Bagaimana Thailand
Meraup Untung Besar dari Legalisasi Ganja Budiarti Utami Putri : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
RIBUAN tanaman ganja dalam
polybag berjajar di area perkebunan Orchid Garden di kawasan perbukitan
Distrik San Sai, Provinsi Chiang Mai, Thailand, Selasa, 5 Juli lalu. Sebagian
dari tanaman ganja bertinggi 150 sentimeter itu ditopang oleh bilah bambu.
Dimiliki oleh Maejo University, area itu diklaim sebagai perkebunan ganja
medis berskala industri pertama di Asia. Pada 2019, Menteri
Kesehatan Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul memimpin penanaman ribuan
bibit kanabis di Orchid Garden, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari
Bandar Udara Internasional Chiang Mai. Adapun Chiang Mai berjarak tempuh 1
jam 15 menit penerbangan dari Bangkok atau sekitar 8 jam perjalanan darat. “Ada 3.000-3.500 pohon di
sini,” kata Saree Siruruensakun, manajer pengelola kebun ganja itu, kepada
penerjemah yang mendampingi Tempo. Saree mengatakan pohon-pohon ganja itu
kini berumur tiga bulan. Di fase ini, dia menjelaskan, gender tanaman-tanaman
itu sudah bisa dibedakan, yakni jantan, betina, atau hermafrodit alias
berkelamin ganda. Menurut Saree, butuh dua-tiga bulan lagi hingga tanaman itu
bisa dipanen. Di perkebunan organik itu
mereka mengupayakan agar jumlah tanaman ganja jantan tak lebih dari 40 persen
dari setiap masa tanam. Sebaliknya, bibit-bibit itu diharapkan lebih banyak
menjadi ganja betina, yang lebih menguntungkan lantaran memproduksi bunga
yang mengandung delta-9-tetrahydrocannabinol atau THC. Saree enggan menjelaskan
ketika Tempo menanyakan bagaimana cara mengatur gender tanaman-tanaman itu.
Dia kemudian terkekeh saat ditanyai apakah mengurus tanaman ganja bisa
membuatnya giting. “Kalau saat masa pengeringan, bau bunganya bisa bikin
mabuk,” ujarnya. Dari perkebunan ini, dan
berbagai sentra tanaman ganja, bunga-bunga kanabis dikirim ke pusat-pusat
layanan kesehatan. Sedangkan bagian lain dari tanaman ganja bisa dijual untuk
keperluan komersial. Kanabis memang menjadi
garapan serius sejumlah kalangan di Thailand sejak pemerintah Negeri Gajah
Putih melegalkannya. Pada 2019, pemerintah melegalkan ganja medis. Tahun ini
pemerintah Thailand mengeluarkan ganja dan tanaman rami dari daftar narkotik
kategori 5. Ganja dan rami sebenarnya
berasal dari genus yang sama, yakni Cannabis. Bedanya, ganja memiliki kadar
THC—senyawa yang bisa memabukkan—lebih tinggi. Hanya ekstrak ganja dengan THC
lebih dari 0,2 persen yang masih tergolong narkotik. Kebijakan legalisasi ganja
membuka peluang bisnis bagi sebagian orang. Warga Distrik San Pa Tong,
Provinsi Chiang Mai, Jantrachanok Weesangsri, misalnya, mempelajari cara
membuat minyak hemp dari Internet. Ia dan keluarganya tertarik menekuni
bisnis ini karena dinilai bisa menghasilkan banyak uang. “Kami memulai bisnis
ini karena tahu bunga Cannabis itu mahal,” kata Anna—sapaan Jantrachanok. Perempuan 49 tahun itu
hanya memanfaatkan 400 meter persegi tanah di kebun miliknya untuk menanam
hemp. Bunga ganja dengan kadar cannabidiol (CBD), zat yang dianggap mampu
mengobati berbagai masalah kesehatan, sebesar 1 persen bisa dijual ke
perusahaan dengan harga 700 baht atau sekitar Rp 311 ribu per kilogram. Jika
kadar CBD-nya 20 persen, harganya melonjak jadi 14 ribu baht atau sekitar Rp
6,2 juta tiap kilogram. Beberapa bulan terakhir,
Anna juga mulai mengolah ganja menjadi sejumlah produk turunan seperti teh.
Ia sempat menunjukkan ruang tempat pengolahan produk ganja di bagian belakang
rumahnya. Hari itu beberapa alat, termasuk distilasi ganja yang ia beli dari
Cina, baru tiba. Untuk investasi sejumlah alat itu, dia merogoh kocek hingga
200 ribu baht atau sekitar Rp 89 juta. Berbeda dengan Anna,
perusahaan besar yang mengembangkan ganja, Golden Triangle Group, sudah
bersiap mengekspor ekstrak cannabinoid. Pendiri dan Direktur Golden Triangle,
Kris Thirakaosal, mengklaim perusahaannya bakal segera mendapat sertifikasi
yang memungkinkan mereka mengekspor ke luar negeri. “Kami akan jadi eksportir
pertama di Asia,” tutur Kris pada Selasa, 12 Juli lalu. Pengusaha yang juga
memberikan masukan kepada pemerintah soal legalisasi ganja ini mengatakan
Golden Triangle Group mengembangkan ganja dengan sangat saintifik. Mereka
menanam ganja di dalam ruangan dan bukan dari benih, melainkan dari tanaman
induknya. Tujuannya memastikan penampakan fisik dan kandungan setiap tanaman
sama dengan induknya. Menurut Kris, ada banyak
potensi ekonomi dari legalisasi ganja di Thailand. Merujuk pada data
Prohibition Partners, lembaga riset tentang mariyuana, Kris mengatakan
industri ganja di Thailand diproyeksikan tumbuh hingga US$ 661 juta atau
sekitar Rp 9 triliun pada 2024. Menteri Kesehatan
Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul memperkirakan potensi ekonomi ganja
mencapai lebih dari US$ 3 miliar atau sekitar Rp 45 triliun hingga lima tahun
mendatang. “Berdasarkan studi, ganja bisa bermanfaat untuk negara dan
masyarakat jika kita bisa menggunakannya dengan benar,” kata Anutin dalam
wawancara dengan Tempo pada Rabu, 13 Juli lalu. Legalisasi ganja juga
diyakini turut meningkatkan pariwisata Thailand. Menurut Kris Thirakaosal,
sebanyak 95 persen pengguna ganja rekreasional di negaranya ialah para
pelancong mancanegara. “Ini cuma puncak gunung es yang terlihat,” ucapnya. Menyambangi toko ganja
Humbrid Cannabis di Jalan Ram Buttri pada Senin, 11 Juli lalu, Tempo
menyaksikan sejumlah turis asing bergantian keluar-masuk. Di Humbrid, ganja
dibanderol dengan harga 150-650 baht atau Rp 67-292 ribu. Kanny, salah satu budtender—sebutan
bagi pegawai di toko ganja—sesekali menanyakan asal negara para pembelinya.
Dua perempuan asal India menanyakan di mana mereka bisa membeli brownies
ganja kepada Kanny setelah membayar belanjaan mereka. Kanny menyarankan
mereka pergi ke Jalan Khao San, yang berjarak satu blok dari tokonya. “Saya
tidak tahu, tapi mungkin di Khao San Road ada,” kata perempuan 28 tahun itu
kepada pelanggannya. Turis-turis yang antre
juga terlihat di Highland Cafe, Bangkok, saat Tempo ke sana pada Kamis, 7
Juli lalu. Setidaknya lima pria berwajah Kaukasoid terlihat sudah menunggu di
area kafe di Jalan Lat Phrao itu sebelum pintu Highland dibuka. Pemilik Highland Cafe,
Rattapon Sanrak, mengatakan wisatawan yang datang ke kafenya berasal dari
negara-negara Eropa, India, Cina, hingga Singapura. Di Highland, bunga-bunga
ganja dijual dengan ukuran 1 gram, 3,5 gram, hingga 14 gram. Harga paling
murah 1 gram di Highland sebesar 250 baht atau sekitar Rp 112 ribu. Namun pembeli baru
setidaknya perlu mengalokasikan 400 baht lagi untuk membeli alat penghalus
bunga ganja atau grinder dan kertas lintingan. Rattapon tertawa saat Tempo
menanyakan berapa pendapatannya sejak legalisasi ganja berlaku mulai 9 Juni
lalu. “Saya tidak bisa bilang, tapi ini bisnis yang besar banget,” ujarnya. Potensi pundi-pundi bisnis
ini juga membuat Sanga Ruangwattanakul mengusulkan Jalan Khao San dijadikan
pusat wisata ganja. Presiden Asosiasi Bisnis Jalan Khao San ini beralasan
ganja bisa menarik minat turis-turis asing untuk datang ke Thailand. Menurut
Sanga, sebelum pandemi Covid-19 merebak, setiap hari ada 20 ribu turis yang
datang ke kawasan tersebut. Sebanyak 80 persen dari mereka adalah wisatawan
dari Eropa. “Mereka familiar dengan ganja,” ucap Sanga. Dengan dijadikan marijuana
hub, kata Sanga, Khao San akan menjadi kawasan wisata ganja yang terkontrol.
Supplier, penjual, hingga pembeli ganja akan terdata sehingga mudah dilacak
jika terjadi masalah. Sanga mengaku tak nyaman dengan banyaknya penjual ganja
di pinggir Jalan Khao San yang muncul setelah pemerintah melegalkan ganja. Ia mempertanyakan
asal-muasal ganja yang dijual di pinggir jalan. Begitu pula kualitasnya belum
teruji. “Ini belum tentu aman untuk turis dan untuk pembeli,” ujarnya. Gagasan menjadikan Jalan
Khao San pusat wisata ganja terinspirasi dari Planet 13 di Las Vegas, Amerika
Serikat. Kawasan itu menjadi pusat penjualan mariyuana untuk rekreasi yang
bergengsi dan disebut sebagai yang terbesar di dunia. Menurut Sanga, usul itu
sudah ia sampaikan kepada Presiden Komisi Cannabis di parlemen, Supachai
Jaisamut. Ia mengklaim bahwa legislator Bhumjaithai—partai politik yang sama
dengan Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul—itu menyatakan bakal
mempertimbangkan ide tersebut. Menteri Anutin mengatakan
legalisasi ganja bisa sampai sejauh ini lantaran ia mempromosikan tujuan
kesehatan dan medisnya. Ia berujar, pemakaian tanaman ganja untuk
senang-senang di luar tujuan mereka. “Saya tidak ingin Thailand atau Khao San
Road, misalnya, diiklankan sebagai tempat turis bisa nyimeng sebebasnya,”
kata Anutin. “Itu tak boleh terjadi sampai kami menemukan aturan pas untuk
mengontrol legalisasi ganja.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar