Menyoal Uji Klinis
dan Ujian S3 Versi Terawan Zainal Muttaqin : Praktisi Medis dan Guru Besar Ilmu
Kedokteran Universitas Diponegoro |
CEKNRICEK.COM, 9
Juli
2022
Pada acara
Rosi di Kompas TV hari Kamis 7 Juli 2022 lalu, ada beberapa hal yang perlu
ditelaah lebih jauh agar tidak terjadi penyesatan ilmiah (scientific
disinformation) yang bisa membelokkan opini publik, mengingat Terawan Agus
Putranto (selanjutnya saya singkat TAP) merupakan nara sumber tunggal pada
acara tersebut. Ada sebuah
dialog menarik terkait tindakan DSA TAP (Intra Arterial Heparin Flushing atau
IAHF). Rosi bertanya pada TAP tentang permintaan MKEK kepada TAP sejak tahun
2013 untuk menjelaskan Uji Klinis sebagai bagian dari EBM (Evidence Based
Medicine) terkait IAHF sebagai tindakan pengobatan strokeiskemik. Masyarakat
ilmiah semua tentu tahu dan memahami bahwa setiap temuan obat baru atau
metode pengobatan yang baru perlu melalui fase uji praklinis, uji klinis fase
1, fase 2, dan fase3, sebelum bisa diaplikasikan kepada pasien dalam bentuk
pelayanan kesehatan. Undang undang
29-2004 tentang Praktek Kedokteran jelas mengatur dan membatasi dokter untuk
hanya memberikan pengobatan yang berbasis EBM. Pengobatan berbasis EBM inilah
yang membedakan antara pengobatan dokter dengan praktek perdukunan. Bagaimana TAP
menjawab pertanyaan Rosi tentang Uji Klinis ini: “Riset yang baik adalah yang diuji oleh
universiti, apapun bentuknya bila riset kita sudah diuji oleh tim dari
universiti bahkan sampai doktoral, itu sudah paling sah”. Dalam
penjelasan selanjutnya, karena komunikasi dengan IDI yang kurang baik, TAP
mengatakan: “ya sudahlah saya akan selesaikan nanti melalui uji klinis di
Unhas”. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2016, TAP menjalani program S3
(doktoral) dan lulus ujian disertasi di Unhas, dan publikasinya berjudul ‘Intra arterial heparin flushing increases
manual Muscle Test- Medical Research Councils (MMT-MRC) score in chronic
ischemic stroke patient’ Bali Med J. 2016, 5(2): 2016-220. Jadi jelas
bahwa TAP menjawab pertanyaan terkait uji klinis obat/metodologi pengobatan
yang baru dengan ujian disertasi S3 di Unhas. Jangan-jangan memang TAP yang
mantan Menkes itu belum tahu atau tidak tahu bahwa uji klinis itu tidak sama
dengan ujian disertasi S3? Sehingga TAP berpendirian bahwa disertasi S3 nya
cukup sah menjadi dasar tindakan IAHF sebagai bentuk pengobatan stroke (yang
tidak lazim dan tidak dipraktekkan di negara manapun). Maaf saya
tidak pernah menyebut TAP sebagai professor dalam pembahasan terkait
persoalan medis ini, karena ternyata gelar professor TAP bukan di bidang
kedokteran tapi di bidang pertahanan. Sebagaimana
diketahui bahwa di setiap program studi S2 dan S3 bidang kedokteran/ biomedik
di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia, dihasilkan puluhan dan mungkin
ratusan tesis/ disertasi tentang bahan obat baru dan/ atau metodologi
pengobatan baru untuk berbagai macam penyakit. Dan publikasi
di jurnal internasional terakreditasi menjadi salah satu sarat untuk lulus
ujian disertasi tersebut. Alangkah kacau-balau dan mengerikan dunia layanan
kesehatan di negeri ini apabila setiap disertasi maupun tesis yang terkait
dengan temuan obat/ cara pengobatan baru dianggap sah dan memenuhi syarat
untuk bisa diaplikasikan pada pasien sebagaimana pola pikir seorang TAP. Kalangan
ilmuwan maupun praktisi medis tentu khawatir bila penyesatan ilmiah semacam
ini semakin meracuni opini publik, yang pada akhirnya publik atau
masyarakatlah yang akan menjadi korban dari praktek layanan perdukunan oleh
dokter. Pengembangan
obat, termasuk teknologi pengobatan, adalah proses yang memiliki regulasi
paling ketat di dunia karena terkait dengan Kesehatan dan keselamatan
manusia. Penggunaan DSA-TAP (IAHF) sebagai prosedur terapi stroke terikat
erat dengan etika kedokteran, serta harus mengikuti prosedur baku sains yang
diatur berdasarkan kesepakatan level dunia oleh perhimpunan dokter sedunia
(WMA) dan termaktub dalam Deklarasi Helsinki tentang Ethical Principles for Medical Research involving Human Subject. Sebagai bagian
dari International Conference on
Medical Ethic (ICoME)-WMA, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK-IDI)
berperan memastikan terpenuhinya standar profesi dan etik sesuai dengan
Deklarasi Helsinki terkait dengan praktek kedokteran.Perihal obat, termasuk
vaksin nusantara, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah institusi
legal dan independen yang mewakili negara untuk melindungi bangsa ini dari
peredaran obat yang tidak jelas manfaatnya yang berpotensi membahayakan
konsumen. Tindakan IAHF
yang diberi nama keren sebagai brain wash atau brain spa oleh TAP ini menjadi
diminati oleh banyak pejabat dan tokoh masyarakat bukan karena bukti
empiris-ilmiah, melainkan karena testimoni pribadi dari tokoh-tokoh seperti
SBY, Dahlan Iskan, dll. Jadi masyarakat kita sengaja dididik untuk percaya
bukan pada sains, tapi pada testimoni ala dukun Ponari atau klinik Tong Fang. Akankah kita
sebagai manusia dan sebagai bangsa yang masih memiliki akal sehat ini terus
berdiam diri disaat banyak petinggi negeri, khususnya DPR, yang terus
membodohi publik dengan Testimony Based
Medicine. Lawan dari testimony
based medicine adalah EBM. Seorang dokter disebut professional apabila
menerapkan EBM karena tanpa EBM maka dokter sama dengan dukun, dan kepatuhan
dalam menjalankan EBM inilah yang menjadi dasar MKEK-IDI menjatuhkan sanksi
etik kepada TAP. ● |
Sumber
: https://ceknricek.com/a/menyoal-uji-klinis-dan-ujian-s3-versi-terawan/32239
Tidak ada komentar:
Posting Komentar