Mengapa Para Gubernur
Menolak Penjabat Kepala Daerah Pilihan Jokowi Budiarti Utami Putri : Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
DUA surat keputusan
diteken Gubernur Riau Syamsuar pada Senin, 23 Mei lalu. Bersamaan dengan
pelantikan dua penjabat kepala daerah di wilayahnya hari itu, Syamsuar
“membebastugaskan” keduanya. Mereka adalah Kepala Dinas Pendidikan Riau
Kamsol dan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau Muflihin. Kamsol didapuk menjadi
penjabat Bupati Kampar dan Muflihin diangkat sebagai penjabat Wali Kota
Pekanbaru. “Hari itu juga Gubernur memilih dua pelaksana tugas di posisi
Kamsol dan Muflihin,” kata Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik
Provinsi Riau Erisman Yahya kepada Tempo, Jumat, 10 Mei lalu. Erisman mengklaim Syamsuar
mengambil keputusan itu agar Kamsol dan Muflihin berfokus menjalankan tugas
anyar mereka. Dua pegawai negeri sipil berpangkat eselon II itu akan memimpin
daerah selama satu tahun. Masa jabatan keduanya bisa diperpanjang hingga ada
pejabat definitif dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2024
yang digelar pada 27 November tahun itu. Pencopotan sementara
Kamsol dan Muflihin memunculkan dugaan bahwa kebijakan itu adalah bentuk
penolakan Gubernur Syamsuar. Sebab, calon-calon yang dia ajukan untuk
memimpin Kampar dan Pekanbaru tak direstui Kementerian Dalam Negeri. “Asumsi
itu berkembang di mana-mana,” tutur Ade Agus Hartanto, anggota DPRD Provinsi
Riau. Politikus Partai
Kebangkitan Bangsa itu menilai Syamsuar terburu-buru menunjuk pelaksana tugas
Sekretaris DPRD. Meski tak mempersoalkan siapa penjabat kepala daerah dan
pelaksana tugas, Ade menyatakan Gubernur seharusnya berkonsultasi dengan
DPRD. Sebab, pelaksana tugas Sekretaris DPRD akan bekerja sama dengan 65
legislator di Provinsi Riau. Erisman Yahya membantah
anggapan bahwa penunjukan pelaksana tugas dilatari kekecewaan Syamsuar.
Menurut dia, sekitar dua pekan setelah penunjukan dua penjabat kepala daerah,
atasannya berjumpa dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam sebuah
acara di Jakarta. “Menurut Pak Gubernur, Menteri Dalam Negeri setuju ada
pelaksana tugas,” ujar Erisman. Tak hanya di Riau,
penunjukan kepala daerah di sejumlah daerah menuai polemik karena pemerintah
pusat tak mengakomodasi usul gubernur. Dua pejabat di lingkaran Kementerian
Dalam Negeri dan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan
terjadi tarik-menarik antara pemerintah pusat dan gubernur. Mantan Direktur Jenderal
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono, mengakui posisi penjabat
kepala daerah tak terlepas dari dimensi politik. “Setidaknya ada kepentingan
politik pemerintah pusat untuk memastikan program pembangunan berjalan,”
tutur Sumarsono kepada Tempo, Kamis, 9 Juni lalu. Di Sulawesi Tenggara,
Gubernur Ali Mazi sempat batal melantik penjabat Bupati Muna Barat dan Buton
Selatan. Pemerintah pusat menunjuk Direktur Perencanaan Keuangan Daerah
Kementerian Dalam Negeri Bahri dan Sekretaris Daerah Buton Selatan La Ode
Budiman untuk mengisi posisi kepala daerah. Keduanya tidak masuk daftar calon
penjabat yang diusulkan Gubernur. Ali Mazi sempat
mengeluhkan keputusan pemerintah pusat ke Dewan Pimpinan Pusat NasDem, partai
politik tempatnya bernaung. Partai menugasi seorang pengurus untuk menanyakan
hal itu kepada Menteri Dalam Negeri Tito dan seorang direktur jenderal di
Kementerian Dalam Negeri. Seorang pengurus pusat NasDem yang tak mau disebut
namanya membenarkan informasi tersebut. Protes juga muncul dari
sebagian kelompok masyarakat. Pada Rabu, 27 April lalu, Barisan Orator
Masyarakat Kepulauan Buton berunjuk rasa menolak pelantikan La Ode Budiman
sebagai penjabat Bupati Buton Selatan. Budiman merupakan ipar dari Bupati
Buton Selatan sebelumnya, La Ode Arusani. Para pengunjuk rasa
menilai penunjukan Budiman sarat kepentingan politik. Sebab, La Ode Arusani
ditengarai bakal maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. La Ode Budiman
tak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo. Gubernur Ali Mazi
akhirnya tetap melantik penjabat Bupati Muna Barat dan Buton Selatan. Gubernur Maluku Utara
Abdul Gani Kasuba juga mempersoalkan penunjukan Sekretaris Daerah Morotai M.
Umar Ali sebagai penjabat Bupati Morotai. Tiga nama yang diajukan Abdul Gani
tak dilirik oleh Kementerian Dalam Negeri. Akhirnya, bukan Abdul Gani,
melainkan Wakil Gubernur Al Yasin Ali yang melantik Umar Ali. Kontroversi juga muncul
dalam penunjukan penjabat Bupati Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, Dahri
Saleh. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Provinsi Sulawesi Tengah
ini mengundurkan diri dari posisi barunya 15 menit setelah dilantik oleh
Wakil Gubernur Ma’mun Amir. Dahri tak merespons pesan
dan panggilan Tempo. Kepada sejumlah wartawan, ia mengaku mundur karena
diminta Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura. Dahri menyebutkan Rusdy ingin
dirinya tetap di posisi lama yang baru dia jabat selama dua bulan. Lewat keterangan tertulis,
Rusdy membantah pernyataan itu. Menurut Rusdy, ia hanya mengingatkan
krusialnya tugas kepala biro pemerintahan dan otonomi daerah. “Keputusan
mengundurkan diri atas pertimbangan sendiri dan tanpa paksaan siapa pun,”
ucap Rusdy. Tenaga Ahli Gubernur
Sulawesi Tengah Bidang Komunikasi Publik, Andono Wibisono, mengatakan surat
pengunduran diri Dahri Saleh sudah dilayangkan ke Kementerian Dalam Negeri.
“Komunikasi Bapak Gubernur dan Pak Mendagri sangat baik,” kata Andono. Namun
Kementerian belum membalas layang pengunduran diri itu. Pelbagai kontroversi
ditengarai disebabkan ketiadaan aturan yang detail dan tertutupnya proses
penunjukan penjabat kepala daerah. Padahal Mahkamah Konstitusi telah meminta
pemerintah memetakan kondisi tiap daerah dan kebutuhan penjabat kepala
daerah. Pertimbangan itu menjadi bagian dari keputusan uji materi Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016. Ditemui di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 7 Juni lalu, Menteri Dalam Negeri
Tito Karnavian enggan menanggapi polemik penunjukan penjabat kepala daerah.
Namun ia berjanji bakal mengundang para ahli dan kelompok sipil untuk
menyusun aturan anyar seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi. “Kami
menangkap aspirasi,” tutur Tito. Mantan Direktur Jenderal
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, berpendapat
pemerintah perlu membuat panitia seleksi untuk memilih penjabat gubernur.
Adapun untuk penjabat bupati dan wali kota, Djohermansyah mengusulkan
gubernur berkonsultasi dengan pimpinan DPRD ihwal tiga nama yang akan
diajukan ke presiden. Guru besar Institut
Pemerintahan Dalam Negeri ini mengimbuhkan, pemerintah perlu mengumumkan
kepada publik tentang mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah. “Setidaknya
ada ruang publik dan partisipasi yang bermakna,” ujar Djohermansyah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar