Di Balik Kisruh
Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Djohermansyah Djohan : Pendiri Institut Otonomi Daerah
(i-Otda), mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
MEMILIH pemimpin dengan
cara demokrasi elektoral saja kita masih bermasalah. Pemilihan kepala daerah,
pemilihan anggota legislatif, juga pemilihan presiden secara langsung setelah
Reformasi 1998 masih berkutat dengan problem lama seputar "jurdil"
atau jujur dan adil—slogan lama yang bersemi kembali tiap musim pemilihan
umum. Apatah lagi jika pemerintah dibolehkan undang-undang menunjuk kepala
daerah. Berbagai permainan politik akan terjadi, kegaduhan pasti tak terelakkan. Karena itu, ketika membuat
kebijakan untuk orang banyak, pemimpin pemerintahan hendaknya bersandar pada
alur prosedur dan asas kepatutan. Tak boleh gegabah, asal jadi, dan main
comot-pasang alias copas saja kebijakan yang sudah ada. Mereka harus
menimbang dengan bijak: apakah kebijakan itu sesuai dengan semangat
konstitusi dan amanat Reformasi? Apakah kebijakan itu layak atau wajar
menurut kacamata masyarakat lokal? Bisa saja kebijakan
pemerintah yang aman dijalankan selama ini akan bermasalah jika diterapkan
sekarang. Mengapa? Karena pemerintahan bersifat dinamis akibat munculnya
fenomena atau peristiwa pemerintahan yang baru. Misalnya, masa jabatan
penjabat kepala daerah dulu hanya bilangan bulan. Saya menjadi penjabat
Gubernur Riau sejak November 2013 hingga Februari 2014 atau selama tiga
bulan. Tapi, sekarang, masa jabatan penjabat kepala daerah berbilang tahun,
bahkan ada yang hampir tiga tahun. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi,
sebuah jabatan politik publik akan dihitung satu periode bila durasinya dua
setengah tahun lebih satu hari. Kenapa lama? Pasal 201
ayat 10 dan ayat 11 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Nomor 10 Tahun 2016
secara eksplisit menyebutkan penjabat kepala daerah harus memimpin sebuah
daerah sampai dilantiknya kepala daerah hasil pemilihan serentak 27 November
2024. Secara teknis, para kepala daerah hasil pemilihan tersebut paling cepat
dilantik pada Maret 2025. Jumlah daerah yang harus
memiliki penjabat dulu sedikit, satu-dua saja. Sedangkan sekarang,
keserentakan pemilihan kepala daerah secara nasional pada 2024 membuat jumlah
penjabat kepala daerah yang harus diangkat sangat banyak, hingga 271 orang,
dengan rincian 101 orang pada 2022 dan 170 orang pada 2023. Pada 2024, jumlah penjabat
kepala daerah akan bertambah lagi sebanyak 270 orang. Sebab, para kepala
daerah hasil pemilihan Desember 2020, menurut Undang-Undang Pilkada, hanya
menjabat sampai 2024 atau dipotong masa jabatannya sekitar satu tahun. Jika
pelantikan kepala daerah hasil pemilihan serentak November 2024 berlangsung
pada Maret 2025, para penjabat kepala daerah akan memimpin selama empat
bulan. Artinya, total semua daerah di Indonesia yang berjumlah 541, kecuali
Daerah Istimewa Yogyakarta, bakal diperintah oleh caretaker pegawai negeri
sipil (PNS). Dulu penjabat kepala
daerah menjalankan pemerintahan pada waktu pemilihan bergelombang atau
pilkada putaran kedua yang terbatas jumlah daerahnya. Sekarang yang membuat
publik waswas adalah para penjabat dari kalangan PNS memerintah pada masa
penyelenggaraan pemilihan presiden dan anggota legislatif 14 Februari 2024
serta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional 27 November 2024
yang digelar di 541 daerah otonom. Sudah bukan rahasia selama
ini PNS terbuka dan rawan dipolitisasi oleh mereka yang berkuasa agar calon
kepala daerah, calon presiden, dan calon anggota legislatif yang menjadi
“jagoannya” bisa memenangi kontestasi. Para penjabat kepala daerah dengan
jaringan kuasa yang dimiliki bisa melakukan “fraud”, sehingga mereka bisa
tidak netral dan mengganggu integritas pemilu Indonesia. Karena itu, pemimpin
pemerintahan yang arif tidak begitu saja melaksanakan kebijakan yang sudah
ditetapkan dalam perundang-undangan, tapi mengkajinya dulu, baru
mengeksekusinya. Bila dalam pengkajian timbul reaksi pro dan kontra yang luas
terhadap kebijakan itu atau keburukannya lebih banyak daripada manfaatnya,
dalam tata kelola pemerintahan yang baik semestinya aturan tersebut direvisi
atau diterbitkan peraturan pelaksanaan yang jelas. Dengan demikian, ketika
kebijakan diluncurkan, ia bisa “mendarat” dengan mulus. Sebaliknya, bila
pemimpin pemerintahan malas mengkaji, hanya pasrah kepada kata anak buah,
ditambah “ndableg” tidak mau mendengarkan pendapat ahli dan suara orang
banyak, kegaduhan dalam implementasi kebijakan tidak akan terelakkan. Demikianlah, menurut hemat
saya, yang terjadi dalam kegaduhan pengangkatan “caretaker” atau penjabat
kepala daerah akhir-akhir ini. Padahal dulu boleh dibilang penunjukan
penjabat gubernur, bupati, dan wali kota dari kalangan pegawai negeri aman-aman
saja. Pangkal keributan
pengangkatan penjabat kepala daerah adalah prosesnya yang tidak transparan
dan tidak partisipatif. Siapa yang bermain di balik pengangkatan yang tidak
lazim ini? Apakah telah terjadi bancakan politik? Bagaimana ceritanya seorang
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral bisa menjadi penjabat Gubernur Bangka Belitung? Mengapa seorang
jenderal polisi yang baru pensiun dan belum berpengalaman dalam pemerintahan
sipil menjadi penjabat Gubernur Papua Barat? Apa motif pengangkatan seorang
Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga menjadi
penjabat Gubernur Gorontalo? Kegaduhan berlanjut dengan
pengangkatan anggota Tentara Nasional Indonesia aktif, Brigadir Jenderal Andi
Chandra As'aduddin, Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Maluku, sebagai
penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Padahal ada Putusan MK Nomor
15/PUU-XX/2022 yang sudah mewanti-wanti—bahkan Undang-Undang Aparatur Sipil
Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014 yang menggariskan—jabatan struktural aparatur
sipil negara tanpa “lepas baju” anggota TNI hanya berlaku di sepuluh
kementerian/lembaga, tak termasuk pemerintah daerah. Kekisruhan makin menjadi
dan paling tak elok ketika muncul perlawanan beberapa gubernur terhadap
pemerintah pusat gara-gara tiga calon yang mereka usulkan menjadi penjabat
bupati atau wali kota ditolak pemerintah pusat. Tanpa komunikasi yang baik,
Kementerian Dalam Negeri menetapkan penjabat kepala daerah di luar tiga nama
yang diusulkan gubernur. Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, misalnya,
menunda pelantikan penjabat Bupati Muna Barat dan penjabat Bupati Buton
Selatan sebagai bentuk protes. Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura enggan
melantik dan menugasi wakilnya mengambil sumpah penjabat Bupati Banggai
Kepulauan, Dahri Saleh. Lima belas menit seusai pelantikan, Dahri Saleh
mengundurkan diri tanpa alasan. Agaknya kegaduhan
pengangkatan penjabat kepala daerah ini tidak akan berhenti. Sebab, sampai
2023 masih akan ada 229 daerah yang harus memiliki penjabat kepala daerah.
Artinya, pemerintah pusat harus menunjuk seseorang untuk mengisi jabatan itu.
Bukan hanya dalam proses
penunjukan, kegaduhan di pemerintahan daerah juga bisa terjadi bila penjabat
yang ditunjuk memimpin daerah oleh pemerintah pusat dianggap tidak cakap
melaksanakan tugas, umpamanya berkonflik dengan dewan perwakilan rakyat
daerah dalam pembuatan anggaran pendapatan dan belanja daerah, berkonflik
dengan birokrasi dalam perkara mutasi, terlibat skandal perizinan dan
pengadaan barang dan jasa, atau tidak netral dalam pemilu dan pemilihan
kepala daerah. Untuk mencegah kegaduhan
berlanjut, sebaiknya Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah
yang mengatur seleksi terbuka penunjukan penjabat kepala daerah dengan sistem
kepanitiaan dan melibatkan lembaga representatif daerah. Selain itu, presiden
perlu mengatur kewenangan penjabat kepala daerah yang sama dengan kepala
daerah definitif, membatasi masa jabatan yang berakhir sampai dilantiknya
kepala daerah terpilih, menetapkan larangan mengundurkan diri karena akan
maju dalam pemilihan kepala daerah, dan mewajibkan ASN melepaskan jabatan
strukturalnya setelah dilantik sebagai penjabat kepala daerah. Yang terakhir tapi penting
untuk menghindarkan kegaduhan adalah mengirim para penjabat kepala daerah
hasil seleksi terbuka itu mengikuti orientasi kepemimpinan. Bagaimanapun,
memimpin daerah penuh dinamika, ada seni yang berbeda di tiap daerah, dan
perlu kecakapan kepemimpinan yang terbentuk dari pengetahuan memimpin daerah
di masa otonomi ini. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/nasional/166144/di-balik-kisruh-penunjukan-penjabat-kepala-daerah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar