Sastra
Alegoris, Biografi Teks, dan Dunia Fantasi S. Jai ; Pemerhati dan Penikmat Karya Sastra ini juga
pengarang sejumlah novel |
KOMPAS, 12 September 2021
Menulis
cerpen tak lain adalah menciptakan sesuatu peristiwa—termasuk menandai waktu
di dalamnya, dan yang pasti menempatkan, serta mengisinya pada suatu ruang.
Maka keutuhan menjadi taruhannya. Sudah barang tentu keutuhan yang dimaksud
menyangkut; perpaduannya, kontradiksinya, paradoksnya, karut-marutnya,
pergulatannya, ketegangan-ketegangannya yang mengatasi segala teknik,
strategi, trik, intrik, gaya dari sang pengarang. Dengan
kata lain, sebuah cerpen adalah lebih sebagai permainan ruang dalam suatu
peristiwa yang mewaktu, dibandingkan sebagai kesungguhan peristiwa dalam
suatu waktu yang memeristiwa, atau sebuah peristiwa yang meruang. Sebagaimana
kita tahu, permainan hanyalah satu strategi, teknik, gaya dari sejumlah
lainnya dalam sastra; mempersoalkan realitas, memparodikan, menggugat, dan
bahkan bermain-main terhadapnya. Permainan,
yang mengukuhkan diri manusia, tepatnya pengarang sebagaimana Johan Huizinga
katakan sebagai makhluk bermain (homo ludens), memiliki aturan-aturan dengan
menempatkan kebebasan sebagai panglimanya, sebagai wasitnya. Demikian
halnya permainan dalam pelbagai bahasa, sistem tanda, kode, semiotik,
metafora, wacana, mitos di dalamnya dengan spirit ambiguitas serta
kompleksitas sebagai pencapaiannya. Secara radikal, barangkali bisa mencapai
dekonstruksi. Meski demikian sastra adalah juga suatu rekonstruksi,
reproduksi serta resepsi pengarang dan pembacanya. Peristiwa sebagai teks bermain Terang
dapat dikatakan dua puluh dua cerpen Eko Darmoko dalam buku Revolusi Nuklir
(Basa Basi, 2021) adalah permainan. Sebagai suatu permainan sudah termaktub
di dalamnya kemungkinan-kemungkinan sebagai dekonstruksi, rekonstruksi,
reproduksi ataupun resepsi atas teks-teks yang dihadirkannya. Menempatkan
cerpen-cerpen sebagai suatu peristiwa baik oleh pengarang saat menuliskannya
maupun oleh pembaca ketika menafsirkannya, hal demikian sama artinya dengan
menganggap keseluruhan proses tersebut tak lain adalah dekonstruksi—peristiwa
sebagai sejarah kepenulisan, dan pembacaan. Dengan kata lain, 'biografi
teks'. Maka, pemahaman, pemaknaan, penafsiran atas biografi teks tersebut
menjadi isi, mencipta ruang. Dua
puluh dua cerpen Eko Darmoko, nyata
meneguhkan bahwa membaca (dan menulis) sastra tak lain adalah ‘cara baca’,
‘cara memahami’, ‘cara menafsirkan’ teks yang lebih terang dalam
konteks-konteks. Pendeknya intertektualitas. Bahwa, teks tak bicara sendiri
melainkan maknanya diperoleh dengan menghubungkan teks dengan mempelajari
sumber-sumber pengetahuan lain sebagai konteksnya, seperti sejarah,
kebudayaan, sains dan lain sebagainya. Dalam
kosa kata Heideggerian; pada satu sisi menulis teks bukanlah sekadar
menuangkan isi pikiran, melainkan menyingkap cara bereksistensi penulis dan
kelompoknya; pada sisi lainnya, membaca teks juga bukan sekadar menyalin
makna teks sebagai data objektif, melainkan juga menangkap
kemungkinan-kemungkinan eksistensial lewat makna teks itu. Memahami
ikhtiar pengarang dalam menafsirkan teks menjadi sebuah cerpen, dan kemudian
menelisik bagaimana pembaca memaknai teks-teks cerpen tentu menjadi suatu
panorama yang menarik, unik dan apabila pembaca seorang dekonstruksionis,
makna itu selalu tak punya pondasi, tertunda dan bahkan luput. Cerpen-cerpen
Eko Darmoko tak lain adalah karnaval teks yang umum dalam pelbagai bahasa dan
pengetahuan telah disederhanakannya, nyaris dibakukan. Misalkan dalam cerpen
Revolusi Nuklir memancarkan teks ‘kecemasan,’ ‘keabadian,’ keduanya tak lain
berakar dari Martin Heidegger. Kemudian
teks novel fiksi ilmiah Frankenstein menjadi pembuka peristiwa-peristiwa di
dunia yang aneh; tentang makhluk mata-mata sebuah megaproyek bawah tanah yang
melawan hukum alam—makhluk keabadian tanpa rasa lapar dan haus. Si mata-mata
adalah produk gagal rekayasa genetik yang kemudian dirancang untuk menuliskan
sejarah peradaban generasi mutakhir. Sialnya, si mata-mata akhirnya
dikorbankan. Sebagaimana
Frankenstein dalam cerpen Revolusi Nuklir, biografi cerpen Langit Makin
Mendung karya Ki Panjikusmin diselundupkan dalam cerpen Silampukau di buku
ini. Kisah tenang Robot ciptaan dengan perangkat lunak yang sulit
dikendalikan. Robot yang melawan perintah larangan mempelajari artefak
sastra. Robot
yang diprogram hidup 750 tahun, itu justru menjadi guru sastra bagi beburung
di semesta. Meski 1113 pengarang telah dibunuh seperti Ki Panjikusmin, robot
berhasil mengembangkan hologram “Sumpah, aku bukan cerpenis,” sehingga setiap
yang berhologram luput dari pembantaian. Dunia
wayang, kisah manusia kera, serta mitos-legenda zaman Hindu tentang puncak
Mahameru dihidupkan kembali dalam peristiwa cerpen Tumbangnya Pohon Android.
Tabir misteri pohon android yang melindungi kawah Jongring Saloko yang
menyimpan intan dan permata. Jenderal
Manusia Kera dibikin puyeng kesaktian pohon android di angka tahun 2525. Sang
Jenderal diracun oleh selirnya (penasihatnya) yang bekerjasama dengan
malaikat pencabut nyawa. Sebagai pemimpin baru, Sang Selir melanjutkan proyek
penguasaan puncak Jongkring Saloko demi intan dan permata di dalamnya. Tentang Alegori dan Fantasi Dunia
yang lain, yang aneh, yang mistis, atau hal-hal yang bersifat imajinasi,
ilusi, khayalan kemudian dikukuhkannya ke dalam fantasi-fantasi,
absurditas-absurditas mewarnai hampir semua cerita-cerita di buku ini.
Gerombolan tuyul dan babi ngepet (dalam cerpen Mantra Apocalypto), kuntilanak
(dalam cerpen Raung dan Kenangan Seluas Kabut), gendruwo dan roh perempuan
mati (dalam cerpen Ospek di Bukit Perawan), setan dan pocong (cerpen VY Canis
Majoris), selain dalam sejumlah gaya alegori alias kiasan di beberapa
cerpennya. Menafsirkannya
sebagai suatu alegori dengan kata lain, membaca cerita sebagai suatu teks
yang dibaca melalui teks lain. Untuk menafsirkan teks alegori, sebagaimana
Arif Bagus Prasetyo, katakan dalam buku barunya Saksi Mata (2021:18) tentang
konsep Joel Fineman; cenderung menerabas dan menyambut segala kategori
stilitik macam apapun. Alegori
dalam cerpen dengan perspektif tokoh sebagai keset (pengesat kaki dari sabut
kelapa) yang serba tahu atas kebiasaan suasana kampus, persetubuhan antara
mahasiswi dan dosen dalam cerpen Ayam Kampus, roh seekor kepiting
(Gentayangan), bekicot (Wabah Bekicot) dan tak sedikit teks terkait sastra,
pengarang dan karyanya nyelonong demikian mulus dalam sejumlah cerpen. Ada
Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, Gabriel Garcia Marquez, karya-karya Ernest
Hemingway. Bahkan
dalam sebuah cerpen Ibadah Sastra di Gunung Rinjani, yang mengisahkan
pendakian di gunung Rinjani, pengarang mengoplos dengan menghadirkan
tokoh-tokoh Gregor Samsa (Metamorfosa-nya Franz Kafka), Samuel Beckett,
Albert Camus, juga penulis Sejarah Hidup Muhammad, Husein Haikal seakan-akan
sedang memanggil roh-roh mereka lengkap dengan pikiran-pikiran dalam berbagai
judul karyanya. Lihat
cerpen Sajak Sundul Langit Dul Koplo tentang Dul Koplo, kakek berusia kepala
delapan pengagum Pablo Neruda dan Octavio Paz yang bergolak nafsunya atas
perempuan perawatnya, ketiga istrinya, juga mantan pacarnya—wartawan
Australia yang hendak mewawancarainya. Tokoh
Eveline yang dalam cerpen Kabar dari Brescia dinukil dari tokoh dan judul
cerpen James Joyce. Lalu cerpen Wabah Bekicot, tak lain misteri seorang
penulis cerpen dan cerpennya. Bercerita tentang seorang penulis yang secara
sadis membunuh Tuhan karena Tuhan sedang mengganggu jam menulisnya. Dalam
cerpen itu, Tuhan digambarkan sebagai lelaki yang memiliki bekas luka bacok
di lehernya. Cerpen
Kapir mengisahkan pemilik buku yang nelangsa buku Sejarah Tuhan dipinjam
seorang kawan yang tampilannya religius tapi menjengkelkan, namun katarsis
begitu menghikmati kebesaran jiwa seorang temannya yang lain, Kapir—bertato,
kotor, kasar yang ternyata juga seorang pembaca buku Karen Armstrong. “…Ngomong-ngomong
kau tahu Karen Armstrong juga?” “Dulu
sempat iseng-iseng membaca bukunya, sewaktu aku nyambi jadi tukang parkir di
perpustakaan kota. Eh, ternyata bagus. Aku suka yang Biografi Nabi Muhammad.”
(kata Kapir) “Iya
Bagus sekali.” (Hlm. 174) Kenangan dan Momen Eksistensial Yang
menarik, sebagian besar cerpen dalam buku ini mengetengahkan tema petualangan
kisah cinta. Tepatnya mengulik dan mengusik kenangan. Betapa kenangan
demikian mulus, halus masuk merasuk dalam detil plot cerpen, peristiwa yang
dengan demikian memenuhi ruang cerita. Sebagai
suatu petualangan, kenangan dengan demikian hadir sebagai konsep waktu secara
khusus—diantara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Betapa
pengarang menghadirkannya demikian pekat dalam pemahaman waktu dalam
cerita-ceritanya bolak-balik menempuh jarak masa silam, kekinian dan masa
depan. Pendek
kata nyaris tak berjarak, inheren, menyatu dan bahkan eksistensial
sebagaimana Heidegger katakan waktu otentik alias momen eksistensial (F. Budi
Hardiman, 2016: 129). Dalam waktu otentik, kenangan, eksistensi, serta
kecemasan sebagai kedalaman ontologis yang berorientasi pada segala
kemungkinan-kemungkinan, yang tentu saja masa depanlah yang menjadi
prioritas; antisipasi, visi-kekinian atau kebulatan tekad, dan menjemput
kembali masa silam-kenangan. Masa
silam dalam cerpen Raung dan Kenangan Seluas Kabut dituturkannya pada putri
si tokoh yang masih berumur satu bulan. Perihal cinta sang ayah antara dua
perempuan Dewi, almarhum istrinya, dan Nisa yang semula diharapkan menjadi
ibu dari si bayi. Bagi
ayah, Nisa adalah kabut di Gunung Raung. Kabut yang mengaburkan mata dan
melenyapkan keindahan semesta. Kabut yang menemani setiap jengkal perjalanan
mengambang menghindari maut di antara ketinggian dan jurang mengangga.(Hlm.
51) Masa
silam seorang nenek saat perawan dalam cerpen Daun Telinga Perawan di
Shakespeare and Company, menyedihkan. Di Malang, semasa menjalin cinta dengan
lelaki berkebangsaan Perancis, direnggut mahkotanya dan dipotong daun
telinganya untuk kemudian dijadikan gantungan kunci. Kelak kepada seorang
pemuda yang diminta menemui nenek itu, si lelaki menyatakan penyesalannya dan
bersumpah mau hidup bersamanya. Si
pemuda membawa bukti gantungan kunci tersebut. Visi yang nyaris serupa dalam
cerpen Nordlingen. Kathrin, fotografer berkebangsaan Jerman pertama kali
bertemu dengan tokoh Aku di candi Badut, Malang. Dalam kenangan yang
diceritakan di Kitayushu, Jepang ini, selama di Malang keduanya bercinta
beberapa kali disaksikan pelangi di luar jendela. Si Aku, seorang karyawan
bank, menyusul Kathrin yang mendapatinya telah hamil dua bulan. Cerpen ini
nyaris diakhiri dengan suasana dengan kepenuhan kemungkinan; Selepas
menemaninya memotret Istana Kokura dan mendapat suguhan pelangi, serta
mengetahuinya hamil, kami tak lagi bicara selama perjalanan pulang. Pun
ketika kami tiba di hotel di jantung Kitakyushu, tak ada sebiji kata yang
kami ucapkan. Makan malam pun kami lakukan sambil membisu. (Hlm. 120) Kenangan
Celine di London dengan Slamet yang pengecut di Bangkalan dalam cerpen Dari
Tour de France Hingga Hemingway, harus memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan
eksistensi ketika Hemingway, bayi prematur hasil hubungan gelap mereka mati.
Juga saat Slamet yang berencana meninggalkan istrinya di Surabaya, demi
kejutan Celine di London, tewas kecelakaan dalam ihktiar mengurus surat-surat
imigrasinya. Kematian
adalah momen paling otentik dan paling eksistensial, oleh pengarang dicoba
disodorkan melalui penciptaan peristiwa dalam cerpen yang dibaurkan dengan
berbagai teks lain—budaya populer, kepercayaan, sebagaimana dalam cerpen
Meleleh Bersama Salvador Dali dan Kurt Cobain misalnya. Kematian salah
seorang saudara kembar Mayang yang bernama Mala dihubungkan dengan motel
Marco Polo kamar 226--kamar tempat Curt Cobain menginap. Mala kecelakaan
tragis di sekitar tempat itu dan dimakamkan di sana. Mayang mengenang
semuanya di sana. Lalu
cerpen Malaikat Pencabut Nyawa mengetengahkan keyakinan; hanya pelacur yang
bisa menyelamatkan nyawa Bella, seorang gadis yang terserang herpes.
Kepercayaan itu datang dari kakeknya untuk menyembuhkan herpes Bella, seorang
pelacur diminta mengunyah gula merah dan kelapa muda, lalu disemburkan pada
si sakit. Dikisahkan, otentisitas belum mencapai puncaknya oleh karena
ternyata Bella ‘gagal mati’ berkat itu. Eko
Darmoko, pengarang dua puluh dua cerita dalam buku ini—buku kumpulan cerpen
keduanya, setelah Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015)—menyatakan kredonya
hendak meruntuhkan tembok yang membatasi ruang fakta dan ruang fiksi.
Dinyatakannya pula, bukunya bisa dibaca sebagai nubuat, renungan masa kini,
dan pemugaran kenangan silam. Tak
cukup dengan itu, pada buku tersebut masih dirasa penting melengkapi judul
dengan sederet kalimat; Cerpen-cerpen dari masa depan. Rupanya pada buku ini
hendak meneguhkan bahwa keseluruhan cerita dalam Revolusi Nuklir adalah
perihal absurditas. Terlebih,
pengarang buku ini, seorang penikmat yang tekun atas cerita-cerita karya Budi
Darma dan Sony Karsono, melengkapinya tak cuma perihal kematian, data ilmiah,
teknologi millenium, ramalan angka tahun, puisi, mistik, yang entah dalam
penyuntingannya dalam buku ini sengaja diacak dan tak dikelompokkan, ataukah
memang tak ada visi untuk itu. Beruntung,
setiap absurditas sudah terkandung didalamnya kontradiksi-kontradiksi,
termasuk di dalam buku ini. Bahwa buku ini bukan saja mengetengahkan
cerita-cerita absurd, melainkan buku fiksi ini sendiri sudah menyatakan dirinya
proklamator absurditas. Buku ini semacam metafiksi absurditas—yang
mengisahkan dirinya sendiri-- betapa pengetahuan apapun, juga sastra datang
dan untuk atas nama masa depan, dengan atau tanpa sederet kalimat jargon
untuk visi estetisnya yang demikian. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/12/sastra-alegoris-biografi-teks-dan-dunia-fantasi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar