? Salah satunya mengurangi subsidi. Itu artinya barang yang
disubsidi akan naik harganya. Beban hidup rakyat akan semakin berat karena
kebutuhan lain ikutan naik. Yang lebih menderita adalah masyarakat kurang
mampu. Sedangkan masyarakat yang mampu sudah lama ikutan menerima subsidi.
Elpiji, misalnya. Elpiji 3 kg yang disubsidi—dikenal sebagai elpiji “melon”
karena tabungnya seperti buah melon—juga dibeli masyarakat mampu. Apalagi
kini, ketika elpiji tabung 12 kg harganya dinaikkan, dan di Papua harganya sampai
Rp 341 ribu, elpiji melon yang tetap berharga Rp 20 ribu menjadi rebutan.
Orang mampu tak merasa malu meski di badan melon itu ada tulisan “Hanya untuk
Masyarakat Miskin”. Artinya, subsidi salah
sasaran. Orang kaya kok membeli elpiji melon. Punya mobil kok membeli
Pertalite. Rumah gedongan kok menggunakan listrik tarif R1 yang maksimum cuma
2.200 VA. Apa daya listriknya cukup? Tentu saja karena rumah gedongan itu
memasang 3 atau 4 meteran yang masing-masing bertarif R1. Tak ada larangan,
seperti halnya mereka membeli 10 elpiji melon setiap bulannya. Menteri Koordinator
Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pantas kesal. Luhut
menyebutkan subsidi BBM untuk setiap mobil sebesar Rp 19,2 juta per tahun.
Sedangkan setiap sepeda motor sebanyak Rp 3,7 juta per tahun. “Coba Anda
bayangkan, kalau sekarang ada 136 juta sepeda motor, hitung saja berapa
subsidinya itu," kata dia. Begitu pula elpiji. Rakyat
yang menikmati hanya 23,3 persen dari total subsidi, sedangkan orang kaya
menikmati 57,9 persen. Ini menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu. Konsumsi elpiji subsidi pun meningkat pada
tahun ini menjadi 7,82 juta metrik ton, yang non-subsidi hanya 0,58 juta
metrik ton. Febrio menambahkan, bocornya subsidi kepada masyarakat mampu
makin dilematis lantaran hampir 80 persen penyediaan elpiji di Indonesia
berasal dari impor. Dan Menkeu Sri Mulyani menyebutkan belanja negara tembus
Rp 3.000 triliun untuk subsidi ini. Belum ada langkah pasti
bagaimana mengurangi subsidi elpiji karena, menurut Febrio, masih sedang
dievaluasi. Sedangkan untuk mengurangi subsidi BBM sudah ada rencana
pembatasan lewat aplikasi MyPertamina—yang ternyata uji cobanya tak begitu
lancar. Sementara itu, menyadarkan
masyarakat bahwa subsidi negara sangat tinggi tak juga membuahkan hasil. Bagi
masyarakat, harga yang murah itu adalah hak mereka yang harus dipenuhi negara
sebagai amanat konstitusi mensejahterakan masyarakat. Mereka cuek bahwa harga
keekonomian elpiji sudah menjadi Rp 19.609 per kilogram, sedangkan harga jual
subsidi cuma Rp 4.250 per kilogram. Artinya, pemerintah mensubsidi Rp 15.359
per kilogram. Harga keekonomian Pertalite Rp 17.200 per liter dan harga
subsidi Rp 7.650 per liter. Pemerintah mensubsidi Rp 9.550 per liternya. Sulitnya mengajak
masyarakat untuk memahami besarnya subsidi ini juga karena mereka melihat
pemerintah menghambur-hamburkan uang. Sudah tahu utang banyak, situasi lagi
“tidak baik-baik saja”, kok tetap nombokin kereta api cepat Jakarta-Bandung
yang entah siapa nanti yang menaiki kereta itu. Juga menggebu-gebu membangun
ibu kota negara yang baru. Bagaimana utang tak bertambah? Jangan salahkan
jika sebagian orang mengingatkan akan kisruh di Sri Lanka. ● Sumber :
https://koran.tempo.co/read/cari-angin/475135/apa-manfaat-dan-mudarat-subsidi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar