Minggu, 17 Juli 2022

 

Menyoal Uji Klinis dan Ujian S3 Versi Terawan

Zainal Muttaqin :  Praktisi Medis dan Guru Besar Ilmu Kedokteran Universitas Diponegoro

CEKNRICEK.COM, 9 Juli 2022

 

 

                                                           

Pada acara Rosi di Kompas TV hari Kamis 7 Juli 2022 lalu, ada beberapa hal yang perlu ditelaah lebih jauh agar tidak terjadi penyesatan ilmiah (scientific disinformation) yang bisa membelokkan opini publik, mengingat Terawan Agus Putranto (selanjutnya saya singkat TAP) merupakan nara sumber tunggal pada acara tersebut.

 

Ada sebuah dialog menarik terkait tindakan DSA TAP (Intra Arterial Heparin Flushing atau IAHF). Rosi bertanya pada TAP tentang permintaan MKEK kepada TAP sejak tahun 2013 untuk menjelaskan Uji Klinis sebagai bagian dari EBM (Evidence Based Medicine) terkait IAHF sebagai tindakan pengobatan strokeiskemik.

 

Masyarakat ilmiah semua tentu tahu dan memahami bahwa setiap temuan obat baru atau metode pengobatan yang baru perlu melalui fase uji praklinis, uji klinis fase 1, fase 2, dan fase3, sebelum bisa diaplikasikan kepada pasien dalam bentuk pelayanan kesehatan.

 

Undang undang 29-2004 tentang Praktek Kedokteran jelas mengatur dan membatasi dokter untuk hanya memberikan pengobatan yang berbasis EBM. Pengobatan berbasis EBM inilah yang membedakan antara pengobatan dokter dengan praktek perdukunan.

 

Bagaimana TAP menjawab pertanyaan Rosi tentang Uji Klinis ini:  “Riset yang baik adalah yang diuji oleh universiti, apapun bentuknya bila riset kita sudah diuji oleh tim dari universiti bahkan sampai doktoral, itu sudah paling sah”.

 

Dalam penjelasan selanjutnya, karena komunikasi dengan IDI yang kurang baik, TAP mengatakan: “ya sudahlah saya akan selesaikan nanti melalui uji klinis di Unhas”. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2016, TAP menjalani program S3 (doktoral) dan lulus ujian disertasi di Unhas, dan publikasinya berjudul ‘Intra arterial heparin flushing increases manual Muscle Test- Medical Research Councils (MMT-MRC) score in chronic ischemic stroke patient’ Bali Med J. 2016, 5(2): 2016-220.

 

Jadi jelas bahwa TAP menjawab pertanyaan terkait uji klinis obat/metodologi pengobatan yang baru dengan ujian disertasi S3 di Unhas. Jangan-jangan memang TAP yang mantan Menkes itu belum tahu atau tidak tahu bahwa uji klinis itu tidak sama dengan ujian disertasi S3? Sehingga TAP berpendirian bahwa disertasi S3 nya cukup sah menjadi dasar tindakan IAHF sebagai bentuk pengobatan stroke (yang tidak lazim dan tidak dipraktekkan di negara manapun).

 

Maaf saya tidak pernah menyebut TAP sebagai professor dalam pembahasan terkait persoalan medis ini, karena ternyata gelar professor TAP bukan di bidang kedokteran tapi di bidang pertahanan.

 

Sebagaimana diketahui bahwa di setiap program studi S2 dan S3 bidang kedokteran/ biomedik di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia, dihasilkan puluhan dan mungkin ratusan tesis/ disertasi tentang bahan obat baru dan/ atau metodologi pengobatan baru untuk berbagai macam penyakit.

 

Dan publikasi di jurnal internasional terakreditasi menjadi salah satu sarat untuk lulus ujian disertasi tersebut. Alangkah kacau-balau dan mengerikan dunia layanan kesehatan di negeri ini apabila setiap disertasi maupun tesis yang terkait dengan temuan obat/ cara pengobatan baru dianggap sah dan memenuhi syarat untuk bisa diaplikasikan pada pasien sebagaimana pola pikir seorang TAP.

 

Kalangan ilmuwan maupun praktisi medis tentu khawatir bila penyesatan ilmiah semacam ini semakin meracuni opini publik, yang pada akhirnya publik atau masyarakatlah yang akan menjadi korban dari praktek layanan perdukunan oleh dokter.

 

Pengembangan obat, termasuk teknologi pengobatan, adalah proses yang memiliki regulasi paling ketat di dunia karena terkait dengan Kesehatan dan keselamatan manusia. Penggunaan DSA-TAP (IAHF) sebagai prosedur terapi stroke terikat erat dengan etika kedokteran, serta harus mengikuti prosedur baku sains yang diatur berdasarkan kesepakatan level dunia oleh perhimpunan dokter sedunia (WMA) dan termaktub dalam Deklarasi Helsinki tentang Ethical Principles for Medical Research involving Human Subject.

 

Sebagai bagian dari International Conference on Medical Ethic (ICoME)-WMA, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK-IDI) berperan memastikan terpenuhinya standar profesi dan etik sesuai dengan Deklarasi Helsinki terkait dengan praktek kedokteran.Perihal obat, termasuk vaksin nusantara, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah institusi legal dan independen yang mewakili negara untuk melindungi bangsa ini dari peredaran obat yang tidak jelas manfaatnya yang berpotensi membahayakan konsumen.

 

Tindakan IAHF yang diberi nama keren sebagai brain wash atau brain spa oleh TAP ini menjadi diminati oleh banyak pejabat dan tokoh masyarakat bukan karena bukti empiris-ilmiah, melainkan karena testimoni pribadi dari tokoh-tokoh seperti SBY, Dahlan Iskan, dll. Jadi masyarakat kita sengaja dididik untuk percaya bukan pada sains, tapi pada testimoni ala dukun Ponari atau klinik Tong Fang.

 

Akankah kita sebagai manusia dan sebagai bangsa yang masih memiliki akal sehat ini terus berdiam diri disaat banyak petinggi negeri, khususnya DPR, yang terus membodohi publik dengan Testimony Based Medicine. Lawan dari testimony based medicine adalah EBM. Seorang dokter disebut professional apabila menerapkan EBM karena tanpa EBM maka dokter sama dengan dukun, dan kepatuhan dalam menjalankan EBM inilah yang menjadi dasar MKEK-IDI menjatuhkan sanksi etik kepada TAP.

 

Sumber :   https://ceknricek.com/a/menyoal-uji-klinis-dan-ujian-s3-versi-terawan/32239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar